Apakah Pemukulan terhadap Istri Adalah KDRT?

 Apakah Pemukulan terhadap Istri Adalah KDRT?

Ilustrasi (Sumber: Sora Shimazaki/Pexels.com)

Pertanyaan: Saya akan bertanya beberapa hal di sini. Anak saya dipukuli suaminya. Pertanyaan pertama, apa ini termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan bagaimana hukumnya? Kedua, jika anak saya mengajukan cerai dan suaminya mengancam akan membawa atau membela mati-matian untuk merebut anaknya, apa ini tindakan melanggar hukum juga karena menakut-nakuti istri? Dan anak di bawah umur setahu saya hak asuh ada di tangan ibu, apakah ini benar adanya? Mohon jawaban karena saya khawatir dengan anak saya yang depresi.

NS

Tanggapan:

Ibu NS Yth,

Bahwa berdasarkan ketentuan dari UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan (dalam hal ini pihak istri), yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau/penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.  Dengan demikian, pemukulan terhadap anak ibu oleh suaminya adalah sudah termasuk dalam KDRT.

Secara khusus tentang kekerasan fisik telah diatur secara jelas dalam ketentuan Pasal 6 UU PKDRT: “Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat”.  

 Oleh karena itu sudah sewajarnya jika di dalam rumah tangga terjadi perbuatan kekerasan fisik, maka perbuatan ini dapat dikategorikan sebagai bentuk dari KDRT. Kekerasan fisik yang terjadi ini dapat diproses secara hukum, baik secara hukum pidana maupun perdata. Secara hukum pidana yaitu dengan melaporkan suami dari anak ibu tersebut kepada pihak kepolisian setempat. Adapun secara perdata yaitu dengan mengajukan gugatan cerai di pengadilan agama (untuk muslim) atau ke pengadilan negeri (untuk non-muslim).

Adapun mengenai gugatan cerai oleh anak ibu atas dasar tindak kekerasan yang telah dilakukan oleh suaminya, bahwa jika kita melihat ketentuan dari UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagai berikut:

 Pasal 38: “Perkawinan dapat putus karena: (a) kematian; (b) perceraian; dan (c) atas keputusan Pengadilan”;

Pasal 39 ayat (2): “Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri”.

Penjelasan dari Pasal 39 ayat (2) ini, yaitu tentang beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:

  1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
  2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya.
  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain.
  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
  6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Dengan demikian, pengajuan gugatan cerai oleh istri itu sangat bisa dilakukan dan diperbolehkan oleh UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, termasuk juga dengan adanya tindakan kekerasan yang telah dilakukan oleh pihak suami terhadap isteri.

Tindak kekerasan yang dilakukan oleh pihak suami ini juga berdampak kepada perkembangan terhadap kondisi fisik dan psikis anak-anaknya. Semua tindak kekerasan yang telah dilakukan oleh suami dari anak ibu atau ayah dari cucu ibu ini secara tidak langsung telah merusak masa depan dari anak-anaknya.

Baca Juga: Apa Itu KDRT?

Mengenai ketentuan tentang hak asuh terhadap anak yang belum berumur 12 tahun atau di dalam ketentuan hukum islam disebut Mumayyiz, telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Ketentuan Pasal 105 KHI mengatur sebagai berikut:

  1. Pemeliharaan anak yang belum Mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas) tahun adalah hak ibunya.
  2. Pemeliharaan anak yang sudah Mumayyiz (sudah berusia 12 tahun) diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
  3. Biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya.

Apabila dari pihak suami melakukan tekanan ataupun ancaman kepada pihak istri, maka ini dapat dilaporkan secara pidana kepada pihak kepolisian. Selain itu, dapat dijadikan sebagai materi dari gugatan yang akan disampaikan dalam gugatan cerai di pengadilan. Perbuatan suami yang seperti itu juga dapat menjadi catatan penting terhadap sikap serta tindakan suami yang tidak cakap atau tidak patut dijadikan sebagai seorang ayah bagi anak-anaknya.

Mengenai adanya kondisi psikis yang cukup tertekan dari pihak istri ada baiknya melakukan proses konseling dengan psikolog. Hal ini ditujukan agar dari pihak istri dapat lebih stabil kondisinya.

Demikian tanggapan kami. Semoga dapat membantu persoalan yang sedang Ibu dan anak ibu hadapi. Salam sehat selalu.

Danielle Johanna, S.H., M.Si.

Advokat

Digiqole ad