Putusan Ultra Petita Versus Perlindungan Anak

 Putusan Ultra Petita Versus Perlindungan Anak

(Ilustrasi: JalaStoria.id)

Oleh: Dian Puspitasari

 

Ini pengalaman saya ketika menjadi kuasa hukum dalam sidang perceraian yang diputus verstek karena Termohon tidak hadir selama proses persidangan. Yang mengejutkan saya sebagai Kuasa Hukum Pemohon, Majelis Hakim menjatuhkan putusan pembiayaan nafkah anak dibebankan kepada Pemohon sebagai Ayah kandungnya sebesar Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) sesuai dengan kemampuan Pemohon. Sebelum putusan, hakim terlebih dahulu menanyakan kemampuan Pemohon untuk menanggung biaya nafkah anak.

Putusan ini tentu mengejutkan Pemohon termasuk saya sebagai kuasa hukumnya. Dapatkah dalam kasus perdata perceraian majelis hakim memutus di luar yang diminta para pihak? Terlebih dalam putusan verstek. Pertanyaan serupa pun sempat dipertanyakan oleh sahabat saya, yang pernah berprofesi sebagai pengacara dan saat ini menjadi hakim.

Sebagai pendamping perempuan dan anak, tentu saya sangat mengapresiasi langkah progresif yang dilakukan oleh majelis hakim dalam menegakkan hak  anak meskipun tidak dimohonkan. Selain itu, terhadap Putusan tersebut, sudah selayaknya saya berkewajiban memberikan pemahaman hukum kepada Pemohon/klien saya.

Saya pun berbincang dengannya secara personal tentang kewajiban dirinya sebagai ayah untuk menafkahi anaknya terlepas ada putusan pengadilan atau tidak. Sebagai seorang muslim, apakah diputuskan oleh pengadilan atau tidak, kewajiban untuk membiayai anak-anaknya tetap melekat meskipun sudah berpisah dan tanpa diminta sekalipun karena itulah kewajiban orang tua. Saya juga tidak sepakat kewajiban muncul karena ada hak. Dalam konteks anak, yang ada adalah kewajiban.

Putusan itu pun mengalir saya diskusikan dengan sejumlah kawan di media sosial. Muncullah beberapa pertanyaan: Apakah dalam kasus perdata diperbolehkan menjatuhkan putusan di luar yang diminta? Apakah putusan ultra petita tersebut bertentangan dengan hukum? Apakah penetapan pemeliharaan anak  dalam sidang perceraian dapat dikatakan sebagai putusan ultra petita? Apakah putusan ini diambil sebagai langkah affirmasi dalam pemenuhan hak anak?

Salah satu kawan yang bertugas sebagai hakim Pengadilan Agama di Provinsi Jawa Timur kemudian memberikan informasi tentang materi penanganan perempuan dan anak dalam  pendidikan calon hakim (cakim). Setiap hakim diminta memiliki perspektif terhadap perempuan ketika menangani perkara perempuan termasuk dalam kasus perceraian.

Dalam kesempatan yang berbeda, saya berbincang dengan Ketua Pengadilan Agama Ambarawa di sela-sela diskusi Implementasi Perma 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. Beliau menyampaikan, saat ini sudah banyak majelis hakim yang memberikan hak-hak perempuan dalam perkara permohonan cerai talak meskipun tidak diminta. Namun demikian, penting bagi majelis hakim memastikan bahwa perempuan tersebut dapat hadir dalam sidang pemberian hak tersebut sebagaimana arahan dari Mahkamah Agung  Republik Indonesia. Hal ini masih menyisakan pertanyaan, dalam putusan verstek bagaimana memastikan perempuan tersebut hadir?

Pertanyaan ini mengantarkan saya pada penelaahan lebih lanjut mengenai putusan ultra petita. (Bersambung)

 

Mahasiswa Magister Hukum Universitas Semarang, Direktur LRC-KJHAM Semarang tahun 2016 – 2018

(Bagian pertama dari penulis mengenai Putusan Ultra Petita)

Digiqole ad