Ketiadaan Consent sebagai Unsur Perkosaan

 Ketiadaan Consent sebagai Unsur Perkosaan

Ilustrasi (Sumber: Geralt/Pixabay.com)

JAKARTA, JALASTORIA.ID – Sejumlah negara kini telah merumuskan secara tegas unsur “ketiadaan consent (persetujuan-Red)sebagai unsur dalam tindak pidana perkosaan. Unsur ini relatif baru diadopsi di sejumlah negara terutama melalui perubahan hukum pidana setempat yang mengatur tentang perkosaan.

Amnesty International pada 2020 melaporkan, setidaknya dari 31 negara di Eropa, 12 di antaranya sudah menyatakan secara tegas bahwa hubungan seksual tanpa consent adalah perkosaan.

Sementara itu, berdasarkan perubahan hukum pidana pada 2017, New Zealand -negara di kawasan benua Australia- telah merumuskan berbagai situasi yang tidak memenuhi consent sebagai perkosaan.

Perubahan di berbagai negara itu tidak lepas dari desakan banyak pihak yang mendorong dilakukannya perubahan atas rumusan hukum pidana terkait perkosaan. Dalam laporannya, Amnesty menyatakan, perubahan ini signifikan memberikan perlindungan pada korban perkosaan. Misalnya, dalam kasus yang diamati di Swedia.

Baca Juga: Membangun Memori Bangsa atas Kekerasan Seksual Massal di Indonesia

Dua tahun pasca perubahan itu, jumlah kasus perkosaan yang dipidanakan di pengadilan tingkat pertama Swedia meningkat. Berbagai kasus perkosaan yang sebelumnya dianggap tidak memenuhi unsur tindak pidana akhirnya dikenali sebagai perkosaan oleh hukum. Termasuk perkosaan yang terjadi di mana kondisi korban “membeku” (freezes), terkejut, atau tidak bereaksi apapun.

Penegasan bahwa hubungan seksual tanpa consent adalah perkosaan merupakan salah satu kritik terhadap rumusan hukum pidana. Pada umumnya, hukum pidana meletakkan unsur paksaan (coercion), intimidasi (intimidation), ancaman (threat),  dan/atau kekerasan fisik (phisycal violence) sebagai unsur perkosaan. Berdasarkan sejumlah kasus perkosaan yang dilaporkan di beberapa negara, Amnesty mengidentifikasi terdapat pelaku yang justru dibebaskan oleh pengadilan dengan alasan tidak terbukti adanya unsur paksaan atau perlawanan. Di Indonesia, penelitian Masyarakat Pemantau Peradilan (MAPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2016 juga mencatat temuan yang tidak jauh berbeda.

 

Makna Consent

Dalam bahasa Inggris, consent artinya persetujuan. Mirriam-Webster Dictionary  menjelaskan consent sebagai kata kerja yaitu:

  1. To agree to do or allow something” (menyetujui untuk melakukan atau memperbolehkan sesuatu)
  2. “To give permission for something to happen or be done” (memberikan ijin bagi sesuatu untuk terjadi atau dilakukan).

Adapun consent sebagai kata benda memiliki arti “compliance in or approval of what is done or proposed by another” (kerelaan atau persetujuan atas yang dilakukan atau dikehendaki oleh pihak lain). Sementara makna lainnya adalah “agreement as to action or opinion” (kesepakatan terhadap tindakan atau pendapat).

The Rape, Abuse, and Incest National Network (RAINN)  menyatakan, consent adalah persetujuan antara kedua belah pihak dalam aktivitas seksual. Menurut RAINN, consent harus dinyatakan secara jelas dan tanpa paksaan. Consent tidak dapat diberikan oleh seseorang yang masih berusia anak, mabuk, atau berada dalam pengaruh obat-obatan atau alkohol, atau mengantuk dan pingsan. Demikian pula jika seseorang menyatakan persetujuan di bawah tekanan, intimidasi, atau ancaman. Adanya relasi kuasa antara korban dan pelaku juga menunjukkan ketiadaan consent. Misalnya korban adalah pelajar dan pelaku adalah guru, atau korban sebagai pegawai sementara pelaku adalah pimpinan atau pemberi kerja atau berada dalam jabatan yang lebih tinggi dari korban.

