Oleh: Fitri Indra Harjanti
Mungkin sebagian perempuan pada masa kecilnya pernah bermimpi untuk menjadi Cinderella yang bertemu pangeran tampan, kaya, penyayang, baik hati, dan romantis. Pangeran tersebut diharapkan dapat menyelamatkan si perempuan dari lubang penderitaan lalu membawanya ke istana sang pangeran. Saya adalah salah satunya.
Saya benar-benar percaya bahwa tujuan akhir dari kehidupan ini adalah pernikahan. Hal itulah yang dikatakan dan ditunjukkan oleh rata-rata dongeng, film, komik, buku cerita anak, dan lain-lain. Hampir semuanya kompak menampilkan bahwa happy ending adalah ketika terjadi pernikahan. Seperti saat dongeng berakhir ketika narator mengatakan, “and then they will live happily ever after.”
Jangan-jangan dulu saya dan mungkin gadis-gadis kecil lain mengalami Cinderella Complex. Dilansir dari Hellosehat.com, Cinderella Complex adalah istilah yang pertama kali dicetuskan oleh Colette Dowling, seorang terapis asal New York sekaligus penulis buku “The Cinderella Complex”. Kurang lebih yang dimaksud dengan Cinderella Complex adalah kecenderungan perempuan untuk tergantung secara psikis. Hal ini ditunjukkan dengan adanya keinginan yang kuat untuk dirawat dan dilindungi orang lain, terutama laki-laki. Ia (perempuan) yakin bahwa hidupnya akan diselamatkan oleh sesuatu dari luar dirinya (laki-laki).
Menurut Hellosehat.com, Istilah Cinderella Complex sendiri diambil dari kisah dongeng populer Cinderella. Diceritakan Cinderella yang menderita karena sering disiksa oleh ibu tiri dan saudara-saudara tirinya, akhirnya hidupnya berbalik 180 derajat setelah ia diselamatkan oleh seorang pangeran tampan nan kaya raya.
Hellosehat.com menyebutkan Cinderella Complex ini disebabkan oleh norma dan nilai gender tradisional yang patriarkis dan mengelilingi hidup kita. Hal tersebut menegaskan pembatasan-pembatasan tertentu dalam hal gender, serta memperlihatkan kedudukan dan peran laki-laki yang lebih dominan dibanding perempuan. Laki-laki dididik untuk mandiri dan tangguh. Secara sistematis pula, perempuan dididik bahwa happy ending dalam dongeng bisa menjadi kenyataan, bahwa suatu saat nanti mereka akan “diselamatkan”.
Secara sistematis, perempuan (dan juga laki-laki) dididik bahwa happy ending seperti dalam dongeng bisa menjadi kenyataan.
Masalahnya adalah kebanyakan dongeng, buku, film, cerita anak yang ada menceritakan bahwa untuk mendapatkan happy ending, perempuan should get rescued alias mesti diselamatkan. Sebut saja dongeng-dongeng semacam Cinderella tadi, Putri Tidur, Putri Salju, dan hampir semua dongeng/cerita/film anak populer lainnya. Kisahnya selalu tentang perempuan yang harus selalu diselamatkan, dilindungi, dibantu, dan diubah hidupnya oleh pangeran.
Sebaliknya tentu saja—dalam dongeng atau cerita yang sama—laki-laki harus selalu menyelamatkan, melindungi, membantu, dan mengubah kehidupan.
Melalui jurnal yang berjudul Gender Stereotypes dalam Kochiyama, Arisa. Teaching Gender Awareness Through Fairy Tales in the EFL Classroom. M. Archer menyebutkan, bias gender tergambar jelas di dalam dongeng dan buku-buku anak di mana para tokoh laki-laki digambarkan sebagai kasar, tangguh, petualang, jago berkelahi, seorang pangeran, dan memiliki karakter heroik. Sementara para tokoh perempuan digambarkan sebagai manis, cantik, seorang putri, tidak berdaya, keibuan, pembersih, dan selalu dalam keadaan kesusahan. Walaupun mungkin peran-peran ini menyenangkan untuk sebuah cerita, tetapi hal tersebut tidak menyuguhkan kepada pembacanya persepsi mengenai apa peran mereka seharusnya dalam kehidupan nyata.
Jadi jangan heran kalau kemudian banyak perempuan yang hidupnya menunggu untuk diselamatkan laki-laki, dan banyak laki-laki yang bersaing untuk menjadi pahlawan yang menyelamatkan perempuan (bahkan kalau perlu banyak perempuan).
Lha wong dongeng, bacaan, dan tontonannya sama. Klop sudah!
Dalam jurnal berjudul Cinderellas from Around the World: Are Their Tales Created with Gender Bias? Kochiyama, Arisa. Teaching Gender Awareness Through Fairy Tales in the EFL Classroom. Cook H.M menyebutkan, cerita-cerita dalam dongeng tersebut mungkin memang sangat ajaib dan menyenangkan. Akan tetapi mereka juga sekaligus menunjukkan pelabelan-pelabelan gender (gender stereotypes) dan mengirimkan pesan-pesan yang salah kepada anak-anak terkait kemampuan mereka berdasarkan gender mereka. Selanjutnya hal tersebut menciptakan pelabelan-pelabelan gender serta memengaruhi sikap serta perilaku anak-anak tersebut.
