Film Vina: Sebelum 7 Hari, Bukti Nyata Femisida Ada di Indonesia

 Film Vina: Sebelum 7 Hari, Bukti Nyata Femisida Ada di Indonesia

Ilustrasi perbudakan pada perempuan

Sejak sebelum resmi diputar di layar bioskop, film yang diangkat dari kisah nyata, Vina: Sebelum 7 Hari telah ramai diperbincangkan banyak orang. Tak heran jika kemudian film Garapan sutradara Anggy Umbara ini mampu meraih jumlah penonton di atas 4 juta dalam kurun waktu 12 hari.

Pro kontra pun membayangi film ini. Sebagian masyarakat menilai film tersebut tidak layak karena dianggap mengumbar kekerasan terhadap perempuan. Film produksi Dee Company disebut kurang sensitif terhadap korban.

Bahkan Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan menyatakan lewat film tersebut, Vina kembali menjadi korban kekerasan berbasis gender di ranah online.

“Jadi aku sepakat bahwa ini tidak sensitif dan tidak memberikan pendidikan pada publik bahwa ini adalah femisida, dan bahkan ada komentar warganet yang mengatakan, ‘Makanya jangan menolak laki-laki’ atau ‘Kalau nolak laki-laki jangan kasar’,” kata Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan, dalam Instagram Live belum lama ini.

 

Femisida dalam Film

Dalam film Vina: Sebelum 7 Hari, memang terlihat jelas femisida itu ada dan nyata di Indonesia. Kasus yang ditampilkan dalam film ini secara tidak langsung termasuk sebagai kasus femisida. Sebab, terdapat nilai-nilai yang menodai feminisme atau perlindungan terhadap hak-hak perempuan.

 

Baca Juga: Film Vina: Sebelum 7 Hari, Kisah Nyata Gadis Muda Alami Kekerasan Seksual hingga Meregang Nyawa

 

Lewat film ini ditampilkan kekerasan seksual dan pembunuhan yang terdorong oleh bias gender dan maskulinitas. Film Vina juga menampilkan bagaimana kekerasan seksual dan pembunuhan dapat menjadi akibat dari kebencian terhadap perempuan yang menolak otoritas pria.

Salah satunya dihadirkan dalam adegan Vina yang menolak cinta Egi. Hal ini menunjukkan bagaimana femisida dapat berhubungan dengan kekerasan seksual dan bias gender yang mendorong pembunuhan.

 Film Vina juga memperlakukan korban sebagai objek kekerasan dan kejahatan. Selain itu, masyarakat ikut menyalahkan perempuan sebagai korban. Hal itu terlihat dari komentar beberapa warganet.

 

Kontroversi karena Femisida

Meski viral, sayangnya film ini telah menuai kontroversi sejak pertama kali produksinya beredar. Banyak yang menilai film Vina tidak etis untuk diproduksi dan ditayangkan. Salah satu alasannya karena film tersebut menggunakan kasus nyata pemerkosaan dan femisida secara komersial dan eksplisit, tanpa menyamarkan identitas korban.

Berdasarkan testimoni warganet yang telah menonton Vina: Sebelum 7 Hari, terungkap film tersebut secara eksplisit dan brutal menampilkan adegan pemerkosaan terhadap sosok Vina. Selain menimbulkan trauma kekerasan seksual bagi penonton, adegan tersebut juga malah memicu persepsi seksual dari kelompok penonton yang lain.

 

Baca Juga: Pilu, Kisah Korban Pemerkosaan Tragedi Mei 1998

 

Mengacu pada kontroversi tersebut, Komnas Perempuan telah mengambil beberapa langkah terkait kasus femisida dalam film Vina: Sebelum 7 Hari. Komnas Perempuan menyoroti film tersebut sebagai contoh femisida, yakni fenomena yang melibatkan pembunuhan perempuan yang terdorong oleh kebencian, dominasi, dan pandangan bahwa perempuan adalah objek yang dapat dikuasai dan dimiliki.

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengatakan bahwa kisah Vina dalam film bukan hanya tentang kekerasan seksual, tetapi juga tentang femisida. Pembunuhan Vina tidak hanya sebagai aksi kekerasan biasa, melainkan terdorong oleh rasa marah dan dominasi laki-laki terhadap perempuan.

Kritik keras juga datang dari Kalis Mardiasih, penulis opini sekaligus aktivis muda Nahdlatul Ulama (NU), yang mempertanyakan keterlibatan keluarga mendiang korban Vina saat proses pembuatan film. Apalagi film ini secara blak-blakan tidak menggunakan nama lain, melainkan nama asli korban.

Kalis Mardiasih menegaskan film horor Vina: Sebelum 7 Hari memiliki latar peristiwa femisida, yaitu penganiayaan, pemerkosaan berujung pembunuhan secara sadis kepada remaja perempuan. Sehingga butuh pengertian dan pemahaman mendalam penonton untuk menyikapi peristiwa tersebut.

 

Elvira Siahaan, perempuan apa adanya, mencintai anjing, dan suka petualangan baru.

 

Digiqole ad