Pengarusutamaan Gender dalam Bencana

 Pengarusutamaan Gender dalam Bencana

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Indonesia sebagai negara kepulauan dengan kekayaan bentang alam dan ragam situasi geografis dan sosial budaya rawan mengalami bencana. Dalam hal ini, bencana dapat dikategorikan menjadi dua kategori, yaitu bencana alam dan bencana nonalam. Definisi bencana dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana adalah, peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Tahun 2022 merupakan masa penuh perjuangan untuk bangkit dari sederet bencana yang melanda, mulai dari konflik antar kelompok, covid 19, hingga bencana alam. Dilansir dari dataindonesia.id Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan, terdapat 3.522 bencana alam di Indonesia yang terjadi sepanjang tahun 2022.

Bencana alam yang paling sering terjadi adalah banjir 1.520 kejadian, lalu cuaca ekstrim sebanyak 1.057 kejadian, dan tanah longsor 634 kejadian. Bencana alam lainnya adalah kebakaran hutan dan lahan sebanyak 252 kejadian, gempa bumi 28 kejadian, gelombang pasang atau abrasi 26 kejadian,  kekeringan sebanyak 4 kejadian, dan letusan gunung berapi 1 kejadian.

Sederet bencana tersebut mengakibatkan 851 orang meninggal dunia, 8.726 orang luka-luka, dan 46 orang hilang. Sedangkan 5,42 juta orang menderita dan harus mengungsi. Selain kerugian secara psikologis, kerugian materil berupa 94.990 rumah dan 1.980 fasilitas berupa sekolah, tempat peribadatan, dan fasilitas kesehatan mengalami kerusakan.

Di antara ribuan bencana tersebut, salah satu di antaranya adalah bencana gempa bumi disertai longsor di Cianjur Jawa Barat, yang terjadi pada 21 November 2022. Dilansir dari Antaranews.com, sampai dengan Desember 2022, tercatat korban meninggal dunia sebanyak 635 orang.

Kelompok Rentan

Bencana alam adalah duka bagi semua orang, terutama bagi kelompok terdampak. Dalam hal ini, terdapat kelompok rentan yang paling beresiko terhadap bencana. Berdasarkan Undang-Undang Penanggulangan Bencana, kelompok rentan terdiri dari bayi, balita, anak-anak, ibu mengandung atau menyusui, disabilitas, dan lansia.

Baca Juga: Sarwititi: Perempuan Peduli Lingkungan

Pada umumnya, bantuan yang diberikan kepada korban adalah pemenuhan kebutuhan dasar berupa pangan, sandang, papan. Terkait pedoman tata cara pemberian bantuan pemenuhan kebutuhan dasar telah diatur dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 7 Tahun 2008 oleh BNPB. Ada 6 jenis bantuan yang dapat diberikan yakni, bantuan tempat penampungan atau hunian sementara, bantuan pangan meliputi bahan makanan, bantuan non pangan meliputi peralatan memasak dan alat perkakas lainnya, dan bantuan sandang meliputi perlengkapan pribadi seperti pakaian. Ada pula bantuan air bersih, dan bantuan pelayanan kesehatan. Tidak dijabarkan secara terperinci hal apa saja yang menjadi kebutuhan dasar, khususnya bagi perempuan dan anak.

Perempuan dan anak memiliki kebutuhan dasar yang berbeda. Alat reproduksi yang secara kodrati melekat pada perempuan berkorelasi dengan menstruasi, hamil, dan melahirkan hingga menyusui yang hanya dijalani oleh perempuan. Maka kebutuhan perempuan di situasi bencana akan berbeda dari korban lainnya. Misalnya, perempuan membutuhkan pembalut dan obat khusus menstruasi, perempuan hamil dan menyusui membutuhkan layanan kesehatan khusus, pangan dengan gizi seimbang, dan kebutuhan spesifik lainnya. Kebutuhan khusus juga melekat pada anak, antara lain untuk dapat melanjutkan pendidikan, selain trauma healing dan pendampingan psikologis.

