Mewujudkan Mimpi Kartini di Era Modern

Oleh : Risma Alifia Khoirunnisa, S.M.
R.A Kartini adalah cahaya yang lahir di tengah kegelapan zaman.Ia bukan hanya tokoh emansipasi, tapi juga simbol keberanian, ketangguhan, dan harapan bagi perempuan Indonesia. Lewat surat-suratnya yang kemudian dibukukan dalam Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini menggambarkan mimpinya: perempuan yang merdeka dalam berpikir, setara dalam pendidikan, dan mandiri dalam menentukan arah hidupnya. Namun, seabad lebih sejak kepergiannya, mimpi itu masih jauh dari sepenuhnya terwujud.Perempuan Indonesia masih bergulat dengan berbagai bentuk ketidakadilan yang menunjukkan bahwa perjuangan Kartini belum selesai.
Kartini memperjuangkan pendidikan bagi perempuan karena melihat betapa perempuan pada zamannya hanya dijadikan pelengkap, bukan subjek dalam masyarakat.Namun hari ini, ketika pintu sekolah sudah terbuka, justru angka pernikahan anak masih tinggi di berbagai wilayah di Indonesia. Dilansir dari MPR pada tahun 2023 mengungkap terdapat 25,53 juta perempuan di Indonesia yang menikah pada usia di bawah 18 tahun, Indonesia menduduki peringkat empat dengan kasus perkawinan usia dini terbanyak di dunia, setelah India, Bangladesh, dan Cina. Sebuah ironi ketika anak-anak perempuan yang seharusnya menimba ilmu harus mengakhiri masa kecilnya lebih cepat karena tekanan ekonomi, budaya, atau tradisi.
Kartini ingin bebas berpikir dan berpendapat. Namun di era digital saat ini, banyak peremuan yang justru menjadi korban kekerasan berbasis gender online (KBGO). Data dari SAFEnet pada tahun 2024 menunjukkan lonjakan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Dalam triwulan pertama sudah tercatat sebanyak 480 kasus KBGO, dengan mayoritas korban adalah perempuan muda usia 18-25 tahun. Dengan rincian yaitu 272 kasus atau 57% dan diikuti anak-anak rentang usia di bawah 18 tahun dengan 123 kasus atau 26%.
Di era kecerdasan buatan, pekerjaan sebagai pembuat konten memang memberikan kesempatan finansial dan ruang ekspresi baru bagi perempuan. Data yang dikumpulkan oleh We Are Social pada tahun 2024 menunjukkan bahwa 53,8% orang Indonesia yang aktif menggunakan media sosial adalah perempuan. Kelompok usia terbesar adalah antara 18 dan 34 tahun. Ini juga merupakan kelompok usia produktif yang mendominasi ekosistem kreator digital. Menjadi konten kreator perempuan tidak selalu berarti merdeka. Dilansir dari sorotmakassar.com, banyak dari mereka terjebak dalam ekspektasi pasar dan tuntutan algoritma yang menuntut tampilan ideal, konsistensiproduksi konten, dan respons cepat terhadap tren, yang seringkali bergantung pada estetika dan performativitas.
Pelecehan seksual di media sosial, doxing, hingga penyebaran konten intim (revenge porn) tanpa izin dan deepfake AI adalah realita yang membuat banyak perempuan takut bersuara, takut tampil, bahkan takut menjadi dirinya sendiri. Menurut laporan Komnas Perempuan pada tahun 2024, KBGO meningkat 40,8% dibandingkan dengan data tahun 2023. Semakin banyak laporan KBGO tampaknya disebabkan oleh peningkatan kesadaran korban.Dalam kasus KBGO, korban dan pelaku memiliki hubungan yang dikenal baik di ruang fisik maupun siber.
Mengutip dari laman Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia di antara 339.782 pengaduan kekerasan berbasis gender (KBG) yang diterima Komnas Perempuan, 3442 diantaranya diadukan dan 99% atau 336.804 kasus termasuk kekerasan berbais gender online (KBGO). Dilansir dari Metrotvnews, salah satu contoh kasus pelecehan seksual secara digital dengan menggunakan kecerdasan buatan AI (Artifical Intelligence) adalah kasus mahasiswa Universitas Udayana Bali bernama Sergio Lucasandro kastria Dwi Putra yang menyunting foto teman-teman perempuannya lalu dibuat menjadi tanpa busana atau tak senonoh. Sebanyak 37 mahasiswi melapor sebagai korban pelecehan seksual ini.
Ada sudut gelap di ruang siber dimana kekerasan seksual merajalela tanpa terdekteksi dan tanpa akibat. Pelaku kekerasan berbasis gender online (KBGO) dapat bersembunyi di balik gawai mereka dan melakukan tindak kejahatan yang menghancurkan hidup seseorang dengan bantuan internet dan teknologi.
Kartini memimpikan perempuan mandiri dan dihormati. Kini, banyak perempuan bekerja, berwirausaha, menjadi pemimpin.Akan tetapi realitanya di Indonesia sendiri angka tingkat partisipasi kerja perempuan masih rendah, bahkan jadi yang ketiga terendah secara regional. Menurut Goodstats.id diproyeksikan hanya sebesar 54,8% pada 2025, hanya diatas Filipina (51,7%) dan Myanmar (45,2%). Namun, mereka masih harus menghadapi beban ganda: menjadi pencari nafkah sekaligus pengurus rumah tangga. Belum lagi ekspektasi sosial yang menekan, seperti “harus tetap tampil cantik”, “harus jadi ibu yang sempurna”, “harus nurut suami”. Kondisi ini membuat banyak perempuan mengalami burnout, depresi, hingga krisis identitas, tapi merasa tak berhak mengeluh karena “sudah kodratnya wanita begitu”.
