Perkawinan Anak : Ancaman Perlindungan Anak di Indonesia

 Perkawinan Anak : Ancaman Perlindungan Anak di Indonesia

Oleh :  Mufidah Zain

 

Perkawinan anak adalah masalah serius bagi anak di Indonesia. Praktik ini tidak hanya melanggar hak asasi anak, namun juga berakibat fatal bagi kesejahteraan dan masa depan anak. Meskipun angka perkawinan anak secara nasional menurun hingga 7,2 persen pada tahun 2023, realitanya masih banyak anak dibawah usia 18 tahun melangsungkan pernikahan. Setiap tahun, praktik perkawinan anak di Indonesia tercatat hingga 10,5 persen.

Berdasarkan data United Nations Children’s Fund (UNICEF) yang dikutip KemenPPPA tahun 2023, Indonesia menempati urutan ke-4 di dunia dalam kasus perkawinan anak, dengan estimasi jumlah anak yang dikawinkan mencapai 25,53 juta jiwa. Angka tersebut sekaligus menjadikan Indonesia sebagai negara di kawasan ASEAN yang memiliki kasus perkawinan anak terbesar.

Data tersebut menunjukkan kerentanan pada anak dan perlindungan anak yang belum sepenuhnya ditegakkan di Indonesia. Perkawinan anak memiliki dampak yang luas bukan hanya bagi individu, tetapi juga pada keluarga, komunitas, dan masyarakat, hingga masa depan bangsa.

 

Jeratan Rantai Perkawinan Anak

Penyebab utama dari praktik perkawinan anak adalah persoalan ekonomi. Hingga saat ini, banyak orang tua yang memilih menikahkan anak mereka (terutama perempuan) sebagai cara untuk mengurangi beban finasial keluarga. Dalam banyak kasus, orang tua beranggapan bahwa dengan menikahkan anak, mereka dapat mengalihkan tanggung jawab keuangan kepada suami anaknya, sehingga beban ekonomi mereka akan berkurang.

Sepintas, perkawinan anak tampak sebagai solusi (jangka pendek) untuk masalah ekonomi keluarga. Namun, praktik ini sesungguhnya akan membawa dampak sistemik yang lebih kompleks pada masa mendatang. Pasangan yang melakukan praktik perkawinan anak seringkali memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Dengan pendidikan yang minim, mereka akan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Selain itu, keterampilan yang belum terasah membuat mereka kurang kompetitif dalam pasar kerja, baik di sektor formal maupun non-formal.

Akibatnya, situasi ini menciptakan lingkaran kemiskinan yang sulit diputus. Anak-anak yang lahir dari pasangan yang menikah usia anak seringkali mewarisi kondisi ekonomi yang sama, dan terjebak dalam siklus yang menyulitkan mereka untuk keluar dari kemiskinan.

 

Dispensasi Kawin adalah Peluang Besar Terjadinya Perkawinan Anak

Hukum yang tidak konsisten di Indonesia memberikan ruang besar bagi terjadinya   perkawinan anak. Meskipun batas usia kawin bagi perempuan telah dinaikkan, praktik ini masih marak terjadi akibat longgarnya pemberian dispensasi kawin. Salah satu permasalahan dalam Undang-Undang Perkawinan  Indonesia adalah pengajuan dispensasi yang dilakukan oleh orang tua/wali yang menyulitkan untuk mengetahui apakah anak yang akan dikawinkan memang menghendaki perkawinan tersebut.

Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang melanggengkan perkawinan anak, terdapat pada pasal 7 ayat 1, dengan batas usia perkawinan bagi anak Perempuan adalah 16 tahun. Sementara pada ayat 2, perkawinan di bawah batas usia tersebut diperbolehkan dengan adanya dispensasi perkawinan.

Padahal dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 dan telah mengesahkan UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, mendefinisikan anak sebagai orang yang belum berusia 18 tahun serta mengatur peran serta orang tua dalam mencegah perkawinan anak sebagaimana Pasal 26 UU Perlindungan Anak. Celah dalam hukum inilah yang memberi peluang besar terjadinya perkawinan anak.