Selain itu, perempuan dan anak korban bencana juga menjadi kelompok rentan mengalami kekerasan berbasis gender di situasi bencana. Hal ini dikarenakan pemenuhan kebutuhan korban yang belum responsif gender. Seperti kamar mandi yang dibuat seadanya tanpa dinding penutup yang cukup, terdapat beberapa keluarga dalam 1 tenda dengan jenis kelamin yang berbeda, penerangan yang belum cukup, dan sistem keamanan yang terbatas.

Kekerasan Berbasis Gender Korban Bencana

Berdasarkan Rapid Assesment yang dilakukan Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (Kemen PPPA) dan UNFPA pada respons bencana di Indonesia, ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap meningkatnya resiko kekerasan berbasis gender. Di antaranya sistem perlindungan sosial masyarakat terganggu karena selama proses evakuasi berpisah dengan kelompok, pengungsi harus tinggal di kamp yang sangat padat dengan keterbatasan sistem kemanan dan privasi, dan sulitnya mendapatkan fasilitas yang layak serta bantuan yang tidak mempertimbangkan kebutuhan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki termasuk kebutuhan anak.

Adapun bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender antara lain perkosaan atau percobaan perkosaan, pelecehan seksual, dan eksploitasi seksual. Perkawinan anak juga meningkat, terutama di situasi bencana yang membuat banyak keluarga kehilangan orang tua atau orang tua yang kehilangan mata pencaharian.

Baca Juga: Penjagaan dan Perusakan Alam oleh Manusia

Kekerasan dalam rumah tangga juga berpotensi meningkat karena tingkat depresi dan stres pada kepala keluarga yang kemudian melampiaskan pada anggota keluarganya. Bisa berupa kekerasan fisik, piskis, penelantaran ekonomi, dan kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga.

Pengarusutamaan Gender di Situasi Bencana

Untuk menanggulangi kekerasan berbasis gender di situasi bencana, pihak terkait agar memedomani Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2020 tentang Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak dari Kekerasan Berbasis Gender dalam Bencana. Dalam regulasi ini,  pelaksanaan pengarusutamaan gender lintas klaster dalam situasi bencana antara lain sebagai berikut:

 Pertama, air dan sanitasi. Hal ini perlu dikonsultasikan pada perempuan dan anak perempuan tentang letak sumber air dan bagaimana desainnya. Demikian juga dengan pemisahan kamar mandi dan toilet berdasarkan jenis kelamin. Sarana tersebut juga harus dilengkapi dengan pintu-pintu yang dapat dikunci dari dalam. Fasilitas sanitasi juga harus memiliki penerangan yang baik. Selain itu, perlu menentukan di mana letak sumber air berdasarkan letak tempat pengungsian.

Kedua, nutrisi. Agar mengutamakan pemberian makanan matang terutama jika fasilitas dan sarana untuk memasak seperti mencari kayu bakar justru tidak aman. Apabila makanan dilakukan dengan cara dibagikan, harus memastikan keamanan untuk mencegah kekerasan berbasis gender saat antrian atau dalam setiap proses pembagian makanan. Selain itu, suplemen dan dukungan perlu diberikan kepada para penyintas kekerasan berbasis gender di shelter. Demikian juga dengan penyediaan tempat yang aman bagi perempuan hamil dan menyusui.

Ketiga, pendidikan. Dengan cara memasukkan pendidikan seksual yang komprehensif, dan akses keamanan rute jalan ke sekolah atau tempat belajar. Penyediaan toilet yang terpisah antara laki-laki dan perempuan di tempat pendidikan juga perlu diperhatikan.

 Keempat, perekonomian. Para penyintas bencana yang berisiko mengalami kekerasan berbasis gender harus dipastikan memiliki akses dan kontrol terhadap sumber daya yang ada. Selain itu, perlu mengintergrasikan program perekonomian dan reintegrasi dalam situasi bencana.

***

Pemenuhan kebutuhan spesifik bagi kelompok rentan korban bencana merupakan tugas bersama. Bencana merupakan peristiwa yang membuat banyak orang dalam waktu bersamaan jatuh menjadi korban dan memerlukan uluran bantuan. Mengingat kebutuhan spesifik kelompok rentan di situasi bencana, bantuan aksi kemanusiaan bagi penyintas bencana hendaklah mempertimbangkan perbedaan gender atau kebutuhan khusus kelompok rentan. [Uung Hasanah]

Digiqole ad