Kartini bermimpi perempuan bisa hidup dalam rasa aman dan dihargai.Tapi kini, banyak perempuan hidup dalam ketakutan. Menurut Kemen PPPA setiap hari, sedikitnya 1 dari 3 perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan: fisik, seksual, atau psikologis baik di rumah, tempat kerja, maupun ruang publik.
Beberapa kasus pelecehan seksual terhadap perempuan yang terjadi baru-baru ini di Indonesia diantaranya Pelecehan seksual oleh Dokter di fasilitas kesehatan.Sepanjang Maret hingga April 2025, terungkap empat kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh dokter di berbagai daerah, termasuk Bandung, Garut, dan Malang.
Dilansir dari Tempo, salah satu kasus yang mencuat adalah dugaan pelecehan oleh seorang dokter anastesi di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, terhadap keluarga pasien. Tangkapan layar yang diungkapkan oleh akun Instagram @ppdsgramm yang menunjukkan dugaan pemerkosaan oleh dua residen anestesi kepada seorang keluarga pasien yang sedang dibius membuat kasus ini pertama kali viral. Kejadian dimulai saat pelaku meyakinkan korban, anak pasien ICU, untuk melakukan crossmatch darah. Korban dibawa ke lantai tujuh, diminta mengenakan pakaian pasien, dan diberikan infus midazolam. Pelecehan seksual terjadi sekitar tengah malam. Kasus oknum dokter berinisial AY yang melecehkan pasien perempuan di Rumah Sakit Persada, Kota Malang juga menambah rentetan panjang kasus pelecehan di fasilitas kesehatan.
Dikutip dari Kompas perempuan asal Bandung, Jawa Barat yang menjadi korban menyampaikan bahwa kejadian tersebut terjadi saat dirinya pergi berlibur ke Malang dan rawat inap. Pelecehan tersebut terjadi ketika dokter AY melakukan pemeriksaan kepada korban dengan memaksa korban membuka bajunya kemudian merekam tindakan tersebut.
Seorang dokter kandungan berinisial MSF diduga melakukan pelecehan seksual terhadap pasien wanita hamil saat pemeriksaan USG di sebuah klinik swasta di kawasan Pengkolan, Garut Kota.Rekaman CCTV berdurasi 53 detik yang menunjukkan tindakan tidak pantas oleh MSF saat pemeriksaan beredar luas di media sosial, memicu perhatian perhatian publik. Pengelola klinik mengakui bahwa insiden tersbut terjadi di fasilitas mereka dan sebelumnya telah menerima keluhan serupa dari pasien lain. Polres Garut membentuk tim khusus untuk menyelidiki kasus ini, mengumpulkan bukti, dan memeriksa saksi-saksi terkait. MSF ditetapkan sebagai tersangka oleh Satreskrim Polres Garut setelah mengakui melakukan pelecehan seksual terhadap pasien sebanyak empat kali. Hingga 22 April 2025, lima korban telah melaporkan tindakan serupa oleh MSF, termasuk korban dalam video viral. MSF dilarang praktik selamanya di seluruh fasilitas kesehatan di Garut sebagai respons terhadap laporan dan untuk menjamin keamanan pasien.
Melalui wawancara dengan Kompas pada 20 April 2025, Komisi nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengatakan bahwa sekitar 9 dari 15 kasus kekerasan seksual yang tercatat di fasilitas kesehatan antara tahun 2020 dan 2024 melibatkan dokter. Jenis kekerasan yang dilakukan bervariasi, mulai dari pelecehan seksual hingga pemerkosaan. Selain itu, ada kasus kekerasan seksual yang melibatkan terapis dan perawat, yang menyumbang 6 kasus tambahan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengutuk keras kasus pelecehan seksual yang terjadi di fasilitas publik, termasuk transportasi umum seperti Commuter Line. KemenPPPA menyerukan peran aktif seluruh pihak, mulai dari operator transportasi, aparat penegak hukum, hingga masyarakat, untuk bersama menciptakan ruang yang aman bagi semua. Hingga April 2025, KemenPPPA mencatat 6.702 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Angka ini menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun, meskipun kesadaran publik terhadap isu ini juga meningkat.Kasus-kasus ini mencerminkan bahwa meskipun telah ada berbagai upaya untuk melindungi perempuan, tantangan dalam menghapus kekerasan seksual masih sangat besar. Semangat perjuangan R.A Kartini untuk kesetaraan dan perlindungan terhadap perempuan tetap relevan dan perlu terus diperjuangkan di era modern ini.
Mewujudkan mimpi Kartini di era modern bukan hanya tugas perempuan. Ini tanggung jawab kolektif: keluarga, sekolah, lembaga, media, bahkan kita semua sebagai masyarakat. Selama masih ada anak perempuan yang tak bisa sekolah, ibu yang kehilangan pekerjaan karena hamil, remaja yang dipaksa menikah, atau perempuan yang dibungkam karena berani bersuara, maka perjuangan Kartini masih jauh dari selesai.
Dilansir dari Kemenag salah satu petikan kalimat surat dalam buku “Habis gelap terbitlah Terang”, Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1901, Kartini pernah berkata, “Bukan sekali-kali maksud saya hendak menjadikan perempuan sebagai saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya : menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”.
Kalimat itu relevan dengan saat ini, ketika perempuan masih harus berjuang untuk diakui hak dan martabatnya. Mari bukan hanya mengenang Kartini dengan bunga dan kebaya, tapi juga dengan keberanian bersikap, ketangguhan bergerak, dan kepedulian yang nyata.Karena terang yang pernah dinyalakan Kartini itu masih butuh kita jaga bersama.
Risma Alifia Khoirunnisa, S.M.
