Mengawal CEDAW di Indonesia

 Mengawal CEDAW di Indonesia

Ilustrasi (Stocksnap/Pixabay.com)

JAKARTA, JALASTORIA.ID – Sejumlah masyarakat sipil Indonesia mengawal upaya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dalam pelaporan pelaksanaan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women. Antara lain, Gerakan Perempuan Peduli Indonesia (GPPI), CEDAW Working Group Indonesia (CWGI), dan pemerhati isu Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR).

Selain menyampaikan laporan alternatif dan tanggapan atas list of issue Komite CEDAW terhadap laporan Pemerintah Indonesia, masyarakat sipil  juga menyampaikan intervensi lisan (oral intervention) pada Senin malam (25/10/2021). Dalam dialog informal dengan Komite CEDAW itu, hadir lima perwakilan masyarakat sipil dari Indonesia serta Komnas Perempuan.

Hal itu disampaikan oleh Rita Serena Kolibonso dalam Konferensi Pers GPPI, Rabu (26/10/2021). “Isu yang diangkat antara lain diskriminasi dan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan Papua, perempuan dan ekonomi, perempuan dan pembangunan dan dunia kerja, perempuan dan hukum, dan perempuan dalam perkawinan dan keluarga,” jelasnya.

Baca Juga: Pelaksanaan CEDAW, Masyarakat Sipil Hadiri Dialog dengan Komite

Dalam dialog informal tersebut, Komite CEDAW menyampaikan sejumlah pertanyaan yang dijawab masyarakat sipil secara tertulis. Antara lain, “berapa jumlah perempuan asli Papua dan Papua Barat yang duduk di lembaga legislatif? Bagaimana langkah yang diambil untuk mengatasi eksploitasi seksual di kalangan pekerja migran? Apa saja jenis dan bentuk terjadinya kekerasan berbasis gender-online? Bagaimana situasi transgender di Indonesia? Bagaimana permasalahan psikososial yang dialami perempuan disabilitas direspons pemerintah dalam kebijakan?” urai Rita. Ia menambahkan, isu yang dimintakan klarifikasi oleh Komite CEDAW itu selanjutnya perlu dikawal bersama.

Selain itu, Rita menjelaskan, GPPI juga menyelenggarakan serangkaian konsultasi publik terkait pelaksanaan CEDAW di Indonesia. Dalam delapan serial pertemuan itu dibahas sejumlah isu antara lain kekerasan berbasis gender dalam kebijakan dan dampaknya bagi perempuan dan anak perempuan; Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) termasuk norma dan praktik berbahaya bagi perempuan; dan Perempuan pedesaan, Perempuan adat, dan Kelompok perempuan rentan.

Pelaporan CEDAW

Sebagaimana diberitakan oleh JalaStoria sebelumnya, Komite CEDAW menyelenggarakan dialog informal dengan masyarakat sipil pada 25 Oktober 2021. Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya Komite CEDAW membuka kesempatan yang luas kepada masyarakat sipil untuk terlibat mengawal pelaporan pelaksanaan CEDAW di tiap negara. Selain intervensi lisan, masyarakat sipil juga dapat menyampaikan laporan bayangan (shadow report) atau laporan alternatif (alternative report) kepada Komite CEDAW.

Sementara itu, pada 28 dan 29 Oktober 2021, Pemerintah Indonesia akan menghadiri dialog konstruktif dengan Komite Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW). Dalam kesempatan tersebut, Pemerintah Indonesia menyampaikan laporan atas capaian dan tantangan dalam penghapusan diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia sebagai pelaksanaan dari ratifikasi CEDAW.

