UNTUK MENIKAH APAKAH HARUS ADA IJIN ORANG TUA?

 UNTUK MENIKAH APAKAH HARUS ADA IJIN ORANG TUA?

Tanya:

Saya perempuan berusia 24 tahun dan telah berpacaran selama 2 (dua) tahun dengan pacar saya yang berusia 25 tahun. Saya sudah bekerja sebagai karyawan tetap, tapi pacar saya bekerjanya belum tetap. Sebagai desainer komunikasi, ia bekerja berdasarkan kontrak yang didapat atau freelance di sejumlah lembaga. Kami berdua berencana akan menikah, tapi orangtua saya melarang karena menilai pacar saya belum bisa menafkahi saya dan mengkhawatirkan saya disia-siakan ketika berumahtangga. Sebenarnya apa syarat untuk menikah? Apakah harus ada izin dari orangtua? Demikian pertanyaan saya, terimakasih atas jawabannya.

 

Jawab:

Dear Sahabat JalaStoria, terimakasih sudah berkonsultasi dengan Tim Advokat JalaStoria terkait dengan niat baik sahabat untuk melangsungkan perkawinan. Sebelum menjawab syarat-syarat perkawinan, kami ingin menyampaikan terlebih dahulu, pengertian perkawinan yaitu adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan). Dengan tujuan demikian, maka dapat dipahami bahwa orangtua, khususnya orang tua perempuan mengharapkan dunia perkawinan anak-anaknya siap secara lahir dan batin.

Terkait dengan ijin orang tua, Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan mensyaratkan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Batasan usia 21 tahun, dipahami sebagai batasan seseorang dapat melakukan perbuatan hukum, termasuk perkawinan. Untuk pelaksanaan teknis ini diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 20 tahun 2019 tentang Tentang Pencatatan Pernikahan. Pasal 4 (1) huruf G PMA 20/2019 ini mengatur bahwa “pendaftaran kehendak nikah dilakukan secara tertulis dengan mengisi formulir permohonan dan melampirkan dokumen izin tertulis orang tua atau wali bagi calon pengantin yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun”.

Untuk formulir surat ijin orang tua ini telah disediakan dan dapat diakses di Kantor Urusan Agama (KUA) di mana perkawinan dilangsungkan. Dari ketentuan di atas, dengan demikian calon mempelai yang telah berusia 21 tahun, secara hukum tidak memerlukan izin dari kedua orang tua. Sehingga ketika calon pengantin sudah berusia 21 tahun, secara hukum ia tidak memerlukan surat ijin dari orang tua.

Namun, untuk perempuan yang menganut agama Islam, selain ijin orang tua, ada syarat Wali Nikah. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) wali nikah harus dipenuhi bagi calon mempelai perempuan yang bertindak untuk menikahkannya (Pasal 20). Terdapat sejumlah kritik feminis karena ketentuan ini menempatkan perempuan dewasa seakan-akan tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum (perkawinan) dan perkawinan ditentukan oleh keputusan kuasa ayah serta tidak mempertimbangkan Ibu calon mempelai perempuan yang berkontribusi pula dalam pengasuhan dan pendidikan anak perempuannya.

Wali nikah sendiri terdiri dari:  Wali nasab dan Wali hakim. Wali nasab (garis keturunan) yang terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, di mana kelompok yang satu didahulukan dari kelompok lainnya sesuai derajat kedekatannya dengan calon mempelai perempuan. Pertama, laki‐laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, laki‐laki kandung atau saudara laki‐laki seayah, dan keturunan laki‐laki mereka. Yaitu kakak atau adik laki-laki kandung, kakak/adik laki-laki seayah, dan anak-anaknya (laki-laki). Ketiga, paman, yakni saudara laki‐laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki‐laki mereka. Keempat, saudara laki‐laki kandung kakek, saudara laki‐laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.

Apabila wali nikah yang paling berhak, berdasarkan urutannya tidak memenuhi syarat, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah berikutnya. Baris wali ini patut diketahui selain untuk konteks permintaan untuk menjadi Wali Nikah, namun juga untuk membangun musyawarah dalam mendiskusikan rencana perkawinan. Wali nasab baru beralih kepada Wali Hakim jika wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan. (Pasal 23 KHI). Adhal dalam konteks hukum Islam, dalam hal perkawinan, merujuk pada wali yang enggan atau menolak untuk menikahkan anak perempuannya yang telah baligh dan berakal dengan laki-laki pilihannya. Untuk permintaan wali hakim ini dapat mengajukan ke Pengadilan Agama setempat dengan alasan wali nikahnya menghalangi/enggan (Adhal).

Namun, kami berpendapat sebelum menempuh jalan keluar yang telah disediakan oleh hukum, sebaiknya Sahabat JalaStoria terlebih dahulu mendiskusikan keberatan ayah dengan tenang. Diskusi ini tentunya dengan melibatkan pacar Saudari sebagai bentuk komitmennya untuk memastikan bahwa dalam perkawinan nantinya ia tidak akan melalaikan kewajiban untuk memenuhi nafkah sesuai dengan kemampuan atau rezeki yang diperolehnya. Sekaligus meminta pula doa, agar melalui perkawinan itu, pacar saudari dilimpahi rezeki.

Jika upaya pendekatan dan diskusi ini belum berhasil, sebaiknya Saudari dan pacar, meminta dukungan dari baris wali yang pendapatnya dihormati atau memengaruhi Ayah Saudari. Jika upaya-upaya pendekatan dan diskusi di atas belum membuahkan doa restu, maka barulah Saudari dapat mengajukan permohonan wali hakim dan memproses pendaftaran perkawinan. Semoga berhasil.

Salam Jalastoria. Menjala Cerita Mengurai Makna.

 

Tim Konsultasi Hukum Jalastoria

Dian Puspitasari

Siti Aminah Tardi

Siti Husna Lebby Amin

 

 

 

Digiqole ad