Baca Juga: Definisi Kekerasan Seksual dalam Hukum di Indonesia

Menurut Planned Parenthood, consent tidak dapat diukur dari kebiasaan seseorang di masa lalu, pakaian yang dikenakan, atau tempat mana yang sedang dituju. Consent selalu harus jelas terkomunikasikan dan bukan sebagai sesuai yang misteri. Oleh karena itu, Planned Parenthood juga menegaskan bahwa diamnya seseorang bukanlah consent. 

 

Bukan Consent Menurut Hukum

Institute Criminal Justice Reform (ICJR) menjelaskan, unsur ketiadaan consent adalah dasar dari kekerasan seksual. “Hubungan seksual dapat dikategorikan sebagai tindak pidana atau kejahatan, apabila di dalamnya mengandung unsur ketiadaan consent [atau persetujuan],” jelas ICJR (21/09/20). Persetujuan ini menjadi poin yang sangat penting untuk dapat membuktikan apakah memang seseorang melakukan tindak pidana atau tidak.

Untuk menjelaskan unsur “ketiadaan consent”, sejumlah negara menguraikan situasi yang bukan merupakan consent sebagai tindak pidana perkosaan. Di antaranya, New Zealand.

Dalam Pasal 128A Perubahan Undang-Undang Pidana 2017, New Zealand menegaskan bahwa seseorang tidak dinyatakan consent melakukan hubungan seksual, apabila:

  1. Sekalipun tidak adanya protes atau tidak ada perlawanan korban.
  2. Adanya paksaan terhadap korban atau terhadap orang lain, ancaman (eksplisit atau tersirat) yang memaksa korban atau orang lain, atau ketakutan akan paksaan kepada korban atau orang lain.
  3. Korban dalam keadaan mengantuk atau tidak sadarkan diri.
  4. Korban berada dalam pengaruh alkohol atau obat.
  5. Korban merupakan penyandang disabilitas intelektual, mental, berada dalam kondisi gangguan yang tidak memungkinkannya untuk menolak atau memberikan persetujuan.
  6. Korban salah mengira berhubungan seksual dengan pasangan.

Dengan demikian, dalam berbagai situasi di atas, New Zealand mempidanakan pelaku yang melakukan hubungan seksual dengan korban atas dakwaan perkosaan.

Baca Juga: Mengkritisi RUU KUHP

KUHP, RUU KUHP, dan Consent

Berdasarkan Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ketiadaan consent belum secara eksplisit termaktub sebagai unsur perkosaan. KUHP mengatur unsur-unsur perkosaan meliputi: 1) Kekerasan atau ancaman kekerasan; 2) Memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia.

Sementara itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP Juni 2015 merumuskan unsur “ketiadaan persetujuan” dan “bertentangan dengan kehendak” sebagai unsur tindak pidana perkosaan. Pasal 491 menyatakan, “Dipidana karena  melakukan  tindak pidana perkosaan,  dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun:

a. laki‑laki yang melakukan persetubuhan dengan perem­puan di luar perkawinan, bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut;

b. laki‑laki yang melakukan persetubuhan dengan perem­puan di luar perkawinan, tanpa persetujuan perempuan tersebut.”

Namun demikian, dalam RUU KUHP per 15 September 2019, kedua unsur dalam RUU KUHP 2015 itu tidak lagi diatur. Berdasarkan RUU KUHP 2019 tersebut, korban yang mengalami berbagai situasi yang bukan consent mungkin akan mengalami kesulitan dalam proses pembuktian karena situasi yang dialaminya masih tidak dikenali oleh hukum sebagai perkosaan. [MUK]

 

Digiqole ad