Sulitnya Hidup Sebagai Perempuan

 Sulitnya Hidup Sebagai Perempuan

Cover Buku (Sumber: Koleksi Pribadi)

Oleh: Uung Hasanah

Judul               : Muslimah yang Diperdebatkan

Penulis            : Kalis Mardiasih

Penerbit          : Buku Mojok

Ukuran            : 14 x 20 cm, xii + 202 halaman

TahunTerbit   : Cetakan keenam, Januari 2022

Dimulai dari kisah Mahsa Amini, perempuan asal Iran yang meninggal seusai ditangkap polisi moral Iran karena diduga tidak mematuhi aturan hijab yang berlaku. Di Indonesia, kasus Zavilda TV yang berisi konten pemaksaan hijab dengan alasan dakwah, sampai pada aturan hijab di sekolah formal, mengingatkan saya pada sebuah buku berjudul Muslimah yang Diperdebatkan. Buku berisi kumpulan esai dari seorang aktivis kesetaraan gender, Kalis Mardiasih.

Buku ini berisi narasi tentang isu perempuan dan moderasi beragama. Beberapa pernyataan dalam buku ini mengisyaratkan betapa berharganya seorang perempuan terlepas dari pakaian yang mereka kenakan. Buku ini dicetak pertama kali pada April 2019 dan cetakan keenam pada Januari 2020. Buku dengan sampul wajah perempuan dari berbagai latar belakang ini, diterbitkan saat tren hijrah dan polarisasi beragama tengah menjadi primadona di tengah masyarakat.

Penulis menunjukkan pemikirannya yang kontradiktif dengan situasi kala itu melalui bahasa yang sangat ringan. Hal ini terlihat dari beberapa judul esainya, seperti Jangan Biarkan Perempuan Berjuang Sendirian, Jilbabku Bukan Simbol Kesalihan, dan Islam di Mata Orang Asing. Selain seputar perempuan, Kalis juga mengulas wajah Islam Indonesia yang mulai minim moderasi beragama.

Baca Juga: Tubuh Perempuan dan Pergulatannya dengan “Ketidakwajaran”

Salah satu esai yang berjudul Tubuh Perempuan dan Penghormatan Kepada Hidup, rasanya sangat tepat sekali menggambarkan kegamangan atas tragedi seputar perempuan dan hak hidupnya seperti Mahsa Amini. Banyak kasus kekerasan yang terjadi kepada perempuan atas dasar penegakan syariat Islam, yang dalam penerapannya, bahkan nyawa manusia tidak lagi menjadi penting. Kalis menyebutnya sebagai dinding pembatas kemerdekaan perempuan sebagai manusia utuh yang berakal dan bermoral, serta mampu memutuskan kehidupannya sendiri.

Ia menyinggung tafsir hijab di kalangan masyarakat. Disadari atau tidak, sejak adanya tren hijrah, terdapat kecenderungan membedakan antara hijab syar’i dan non-syar’i. seolah-olah perempuan yang berhijab syar’i berislam secara kaffah, sementara di luar itu dianggap perempuan tidak bermoral. Kelihatannya sepele, tapi jika pandangan ini menyublim dalam sebuah tindakan, maka efeknya akan sangat fatal. Seperti yang dialami oleh Mahsa Amini, dan perempuan lain yang dilegalkan untuk dilecehkan hanya karena berpakaian terbuka. Begitulah kira-kira rangkuman sederhana yang saya dapat dari buku ini.

Saat pertama kali membaca buku ini, saya merasa narasi dipenuhi dengan sindiran yang cukup keras. Sehingga, saya pikir, mungkin saja ada pembaca yang tidak leluasa menangkap maksud penulis dikarenakan bahasanya yang frontal. Tapi itu hanya kemungkinan kecil, dibandingkan dengan muatan materi yang terkandung di dalamnya. Meski esai yang ditulis adalah bentuk reaktif terhadap peristiwa yang terjadi di tahun itu atau tahun-tahun sebelumnya, namun saya berkeyakinan buku ini akan terus eksis di kalangan pembaca. Sama halnya seperti membeli mie instan, baik kemasan lama atau baru, isinya tetap mie. Kemasan buku ini boleh menua, tapi maknanya terus tersirat sepanjang masa.

Baca Juga: ­Gender dan Permasalahan Citra Tubuh

Kelebihan lain dari buku ini, Kalis Mardiasih membawa saya pada suasana desa atau perkampungan dimana dia tinggal. Suasana itu digambarkan sebagai lingkungan yang aman dan damai serta tidak pernah mempermasalahkan agama dan pakaian apa yang dikenakan perempuan. Penulis menjadikannya contoh dari beberapa kasus yang diangkat. Bagi saya, buku ini sangat membumi, karena ilustrasi dan solusi yang ditawarkan Kalis sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari.

Buku ini, mengajak saya berpikir tentang banyaknya penderitaan yang dialami perempuan. Bagaimana penderitaan itu dimulai dan apa yang menyebabkannya tidak pernah berakhir. Selain itu, isi dalam buku ini bisa membuka ragam sudut pandang yang saya sendiri jarang menemuinya. Intinya, saya sangat merekomendasikan buku Muslimah Yang Diperdebatkan sebagai alat membuka cakrawala keilmuan tentang isu perempuan dan moderasi beragama. Selamat membaca.

 

Mahasiswa Pascasarjana ini menerbitkan buku pertamanya “Menggugat Feminisme” dengan nama pena Uunk Crispy

 

Digiqole ad