Sarwititi: Perempuan Peduli Lingkungan
Menanam bagi Sarwititi Prasodjo, dosen komunikasi pascasarjana Institut Pertanian Bogor, bukan sekadar menancapkan tanaman di atas tanah. Lebih dari itu, menanam bagi Titi, panggilan Sarwititi, merupakan serangkaian kegiatan yang membuat hidup menjadi lebih hidup dan bermakna. Dengan menanam ia merawat ‘kewarasan’ dan menaburkan kebahagiaan bagi lingkungan sekitar.
Selama pandemi, sebagian besar masyarakat bekerja dan melakukan semua kegiatan dari rumah, tak terkecuali Titi dan para tetangganya di Kompleks perumahan IPB di Jalan Soka, Dramaga, Bogor. Sebagai dosen, ibu satu anak ini sehari-harinya mengajar, memberikan bimbingan kepada mahasisawa pascasarjana Fakultas Ekologi Manusia, melakukan riset, dan melakukan seabrek kegiatan akademik lainnya. Di masa pandemi, kesibukan yang biasa dilakukan di kampus mendadak harus diboyong dilakukan di rumah.
Namun, ada hikmah di balik pandemi. Sejak semua serba dikerjakan di rumah Titi menjadi memiliki banyak waktu memperhatikan lingkungan dan bereksplorasi dengan taman buatannya.
Baca Juga: Yang Tersembunyi di Balik Pandemi
Ubah Lahan Sampah Jadi Taman Asri
Cerita taman Titi awalnya bermula dari kegeramannya melihat tanah kosong di seberang rumahnya yang berubah menjadi tempat pembuangan sampah.
Doktor komunikasi lulusan UI ini bercerita, tanah kosong di seberang rumahnya awalnya tak terurus. Suatu hari ia melihat ada satu kantong kresek hitam teronggok.
Kemudian semakin lama kresek yang berisi sampah bertambah banyak. Mendadak tanah seluas sekitar 500 meter menjadi tempat pembuangan sampah ‘ilegal’. Kondisi demikian kontras dengan halaman rumah Titi yang hijau ‘royo-royo’ penuh tanaman dan aneka bunga. Melihat dan memperhatikan saja perilaku buruk masyarakat yang membuang sampah sembarangan tentu saja bertentangan dengan kata hati dan keilmuan yang selama ini Titi dalami. Namun, menyelesaikannya dengan melarang atau memarahi masyarakat yang membuang sampah juga tak mungkin Titi lakukan.
“Kita tidak bisa menjadi ‘polisi’ bagi mereka kan (para pembuang sampah). Karena melarang, memarahi tidak akan efektif,” ujarnya kepada Jalastoria.
Baca Juga: Mengenalkan Ekofeminisme dalam Keluarga
Akhirnya, Titi menggeser area tanam yang semula hanya berada di depan rumah dinasnya menjadi merangsek ke lahan yang penuh dengan tumpukan sampah. Ia menggeser sampah sedikit demi sedikit dengan menanami bunga dan tanaman. Ada pohon kelor, kemangi, bayam, pakis, dan aneka tanaman. Setiap pagi usai sholat subuh dan memberikan bimbingan ke mahasiswanya Titi ‘nongkrong’ di lahan sampah. Seringnya mencangkul, menanam, dan membersihkan lahan. Lama kelamaan sampah berkurang. Orang-orang yang biasa melemparkan sampah dari atas motor juga tak lagi membuang sampah di sana.
“Mungkin karena mereka sungkan kalau mau membuang sampah karena ada saya,” ujar Titi terkekeh.
Tak sampai setahun, lahan yang penuh gunungan sampah berubah menjadi taman cantik. ‘Tangan dingin’ Titi menyulap yang orang lain anggap tak mungkin menjadi mungkin, taman cantik terhampar hijau dengan aneka bungan warna warni. Sekarang taman penuh sesak dengan berbagai macam tanaman, mulai bunga, sayuran, hingga tanaman herbal. Tanaman juga menghijau di sepanjang pinggir jalan di sekitar rumahnya.
Baca Juga: Makanan Enak? Yang Sehat Dong!
Titi menamai taman buatannya ‘Taman Love’. Ia menempeli pohon besar dengan tulisan dan gambar mencolok di atas kertas laminating putih dengan gambar hati merah menyala “Taman Love: Dipelihara, Dijaga, dan Dilindungi”.
Orang lewat atau pengunjung taman dapat membaca jelas tulisan itu.
Pesan di atas mengandung makna dalam. Titi mengajak warga sekitar atau warga yang melewati taman itu untuk menjaga merawat, memelihara, dan melindungi taman.
Taman ‘sulapan’ hasil kerja keras Bu Titi juga memberikan berkah bagi warga sekitar. Taman menjadikan warganya bisa saling berkomunikasi meski berjauhan. Tetangganya kadang datang izin meminta sereh, temu kunci, kelor, pakis, kencur, salam, atau bumbu masak lainnya. Ada juga yang sekadar datang untuk menikmati pemandangan taman. []
Kustiah