Anak-anak perempuan akan tumbuh dengan kepercayaan diri yang lebih rendah dan insecure, merasa tidak akan bisa melakukan sesuatu sendiri tanpa dibantu oleh orang lain. Ditambah lagi ia akan selalu menunggu untuk diselamatkan, oleh seorang laki-laki yang akan membahagiakannya dan mengubah hidupnya menjadi lebih baik.
Sementara anak laki-laki akan tumbuh dengan kepercayaan diri yang terlalu tinggi yang bisa berpotensi untuk tergelincir menjadi keinginan untuk mengontrol atau menguasai. Ditambah lagi persaingan untuk menjadi yang paling pahlawan. Beban untuk harus selalu bisa menjadi single superhero yang menyelamatkan hidup pasangan/keluarganya.
Pola pikir anak perempuan ini akan dibawanya sampai dewasa nanti, menganggap bahwa seluruh cerita hidupnya akan berakhir bahagia setelah momen pernikahan di mana narator mengatakan, “and they will live happily ever after”, seperti yang ada dalam dongeng.
Sementara pada laki-laki, ada tuntutan untuk selalu menjadi sukses agar bisa menyelamatkan dan bring happily ever after kind of life bagi para perempuan, sehingga tidak ada sedikit pun ruang untuk kegagalan.
Padahal pada kenyataannya, para perempuan tidak perlu menunggu untuk diselamatkan. Mereka bisa menyelamatkan diri mereka sendiri dengan berbagai cara. Yaitu menempuh pendidikan, mendapatkan akses informasi dan pekerjaan yang diinginkan, menjadi pengusaha, mengejar passion, serta mencintai diri mereka sendiri dengan seutuhnya.
Baca Juga: Dari Kekerasan dalam Pacaran ke KDRT
Nah, setelah para perempuan bahagia dengan diri mereka, kalau mau, mereka bisa mencari laki-laki baik yang memiliki visi yang sama dengan mereka. Mereka dapat mencari laki-laki yang memiliki kesamaan nilai/prinsip, serta menghargai dan mencintai mereka sepenuh hati untuk berbagi kehidupan dan membangun peradaban. Mereka bisa menemukan laki-laki yang mencintai mereka, bukan superhero yang akan selalu menyelamatkan mereka.
Para laki-laki juga tidak perlu repot-repot harus menyelamatkan kehidupan seseorang. Tidak perlu juga meletakkan beban membahagiakan keluarga serta mengubah kehidupan orang lain di pundaknya. Laki-laki adalah manusia biasa, sama seperti perempuan. Kita bukan superhuman yang tidak pernah gagal.
Para laki-laki pun bisa mencari perempuan yang sevisi dan mengamini nilai-nilai yang sama, untuk bahu-membahu berbagi beban dan tanggung jawab. Selanjutnya, mereka bisa berjuang bersama-sama membangun keluarga dan menciptakan peradaban yang lebih baik. Kebahagiaan adalah tanggung jawab diri masing-masing, walaupun tentu kebahagiaan selayaknya dibagi dengan pasangan dan orang-orang tercinta lainnya.
Anak-anak mereka pun akan mendapatkan contoh relasi antara laki-laki dan perempuan yang lebih setara dan adil. Baik dalam berbagi kekuasaan, berbagi tanggung jawab, berbagi ruang, berbagi beban, maupun berbagi pekerjaan.
Setelah menikah pun tidak akan otomatis live happily ever after kalau tidak diusahakan dan diperjuangkan bersama oleh perempuan dan laki-laki yang terlibat di dalam pernikahan itu. Terkadang yang sudah diusahakan dan diperjuangkan saja belum tentu berhasil. Bisa jadi, ada saja hambatan-hambatan yang berada di luar kontrol kita.
Kalaupun ada perempuan atau laki-laki yang belum menikah atau memang memutuskan untuk tidak menikah, mereka juga tetap akan bisa live happily ever after. Tanpa pernikahan pun orang akan tetap bisa live happily ever after, tetap akan bisa bermanfaat, dan tetap akan bisa membangun peradaban.
Begitu juga dengan orang yang pernah menikah dan kemudian memutuskan untuk tidak menikah lagi. Semua orang memiliki kesempatan untuk live happily ever after, menjadi bermanfaat, dan membangun peradaban dunia ini, apapun pilihan hidup yang mereka ambil.
Mari kita membuat dongeng, bacaan, tontonan yang tidak hanya memberi satu pilihan jalur saja untuk live happily ever after. Apalagi sudah cuma satu jalur masih ditambah bias gender pula, bisa fatal dan jangka panjang akibatnya.
Saatnya kita menciptakan dongeng, bacaan, dan tontonan yang bisa mendorong baik anak perempuan maupun anak laki-laki untuk berdiri di kakinya sendiri, menyelamatkan dirinya sendiri, dan berjuang dengan usahanya sendiri. Agar kemudian bisa menjadi bermanfaat dan menyumbang hal-hal baik untuk peradaban dunia. Selanjutnya tentu saja yang tidak kalah penting, untuk bisa saling berbagi cinta yang penuh penghargaan dan kerja sama.
*Seorang fasilitator, editor, penerjemah, dan penulis freelance yang aktif menggeluti isu gender dan feminisme sejak lebih dari 10 tahun yang lalu.