Kisah Ruby, Anak dari Keluarga Disabilitas Tuli
Oleh: Alviani Sabillah
Tanggal terbit : 13 Agustus 2021, (USA)
Sutradara : Sian Heder
Diadopsi dari : The Berlier Family
Penghargaan : Film Terbaik Academy Award 2022
Durasi : 1 jam 51 menit
CODA (Child of Deaf Adults) menceritakan kisah Ruby, seorang anak perempuan yang satu-satunya bisa mendengar di tengah keluarganya yang tuli. Film bergenre drama/musikal garapan sutradara Sian Heder ini sukses menduduki peringkat penilaian cukup tinggi, yakni 8.1/10 versi IMDb dan 95% versi Rotten Tomatoes.
Alur cerita yang sederhana membuat film ini ringan untuk ditonton dan tetap sarat makna. Sayangnya, film yang hanya bisa diakses melalui Apple TV ini tidak seinklusif Netflix atau platform film lain yang lebih populer. Terlepas dari itu, tulisan ini akan memuat sedikit cuplikan film untuk ditelaah lebih lanjut.
Sosok Ruby yang diperankan Emilia Jones berhasil menggambarkan bagaimana perjuangan Ruby sebagai anak perempuan dari keluarga tuli yang rentan akan perilaku diskriminatif dan tidak setara dari masyarakat/lingkungan. Ruby dan keluarganya berasal dan tinggal di Gloucester, Massachusetts. Daerah ini merupakan kota pantai yang sebagian besar kehidupan masyarakatnya menggeluti bisnis perikanan (nelayan, memancing, dan jual beli ikan) untuk diekspor ke daerah lain.
Baca Juga: Riset: Film dengan Protagonis Perempuan Raup Pendapatan Lebih Banyak
Di awal film, penonton diajak menyelami aktivitas ganda Ruby, sebagai seorang murid di suatu sekolah formal lokal dan seorang anak yang harus membantu ayahnya memancing. Pekerjaannya dia lakukan sejak dini hari sampai pagi menjelang waktunya ke sekolah. Film ini menunjukkan realita beban ganda seorang anak perempuan.
Film ini menggambarkan pandangan dan sikap masyarakat sekitar terhadap orang dengan disabilitas tuli secara individu juga keluarga. Dalam beberapa cuplikan, perjuangan seluruh anggota keluarga Ruby mengalami kesulitan untuk berkomunikasi, bernegosiasi, dan menyampaikan pendapat. Tak jarang mereka ditipu oleh pengepul saat menjual hasil tangkapan dengan menjungkirbalikkan harga pasaran ikan. Ini dilakukan pengepul agar mendapatkan harga murah dari keluarga Ruby. Situasi ini membawa keluarga Ruby pada kondisi ekonomi yang sangat sulit. Makan seadanya, kebingungan untuk membeli bahan bakar kapal, bahkan hampir menjual kapal satu-satunya yang digunakan sebagai alat mata pencaharian.
Baca Juga: 5 Tantangan Penyandang Disabilitas Korban Kekerasan Seksual
Dalam suatu forum dengar pendapat yang diikuti oleh semua nelayan di pelabuhan, tergambar jelas tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh pemimpin forum bahkan nelayan sekitar. Minimnya kesadaran masyarakat atas pengetahuan bahasa isyarat, pemahaman kesetaraan, aksi afirmatif (affirmative action) melalui kehadiran juru bahasa isyarat dalam forum dengar pendapat semakin menyulitkan kondisi ayah dan kakak Ruby untuk berpartisipasi. Bukan hanya menghilangkan kesempatan berpendapat bagi penyandang disabilitas tuli, kondisi ini juga berdampak pada kerugian fisik yang dialami kakak Ruby. Sebab, perilaku diskriminatif kerap menyulut emosi kakak Ruby yang tidak terima ayah dan keluarganya diejek orang lain dalam forum itu.
Atas pengalaman tersebut, Ruby selalu diandalkan oleh keluarganya untuk berkomunikasi dengan masyarakat secara umum dalam forum formal maupun informal. Namun, benturan kepentingan menjadi pertentangan dalam diri Ruby. Satu sisi Ruby ingin menjadi “telinga” bagi keluarganya tapi dia juga ingin menggapai mimpinya sebagai penyanyi.
Pertentangan semakin mengemuka manakala Ruby mendapat atensi dari pelatihnya. Jadwal latihan bernyanyi seringkali bentrok dengan agenda penting yang harus dihadiri keluarga Ruby. Keributan tak dapat dihindari. Sampai suatu ketika, keluarga Ruby mengetahui bahwa putrinya memiliki minat dan potensi dalam bernyanyi.
Baca Juga: Mbrabak di Sudut-Sudut Balkon
Awalnya keluarga Ruby tidak percaya dengan potensinya. Mereka cenderung mempertanyakan “Bagaimana seorang anak yang lahir dan tumbuh bersama keluarga tuli dapat bernyanyi?” Akhirnya, keluarga Ruby mendukung keinginannya. Sebaliknya, Ruby juga tetap berusaha untuk membantu keluarganya menjalankan bisnis.
Situasi semakin emosional ketika penampilan Ruby pada gelaran pentas seni akhir tahun sekolah. Keluarga Ruby tidak dapat mendengar indahnya alunan suaranya. Mereka hanya bisa menyaksikan gestur tubuh dan mulut Ruby saat bernyanyi. Tidak ada alat bantu dengar. Keluarga Ruby hanya melihat dalam sunyi. Ikut bersorak menepuk tangan dengan bahasa isyarat saat melihat kerumunan bertepuk tangan untuk Ruby. Sejak hari itu keluarga Ruby percaya bahwa Ruby CODA yang luar biasa. Mimpi Ruby semakin nyata saat usai pertunjukkan itu dia menerima tawaran untuk lanjut ke pendidikan tinggi musik di kota lain. Keluarga Ruby pun mendukung pilihan Ruby untuk merantau, melanjutkan pendidikannya.
*Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)