Pengaturan Kekerasan Seksual dalam Undang-Undang Ekuador

 Pengaturan Kekerasan Seksual dalam Undang-Undang Ekuador

Salah satu sudut kota Quito, ibukota Ekuador (Sumber: Stephanie Frias/Pexels.com)

Setidaknya terdapat pengaturan 6 jenis kekerasan seksual yang tersebar dalam berbagai Undang-Undang (UU) Ekuador. Yaitu, pemaksaan aborsi, perkosaan, dan eksploitasi seksual termasuk meliputi juga pemerasan seksual. Demikian pula pemaksaan pelacuran, pelecehan seksual, dan pemaksaan perkawinan.

Ekuador mengesahkan “Law to Prevent and Combat Digital Sexual Violence and Strengthen the Fight Against Computer Crimes” atau disebut UU Kekerasan Digital pada 6 Mei 2021.  UU ini sekaligus mengubah sejumlah ketentuan terkait kekerasan seksual dalam Hukum Pidana.

Selain itu, negara di Amerika Latin ini juga telah memiliki UU terkait kekerasan dalam rumah tangga yaitu UU Nomor 103 Tahun 1995 tentang The Special Law on Violence Against Women and the Family. UU ini memberikan pelindungan bagi perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, termasuk yang terjadi dalam bentuk kekerasan seksual. Sementara itu, ketentuan larangan atas pemaksaan perkawinan diatur dalam Hukum Perdata.

 

1. Hukum Pidana: Pemaksaan Aborsi, Perkosaan, Eksploitasi Seksual, dan Pemaksaan Pelacuran

 

Pemaksaan Aborsi

Pasal 151 Hukum Pidana Ekuador hanya mengecualikan pemidanaan aborsi dalam kondisi kesehatan ibu yang tidak memungkinkan dan terhadap perempuan korban perkosaan penyandang disabilitas mental.

Namun demikian, Reuters melaporkan bahwa sepanjang 2014-2018, terdapat setidaknya 300 perempuan yang dipenjara karena melakukan aborsi. Di saat yang sama, kematian akibat aborsi tidak aman juga mengancam setidaknya 2700 anak perempuan.

Sejumlah pihak kemudian mengajukan usulan perubahan terhadap ketentuan pelarangan aborsi dalam Hukum Pidana agar dikecualikan juga bagi korban perkosaan. Pada 28 April 2021, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan judicial review.  Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Ekuador ini, korban perkosaan tidak lagi dipidana jika melakukan aborsi.

Sementara itu, pasal yang mengatur pemaksaan aborsi dalam Hukum Pidana Ekuador tidak berubah. Pasal 148 menjatuhkan pidana dengan pemberatan kepada pelaku apabila aborsi dilakukan tanpa persetujuan dari perempuan hamil yang bersangkutan.

Pelecehan Seksual

Pasal 166 Hukum Pidana Ekuador menyatakan pelecehan seksual sebagai berikut: “Seseorang yang meminta tindakan seksual, untuk dirinya atau orang lain, dengan mengambil keuntungan dari situasi ketenagakerjaan, pengajaran, keagamaan atau otoritas serupa, atau tutor atau penjaga, menteri agama, profesional pendidikan atau kesehatan, yang bertanggung jawab terhadap pasien atau memiliki ikatan kekeluargaan atau hubungan lainnya yang berakibat subordinasi korban” (terjemahan bebas).

Pemberatan pidana dijatuhkan apabila korban berusia di bawah 18 tahun atau orang dengan disabilitas. Demikian juga apabila korban adalah seseorang yang tidak dapat memahami peristiwa kekerasan seksual yang terjadi atau karena berbagai sebab tidak dapat melawan.

Perkosaan

Pasal 171 mempidanakan perkosaan dengan pidana antara 19 sampai 20 tahun penjara. Hukum Pidana ini juga mempidanakan perkosaan dalam perkawinan (Pasal 155 sampai 158), dan pelecehan seksual (Pasal 170).

Baca Juga: Perkosaan dalam Perkawinan

Pasal 171 Hukum Pidana mengatur perkosaan sebagai pelanggaran terhadap tubuh. Unsur tindak pidana meliputi adanya penetrasi penis baik seluruhnya maupun sebagian, secara oral, anal, atau vaginal, atau dengan menggunakan benda, jari tangan, atau organ tubuh lainnya selain alat kelamin kepada orang lain berjenis kelamin apapun. Apabila korban berusia di bawah 18 tahun, persetujuan korban menjadi tidak berlaku. Ini menunjukkan bahwa setiap hubungan seksual dengan korban berusia di bawah 18 tahun merupakan perkosaan.

Namun demikian, adanya unsur “paksa” dalam definisi tersebut dalam kenyataannya membuat kesulitan untuk membawa pelaku ke persidangan. Oleh karena itu, sebagian pihak di Ekuador mengusulkan agar definisi perkosaan itu diubah. Tindak pidana perkosaan seharusnya didasarkan pada ketiadaan persetujuan korban daripada penggunaan kekerasan.

Eksploitasi Seksual

Pasal 100 merumuskan tindak pidana eksploitasi seksual sebagai berikut: “Seseorang yang, untuk keuntungan diri sendiri atau pihak ketiga, menjual, penyediakan, mengambil keuntungan dari atau melakukan pertukaran dengan orang lain untuk melakukan satu atau lebih tindakan seksual, dipidana dengan pidana 13 sampai 16 tahun penjara.”

