Pentingnya Paradigma Gender APH dalam Penyelesaian Kasus KDRT
Aparat Penegak Hukum (APH) merupakan garda terdepan dalam mengimplementasikan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) Nomor 23 Tahun 2004. APH berhadapan langsung dengan korban, pelaku, saksi, serta pihak lain yang terlibat dalam penanganan kasus KDRT.
Menjejaki umur UU PKDRT ke-19 tahun, menjadi refleksi untuk medengar dan melihat sudut pandang aparat penegak hukum. Bagaimana respon serta berbagai tantangan yang mereka hadapi dalam mengimplementasikan undang-undang tersebut dalam kerja sehari-harinya? Guna memastikan bahwa undang-undang ini bisa ditegakkan setegak-tegaknya demi keadilan korban KDRT.
Dalam implementasinya, UU PKDRT beririsan dengan undang-undang atau hukum lain, seperti undang-undang perkawinan atau Kompilasi Hukum Islam (KHI). Terkadang antara UU PKDRT yang mengedepankan keadilan bagi korban, harus berhadapan dengan hukum lain yang bias gender.
Salah satu contoh hukum yang bias gender dalam KHI adalah apabila ada perempuan yang mengajukan perceraian, maka perempuan atau istri tersebut tidak punya hak nafkah iddah, yakni nafkah dalam masa tunggu sidang. Dasar hukum tersebut dapat merugikan perempuan korban KDRT yang mengajukan perceraian lebih dulu untuk keluar dari kekerasan dalam rumah tangganya.
Untuk itu diperlukan paradigma gender aparat penegak hukum dalam melihat situasi demikian. Edi Riadi selaku Hakim Agung MA mengatakan, pola hukum yang bias gender seperti ini harus diubah. Perkawinan adalah kontrak, maka siapapun yang melanggar kontrak tersebut harus dihukum. Oleh karena itu, walaupun perempuan yang mengajukan perceraian karena suaminya melakukan KDRT, perempuan tersebut sudah selayaknya tetap punya hak nafkah iddah.
Baca Juga:Â Tiga Tantangan Implementasi UU Penghapusan KDRT
“Misalkan di dalam masalah hak waris, di dalam teks keagamaan perempuan hanya dapat separuh hak waris. Kita lihat dulu dari sisi fungsi atau peran. Jika anak perempuan itu perannya lebih banyak dari laki-laki, ada yang memutus anak perempuan tersebut lebih banyak mendapatkan bagian warisan dari pada anak laki-laki. Jadi seperti itu perkembangan-perkembangan di Mahkamah Agung.”, tambahnya.
Dalam penyelesaian kasus KDRT, perlu melihat permasalahan korban dengan komprehensif. Yakni dengan mempertimbangkan hukum yang berlaku, apakah bias gender atau tidak. Mahkamah Agung dalam memutus suatu perkara harus mengedepankan hukum dasar.
Hukum dasar itu salah satu acuannya adalah hak asasi manusia yang tertuang dalam undang-undang Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai rujukan utama. Kalau misalkan nanti di dalam peraturan perundang-undangan ada bias gender, maka putusan hukum harus mempertimbangkan hak dasar kemanusiaan.
Paradigma Gender ini adalah terobosan baru aparat penegak hukum. Terobosan yang dilakukan Mahkamah Agung menandakan, dalam penyelesaian kasus perdata atau dalam konflik-konflik keluarga dalam hal perkawinan mulai melihat adanya perlindungan bagi perempuan.
Hal ini disampaikan oleh Edi Riadi, Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia (RI) dalam acara Kampanye Penghapusan KDRT: Dialog bersama Aparat Penegak Hukum, yang diselenggarakan oleh JalaStoria bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) di KemenPPPA (19/09/2023).
Baca Juga:Â Cerita Korban Perkosaan dan KDRT yang Terancam Pidana
Selain dari Mahkamah Agung, acara ini juga menghadirkan pembicara lainnya yaitu Ema Rahmawati dari Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Bareskim Polri dan Erni Mustika Sari selaku Jaksa Ahli Madya pada Kejaksaan RI.
Terobosan hukum yang mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan korban adalah angin segar bagi korban KDRT. Mengingat selama 5 tahun terakhir, dari tahun 2019 sampai 2023 data kasus KDRT yang tercatat mencapai 2.261 laporan kepolisian terkait dengan dugaan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini disampaikan oleh Ema Rahmawati dari UPPA Bareskim Polri.
Dalam hal ini, kekerasan fisik mendominasi laporan kasus dugaan KDRT. Disusul penelantaran rumah tangga, kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Bentuk kekerasan fisik dalam laporan tersebut seperti menampar, mendorong, dan memukul serta tindakan yang lebih sadis berupa pembunuhan. Selanjutnya penelantaran rumah tangga berupa penelantaran ekonomi. Sedangkan kekerasan psikis yang dialami korban seperti mencaci, memaki, dan mengejek.
Baca Juga:Â Korban KDRT, Kenyang Dipukuli dan Disalahkan
Adapun motif yang melatarbelakangi kasus tersebut adalah motif ekonomi, perselingkuhan, dan perebutan hak asuh. Ada juga karena penyalahgunaan obat-obatan terlarang serta perbedaan karakter budaya antar kedua pasangan. Pelaku kebanyakan adalah suami, meski ada beberapa kasus juga yang pelakunya adalah istri. Dalam kasus ini, korban juga variatif, mulai dari anak, Asisten Rumah Tangga (ART), dan orang yang menetap dalam rumah tangga.
Lebih lanjut, terdapat beberapa tantangan lain yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam implementasi UU PKDRT. Diantaranya adalah perbedaan persepsi aparat penegak hukum, pencabutan laporan, dan keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM). [Uung Hasanah]
Selengkapnya, acara dapat disimak melalui tautan:
https://www.youtube.com/live/QLYD4Nv31EQ?si=52bxRjII0PldLTgd