 

Mengawal Pelaporan

Keterlibatan masyarakat sipil dalam pelaporan CEDAW, menurut Budi Wahyuni, anggota GPPI (27/10/2021) merupakan bentuk partisipasi masyarakat sipil untuk mengawal dan melengkapi laporan pemerintah dalam berbagai aspek. Sementara itu, Adriana Venny dari Lembaga Partisipasi Perempuan menyatakan, pengawalan itu penting dilakukan mengingat terdapat kesenjangan (gap) antara capaian yang dilaporkan dengan pelaksanaan di lapangan. “Misalnya ketersediaan rumah aman. Demikian pula kekerasan seksual di grassroot sudah darurat, juga fundamentalisme,” jelasnya (27/10/2021).

Selain itu, Venny juga menyoroti permasalahan keterbatasan anggaran dan kerentanan pembubaran yang dihadapi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai national women’s machineries (mekanisme nasional pemajuan perempuan). “Ke depan, ini harus didialogkan dengan serius agar implementasi CEDAW benar-benar berjalan,” tegas Venny.

Baca Juga: Mengenal Mekanisme Nasional Pemajuan Perempuan

Di sisi lain, sekalipun masyarakat sipil telah menyampaikan masukan, menurut Budi, ada kalanya pemerintah merespons sebatas permukaan. Budi mencontohkan, terkait rekomendasi penghapusan pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan (P2GP). Kementerian Kesehatan telah merespons masukan tersebut dengan menyediakan checklist panduan bagi bidan. Namun, “Sebatas untuk tidak ada pelukaan atau pemotongan, tapi ritual-ritual yang mengarah ke P2GP ini tidak masuk ke pelarangan,” ungkap Budi.  Menurut Budi, hal itu menunjukkan pemerintah belum sepenuhnya melarang tegas P2GP di Indonesia.

Demikian pula dengan persoalan hak dan kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR). Antara lain, persoalan HIV/AIDS di Papua. Menurut Bastian, Anggota GPPI (27/10/2021), program pencegahan penularan dari ibu ke anak sudah cukup baik. Namun Bastian menyoroti program tersebut tidak disertai dengan pendidikan HKSR yang mumpuni yang akan memberikan pengetahuan agar tidak terjadi kekerasan terhadap perempuan. Padahal, Bastian mengingatkan, tingginya kekerasan terhadap perempuan antara lain disebabkan tidak adanya pendidikan seksualitas dan gender dalam pendidikan seksual yang komprehensif.

 

Rekomendasi kepada Pemerintah

Dalam rilis yang diterima JalaStoria (27/10/2021), GPPI menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah untuk perbaikan pelaksanaan CEDAW di Indonesia. Rekomendasi itu juga dinyatakan oleh GPPI dalam laporan alternatif yang telah disampaikan kepada Komite CEDAW.

Antara lain, GPPI merekomendasikan agar Pemerintah Indonesia mensosialisasikan CEDAW secara komprehensif kepada masyarakat, stakeholders dan juga unsur pemerintah sampai ke tingkat mikro.

Adapun terkait pandemi Covid-19, Pemerintah diminta meningkatkan penyediaan bantuan sosial bagi perempuan selama masa pandemi. Selain itu, menyediakan akses yang luas terhadap vaksin dan pengobatan bagi pasien noncovid.

Baca Juga: 6 Masukan atas RUU TPKS

Sementara terkait UU yang masih diskriminatif terhadap perempuan, GPPI merekomendasikan pemerintah dan lembaga legislatif merevisi RUU KUHP, membahas RUU yang mendukung kesetaraan gender seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender. Pemerintah juga diminta membuka ruang yang seluas–luasnya untuk peningkatan keterlibatan perempuan dalam kancah politik.

Selain itu, Pemerintah agar menghamonisasikan UU Kesehatan dengan komitmen pemerintah untuk menurunkan angka kematian ibu dengan aborsi yang aman. Secara khusus, Kementerian Kesehatan diminta untuk menunjuk layanan aborsi aman yang diamanatkan oleh Permenkes Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan.

Adapun untuk meningkatkan kinerja mekanisme nasional pemajuan perempuan, GPPI merekomendasikan agar Pemerintah membentuk kementerian atau kelembagaan sendiri yang menangani perlindungan anak. [DN]

Digiqole ad