Perkawinan anak mencerminkan kegagalan negara dalam melindungi anak-anak dari risiko dan pelanggaran hak, serta mengabaikan kewajiban untuk melindungi mereka dari diskriminasi. Hal ini sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dan UU Nomor 17 Tahun 2016.

Pakar epidemologi sosial dari Stony Brook Medicine, dalam Child Marriage and Intimate Partner Violence: a Comparative Study of 34 Countries yang dikutip oleh Magdalene, perkawinan anak adalah kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Anak-anak yang dipaksa menikah berisiko tinggi untuk mengalami kekerasan seksual, fisik, dan psikologis, yang dapat berlanjut sepanjang hidup mereka. Perkawinan anak secara signifikan menghilangkan kesempatan mereka untuk mencapai kesejahteraan.

Praktik ini juga melanggar komitmen Indonesia terhadap perjanjian hukum internasional Konvensi Hak Anak yang bertujuan untuk menjamin dan melindungi hak-hak anak. Konvensi ini menegaskan hak setiap anak untuk hidup, tumbuh, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta menjamin perlindungan mereka dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi.

 

Dampak Konten Influencer terhadap Pengaburan Resiko Perkawinan Anak

Influencer memiliki pengaruh yang signifikan dalam membentuk budaya dan norma sosial, termasuk perkawinan anak. Seperti yang dilansir oleh Mubadalah, sering terjadi para influencer berbangga hati melakukan praktik perkawinan anak dan membagikannya melalui kanal media sosial, yang mayoritas pengikutnya adalah remaja. Hal ini secara langsung dapat membentuk persepsi di kalangan pengikutnya bahwa perkawinan anak adalah sesuatu yang wajar dan menyenangkan untuk dilakukan. Ketika influencer menyajikan konten semacam ini, mereka tidak hanya mempromosikan praktik yang merugikan, namun juga memperkuat stigma sosial yang menganggap pernikahan anak sebagai hal yang normal dilakukan.

Dampak dari konten yang dibagikan oleh influencer dapat mengaburkan pemahaman tentang risiko perkawinan anak. Remaja yang terpapar oleh konten  glamor pernikahan anak sangat mungkin untuk mengabaikan konsekuensi serius dibaliknya, seperti kehilangan kesempatan mengenyam pendidikan dan meningkatkan risiko kekerasan dalam rumah tangga.

 

Ancaman Serius Masa Depan Indonesia

Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menghapus perkawinan anak pada tahun 2030, yang akan mendukung pencapaian visi Indonesia Emas 2045 untuk berdaulat, maju, adil, dan makmur. Perkawinan anak berdampak besar pada kesejahteraan dan perkembangan anak, serta menghalangi kemajuan sosial yang lebih luas. Komnas Perempuan mencatat adanya enam bahaya perkawinan anak yang mengancam masa depan Indonesia.

Pertama, pendidikan. Anak perempuan yang menikah memiliki kerentanan empat kali lebih tinggi untuk tidak menyelesaikan pendidikan menengah. Hal ini menghambat negara dalam membentuk masyarakat yang berdaya saing. Kedua, ekonomi. Perkawinan anak menyebabkan hilangnya kesempatan anak untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan ekonomi.

Ketiga, peningkatkan risiko kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian. Keempat, Angka Kematian Ibu (AKI). Komplikasi saat kehamilan dan melahirkan menjadi penyebab kematian kedua terbesar yang dialami perempuan berusia 15-19 tahun. Kelima, Angka kematian Bayi (AKB). Bayi yang lahir dari ibu yang berusia dibawah usia 20 tahun berisiko tinggi meninggal sebelum usia 28 hari. Terakhir, stunting. Satu dari tiga balita mengalami stunting, yang meningkat akibat perkawinan dan kelahiran di usia anak.

Wabah perkawinan anak di Indonesia merupakan isu serius yang mengancam perlindungan anak dan masa depan bangsa. Penting bagi semua elemen masyarakat untuk Bersatu dalam menghapus praktik ini, memastikan bahwa setiap anak, terutama perempuan, memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman, serta dapat berkontribusi positif bagi masyarakat.

 

Mufidah Zain, tertarik belajar isu kesetaraan, inklusi, dan kebijakan publik. Penulis merupakan peserta lomba K 16 HAKTP yang diadakan JalaStoria tahun 2024.

Digiqole ad