Waspada Potensi Keberulangan KDRT
Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) Nomor 23 Tahun 2004 akan memasuki usia 20 tahun. Undang-undang ini memberi isyarat bahwa kekerasan dalam rumah tangga bukan lagi urusan pribadi, melainkan menjadi urusan publik dan tanggung jawab negara.
Regulasi ini diharapkan mampu menindak tegas pelaku sekaligus memberikan perlindungan hukum kepada korban KDRT, demikian pula untuk mencegah terjadinya KDRT. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa di usia UU PKDRT yang menapaki 19 tahun, angka kasus KDRT masih terbilang cukup tinggi.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) melalui Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), dari Januari sampai Desember 2022 menunjukkan tempat kejadian kekerasan terhadap perempuan paling banyak terjadi di rumah tangga dengan persentase 73,1%. Pelakunya sebagian besar adalah suami dengan persentase sebanyak 56,3%.
Faktor pemicu paling banyak adalah faktor ekonomi sebesar 30,7%. Namun, sering kali pemicu terjadinya KDRT juga tidak jelas. Di antara penyebabnya adalah kecemburuan, suami mabuk, himpitan pekerjaan yang dialami suami atau istri, dan penyebab lainnya.
Baca Juga: Upaya Penghapusan KDRT, Enam Hal Ini yang Dilakukan Tokoh Agama
Kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga tidak bisa diabaikan. Data survei pengalaman hidup perempuan oleh KemenPPPA kepada perempuan usia 15 sampai 64 tahun, menunjukkan bahwa 24 juta perempuan pernah mengalami kekerasan dalam hidupnya.
Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Eni Widiyanti, Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan, KemenPPPA, dalam Kampanye Penghapusan KDRT: Dialog dengan Lembaga Penyedia Layanan yang diselenggarakan oleh KemenPPPA bekerja sama dengan Perkumpulan JalaStoria (12/09/23).
Sementara itu, bentuk kekerasan yang dialami oleh pasangan antara lain berupa pembatasan perilaku. Kondisi ini selaras dengan persepsi perempuan yang disurvei, bahwa mereka setuju terhadap pernyataan terkait kepatuhan istri kepada suami. Istri cenderung menurut kepada suami, atau dengan kata lain dibatasi ruang geraknya, karena ada persepsi bahwa istri yang baik harus patuh pada suami meskipun bertentangan dengan keinginan istri. Dengan kata lain, banyak perempuan tidak menyadari bahwa tengah mengalami KDRT.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) berdampak signifikan terhadap kehidupan perempuan dan anak. Berikut adalah beberapa dampak KDRT yang disorot dalam acara ini:
- Memicu Keinginan Bunuh Diri
Kekerasan dalam rumah tangga dapat dialami oleh siapa saja, tanpa pengecualian dari kalangan bawah, menengah, atau atas. Dalam beberapa kasus KDRT, terutama dari kalangan atas dengan status sosial tinggi di masyarakat, korban KDRT cenderung memilih untuk melakukan bunuh diri.
Baca Juga: Jelang Dua Dekade UU PKDRT, Ini 4 Fakta yang Ada
Keluarga dengan status sosial tinggi menganggap kasus KDRT yang dialami korban adalah aib bagi keluarga. Korban dengan status sosial tinggi di masyarakat merasa tidak bisa menceritakan kekerasan yang dialaminya kepada siapapun, sehingga korban frustasi dan memicu munculnya keinginan bunuh diri. Hal ini disampaikan oleh Livia Iskandar dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
“Keinginan untuk bunuh diri karena frustasi. Ada seseorang yang memutuskan mengambil hidupnya sendiri karena orang tuanya profesor, suaminya tinggi jabatannya dan dia juga punya jabatan yang tinggi. Korban merasa tidak bisa cerita kemanapun, akhirnya mengakhiri hidupnya sendiri”, kata Livia.
- Berperilaku Buruk sebagai Bentuk Pelarian
Eni Widiyanti dari KemenPPPA mengungkapkan bahwa korban KDRT juga menjurus pada kebiasaan buruk sebagai bentuk pelarian. Seperti minum minuman keras atau minum obat tidur untuk mengurangi stres yang dialami korban. Selain berdampak pada pasangan, KDRT juga berdampak terhadap perilaku anak.
Berdasarkan survei yang dilakukan KemenPPPA kepada anak kelompok usia 6-12 tahun, anak korban KDRT memperlihatkan perilaku mimpi buruk, menghisap jempol, pemalu, menyendiri dan agresif.
Baca Juga: Bayang-bayang Broken Home bagi Korban KDRT
Anak-anak yang menjadi saksi mata kejadian KDRT di rumah mereka, ditengarai tumbuh dengan kesulitan belajar, keterampilan sosial yang terbatas, berperilaku nakal atau menderita depresi yang berat.
- Potensi Keberulangan
Kekerasan dalam rumah tangga berpotensi menjadi kekerasan intergenerasi atau kekerasan yang berulang. Hal ini berdasarkan data dari KemenPPPA yang mendapati bahwa perempuan korban kekerasan dulu menyaksikan ibunya menjadi korban kekerasan oleh bapaknya.
Lebih lanjut, anak yang sering menyaksikan kekerasan yang dilakukan oleh orang tuanya akan menganggap KDRT sebagai hal yang biasa. Ketika anak sudah menganggap KDRT sebagai hal yang wajar, maka ada potensi keberulangan kasus pada kehidupan anak kelak. Pengalaman kekerasan dalam rumah tangga di masa kecil, ditengarai akan diwarisi, anak dapat menjadi korban atau bahkan pelaku. [Uung Hasanah]
Selengkapnya, kegiatan dapat disimak melalui tautan https://m.youtube.com/live/d88SiM4hur8?feature=share