Menelaah Natisha: Persembahan Terakhir, Dukungan dan Harapan bagi Korban Kekerasan Seksual

 Menelaah Natisha: Persembahan Terakhir,  Dukungan dan Harapan bagi  Korban Kekerasan Seksual

(Foto: Pustakakita.com)

Judul : Natisha: Persembahan Terakhir
Penulis : Khrisna Pabichara
Penerbit : JAVANICA
Ukuran : 14 x 21 cm
Terbit : 2016

Memilukan bila membayangkan alur cerita pada buku ini benar-benar menjadi kenyataan, mengorbankan tubuh empat perempuan untuk dijadikan tumbal. Caya, Tayu, Laila, dan Natisha dijadikan persembahan oleh Rangka untuk menyempurnakan ilmu Parakang-nya. Masyarakat Bugis di Sulawesi mempercayai akan keberadaan Parakang, yaitu makhluk yang menganut ilmu hitam dalam tubuhnya.

Latar waktu pada buku ini terjadi pada Maret 1998, ketika Indonesia dihadapkan oleh krisis ekonomi, kekacauan terjadi hampir di semua daerah di Indonesia termasuk Sulawesi. Mayoritas penduduk pesisir Sulawesi masih mempercayai dan menerapkan tatanan adat istiadat yang kental, sehingga menyebabkan ketimpangan sosial pada masyarakat. Strata sosial ditentukan oleh tiga hal yang dimiliki yaitu keturunan, pekerjaan, dan kekayaan.

Budaya patriarki dalam masyarakat begitu kuat karena mendapat legitimasi dari berbagai aspek kehidupan, agama, dan  kepercayaan, maupun tradisi yang dirawat secara turun temurun. Oleh karena itu, banyak perempuan yang berperan dalam sejarah, mempunyai posisi penting di dalam masyarakat yang tidak selalu mendapat apresiasi mengenai peran dan kemampuannya.

Baca Juga: Pengaturan Kekerasan Seksual dalam Undang-Undang Ekuador

Selain ketimpangan sosial yang kontras di tengah masyarakat, perempuan-perempuan dalam buku ini digambarkan tidak dapat menggunakan haknya untuk menentukan pilihan dalam hidupnya. Misalnya, perempuan dengan gelar strata sosial ‘Karaeng’ yaitu gelar bangsawan pada Suku Bugis harus menikah dengan laki-laki dengan gelar yang sama atau lebih tinggi.

Natisha salah satunya. Ia lahir di dalam keluarga bangsawan yang bergelar Karaeng. Namun karena kepandaian, tutur kata, dan sikap santun Daeng Tutu, Natisha jatuh hati kepadanya. Pun sebaliknya, karena kelembutan dan kecantikan Natisha, Tutu juga menaruh hati padanya. Namun Karaeng Rangka, yang juga sahabat Tutu memendam perasaan yang sama untuk Natisha. Cinta bertepuk sebelah tangan inilah yang memicu perasaan dendam Rangka kepada Tutu.

Pada hari pernikahannya, Natisha diculik oleh Rangka. Ternyata Rangka mengorbankan tiga perempuan lainnya sebagai tumbal untuk Ilmu Parakangnya. Rangka mengorbankan nyawa istri-istrinya dan dua orang gadis lainnya, yaitu Natisha dan Laila yang masih mempertahankan kesuciannya.

Teka teki dalam buku ini terpecahkan pada beberapa bab terakhir, Rangka sudah menumbalkan kedua istrinya untuk menyempurnakan Ilmu Parakangnya. Ia pun menculik Natisha dan Laila untuk tujuan yang sama, yaitu mengorbankan kegadisan dan nyawa mereka untuk kepentingannya. Pada hari di mana Laila akan ditumbalkan, Rangka berhasil ditemukan bersama dengan Laila.

Baca Juga: Kekerasan terhadap Perempuan dan Upaya Pemberdayaan Korban

Hati saya ikut hancur membaca baris demi baris cerita Laila saat ia diculik oleh Rangka.

Laila tiba-tiba menangis, terisak-isak, dan bahunya terguncang-guncang. Setelah menarik napas panjang, menghembuskannya pelan-pelan, dia kembali berkata dengan suara lirih dan air mata bercucuran.
“Rangka memperkosaku. Setelah puas, dia sayat telapak kakiku dan menampung darah yang mengalir dari sana di sebuah cawan perak. Dia berdiri sambil tertawa. Seseorang di kamar sebelah berteriak-teriak. Aku kenal suaranya. Karaeng Lebang (Natisha)………….” (hlm. 392)

Laila mendapatkan trauma fisik dan mental yang menghancurkan kepercayaan dirinya, hidupnya, dan harapannya. Namun dukungan dari Podding, kekasih Laila, yang menerima kondisi Laila membuat Laila mempunyai alasan untuk bertahan. Dari penjelasan Laila, Rangka ditemukan bersama saat akan menumbalkan Natisha. Rangka hanya dipenjara, sementara luka dan trauma yang ditinggalkan untuk Laila dan Natisha akan membekas selamanya, seumur hidupnya.

Baca Juga: Di Bawah Tekanan Luka dan Trauma

Terlebih lagi beberapa hari sebelum pernikahannya yang sempat tertunda akan berlangsung, Natisha mengetahui bahwa dirinya sedang mengandung anak Rangka. Natisha memutuskan untuk membicarakan masalah ini dengan Tutu, dengan berbesar hati Tutu menerima kondisi Natisha dan tetap menikahinya. (hlm. 408)

Dari cerita Natisha, peristiwa traumatik yang dialami perempuan-perempuan dalam buku ini ada banyak hal yang bisa kita petik. Kondisi terpuruk karena keadaan, sakit fisik dan pikiran, menjaga kewarasan, mempunyai alasan bertahan, dan bertahan pada harapan adalah fase yang harus dilalui oleh penyintas kekerasan seksual. Menghadapi fase ini tidaklah mudah.

Tanpa adanya dukungan dan penerimaan, terlebih dari orang-orang sekitar, para penyintas kekerasan seksual tidak akan punya pilihan dan harapan untuk bertahan.

 

Penulis: Waltri (Tim Redaksi JalaStoria.id)

Digiqole ad