Pemberatan pidana dijatuhkan apabila dilakukan terhadap orang yang lebih tua, anak perempuan, anak, remaja, perempuan hamil, dan orang dengan disabilitas. Demikian pula apabila korban merupakan seseorang yang berada dalam situasi rentan atau korban punya hubungan sebagai pasangan, relasi keluarga, atau ketergantungan ekonomi. Hal yang sama juga berlaku apabila ada keterkaitan dengan otoritas sipil, militer, pendidikan, keagamaan, atau ketenagakerjaan.

Baca Juga: Pemerkosaan Dalam Berpacaran Kerap Terjadi dan Bukan Salah Korban

Pemaksaan Prostitusi

Pemaksaan Prostitusi diatur dalam Pasal 101. Ketentuan ini menyatakan, seseorang yang memaksakan, meminta, mengajukan, atau menginduksi orang lain yang bertentangan dengan kehendak orang lain tersebut untuk berhubungan seksual dengan orang lain, dipidana dengan pidana 13 sampai 16 tahun penjara. Ketentuan ini meliputi juga apabila korban memiliki hubungan kekeluargaan, pasangan, dan mantan pasangan.

Pelindungan Korban

Secara umum, korban tindak pidana berhak atas reparasi dan kompensasi akibat tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 11.2 Hukum Pidana. Sementara itu, perubahan terakhir Hukum Pidana Ekuador pada 2014 menetapkan 43 ketentuan yang melindungi korban kekerasan seksual. Antara lain, persidangan dilakukan secara tertutup, dan penuntut umum berkewajiban melakukan investigasi.  Selain itu, sejak Februari 2019, kekerasan seksual ditetapkan sebagai tindak pidana yang tidak lagi punya batas waktu dalam pelaporan ke kepolisian.

Baca Juga: Mencermati Jawaban atas Pertanyaan Komite CEDAW

2. UU Kekerasan Digital

UU Kekerasan Digital ditujukan untuk melindungi korban kekerasan seksual dari pelecehan secara online. UU ini mengubah dan/atau memperluas sejumlah ketentuan dalam Hukum Pidana. Antara lain, Pasal 103 Hukum Pidana dengan mempidanakan orang yang menunjukkan material pornografi.

UU ini juga mempidanakan pelaku kekerasan psikis terhadap keluarga inti (Pasal 157). Selain itu, terdapat ketentuan terkait kekerasan ekonomi (Pasal 158.1), kekerasan simbolis (Pasal 158.2), kekerasan politik (Pasal 158.3), kekerasan media (Pasal 158.4), dan kekerasan ginekologi-obstetrik (Pasal 158.5).

 

Pelecehan Seksual

Pelecehan seksual (Acoso Sexual) diatur dalam Pasal 166. Ketentuan ini mempidanakan orang yang meminta tindakan seksual untuk dirinya atau pihak ketiga, mengambil keuntungan dari situasi otoritas tenaga kerja, pendidikan, keagamaan, atau sejenisnya, bertanggungjawab atas perawatan pasien atau mempertahankan ikatan keluarga atau bentuk lain yang menyiratkan subordinasi korban. Ancaman pidana yang dijatuhkan adalah tiga sampai lima tahun penjara.

Pasal ini juga mempidanakan orang yang meminta dilakukan tindakan yang bersifat seksual yang melanggar integritas seksual orang lain.

Dalam Pasal 170, UU ini menjatuhkan pidana maksimum apabila pelecehan seksual itu direkam atau disiarkan langsung dengan sengaja oleh pelaku. Yaitu dengan cara digital apapun, perangkat elektronik, atau melalui teknologi dari informasi dan komunikasi.

Baca Juga: Pentingnya Perlindungan Korban Kekerasan Seksual Melalui Revisi UU ITE

Pemerasan Seksual

UU ini juga mengatur tindak pidana pemerasan seksual (Extorsión sexual). Pasal 172 UU ini mempidanakan setiap orang yang menggunakan kekerasan, ancaman, manipulasi atau pemerasan, membujuk, menghasut, atau memaksa orang lain untuk menunjukkan tubuhnya telanjang, setengah telanjang, atau dalam sikap seksual. Unsur lainnya yang diatur adalah adanya tujuan memperoleh keuntungan pribadi atau untuk pihak ketiga, baik berupa seksual atau jenis lainnya.

Berdasarkan unsur tindak pidana ini, ketentuan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana eksploitasi seksual.

 

3. Hukum Perdata: Pemaksaan Perkawinan

Pasal 67 Konstitusi Ekuador menyatakan bahwa “Marriage is the union of a man and a woman and shall be based on the free consent of the persons entering into this bond and on the equality of rights, obligations and legal capacity.”

“Perkawinan adalah penyatuan antara laki-laki dan perempuan dan harus didasarkan pada persetujuan bebas dari orang-orang yang memasuki perikatan ini dan atas dasar kesetaraan hak, kewajiban, dan cakap hukum” (terjemahan bebas).

Dalam Hukum Perdata Ekuador 2015, setiap laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk memasuki perkawinan (Pasal 81). UU ini menetapkan persetujuan kedua belah pihak agar perkawinan dinyatakan sah (Pasal 82). Selain itu, UU ini melarang pemaksaan perkawinan (Pasal 96).

UU ini juga menyatakan pemaksaan perkawinan menjadi penyebab pembatalan perkawinan. Hal ini karena tidak adanya persetujuan yang bebas dan spontan dari salah satu atau kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian. []

 

Ema Mukarramah

Senang menulis seputar isu hukum, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak

 

Sumber: Human Rights Watch, OHCHR, The Organization for World Peace, Plannet Parenthood, Government of United Kingdom, Fundamedios

 

 

 

 

 

 

 

Digiqole ad