Oleh: Risma Alifia Khoirunnisa

Film “Rumah untuk Alie” karya Herwin Novianto, adaptasi dari novel Lenn Liu, menghadirkan kisal Alie, anak bungsu dari lima bersaudara yang menjadi korban kekerasan emosional dan fisik dari ayah serta saudara-saudaranya setelah kematian ibunya. Sebagai satu-satunya perempuan dalam keluarga, Alie diposisikan dalam struktur keluarga yang timpang secara gender. Ia dijadikan tempat pelampiasan kemarahan, kesedihan, dan ekspektasi yang tidak manusiawi. Rumah yang semestinya menjadi tempat perlindungan, justru berubah menjadi ruang trauma.

Kekerasan Emosional yang Tak Kasatmata

 Film ini menyoroti bentuk kekerasan yang sering kali luput dari perhatian yaitu, kekerasan emosional. Alie mengalami perlakuan kasar, pengabaian, dan perundungan verbal yang terus-menerus, menciptakan luka batin yang mendalam. Kekerasan semacam ini sering kali tidak meninggalkan bekas fisik, namun dampaknya terhadap kesehatan mental korban sangat signifikan.

Kekerasan emosional bisa menyebabkan gangguan kepercayaan diri, depresi, rasa bersalah berlebihan, bahkan keinginan untuk mengakhiri hidup. Dalam film, Alie kerap menyendiri, menarik diri dari pergaulan, dan berusaha membuktikan dirinya pantas dicintai, sebuah bentuk perjuangan batin yang dialami banyak korban kekerasan di dunia nyata.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solehah, menyatakan bahwa film ini sangat relevan dengan kasus-kasus yang sering diterima oleh KPAI, dan menekankan pentingnya menciptakan ruang aman di lingkungan keluarga untuk mencegah perundungan dan kekerasan emosional.

Potret Keluarga dalam Bayang Patriarki

 “Rumah untuk Alie” merepresentasikan realitas sosial dimana kekerasan dalam rumah tangga, terutama terhadap anak perempuan, masih menjadi isu yang tersembunyi.  Budaya patriarki dan stigma sosial sering kali membuat korban memilih diam, merasa tidak memiliki tempat untuk mengadu atau mendapatkan perlindungan.

Di balik kekerasan yang dialami Alie, film ini juga menyinggung soal struktur keluarga yang timpang. Ayah dan kakak-kakaknya memegang kendali penuh, menempatkan Alie sebagai subordinat tanpa suara. Ia harus menurut, tidak boleh membantah, dan tidak pernah punya ruang untuk menyampaikan perasaannya. Situasi ini mencerminkan budaya patriarki yang masih kuat di banyak rumah tangga Indonesia.

Budaya “anak perempuan harus kuat dan sabar” menjadi tembok besar yang membuat korban seperti Alie memilih diam. Masyarakat sering kali lebih cepat menyalahkan korban yang bersuara ketimbang mengusut pelaku yang berbuat kekerasan.

Film ini juga menggambarkan bagimana lingkungan sekitar, termasuk sekolah dapat menjadi tempat perundungan tambahan bagi korban, memperparah kondisi psikologis mereka. Alie tidak hanya menghadapi kekerasan di rumah, tetapi juga di sekolah, menunjukkan betapa kompleks dan menyakitkannya pengalaman korban kekerasan emosional.

Melalui narasi yang menyentuh, “Rumah untuk Alie” mengajak penonton untuk lebih peka terhadap tanda-tanda kekerasan emosional di sekitar mereka. Film ini menjadi pengingat bahwa setiap anak berhak mendapatkan kasih sayang dan perlindungan, terutama dari keluarga mereka sendiri.

Di luar rumah, Alie juga menghadapi tekanan sosial di sekolah. Ia dirundung oleh teman-temannya, membuat kehilangan tempat yang seharusnya bisa menjadi pelarian dari rumah. Ia terkepung dalam dua ruang yang semestinya aman, keluarga dan sekolah. Hal ini menggambarkan bagaimana sistem pendukung anak, keluarga, sekolah, dan masyarakat masih belum mampu menjalankan fungsinya.

Narasi yang Menyentuh dan Relevan

 Dengan durasi sekitar 90 menit, film ini berhasil menyampaikan pesan kuat tanpa perlu hiperdrama. Tata cahaya yang remang, pengambilan gambar di ruang sempit rumah, serta ekspresi sunyi Alie menjadi elemen sinematik yang efektif menggambarkan tekanan yang ia hadapi.

Dikutip dari Antara, Produser Falcon Pictures, Frederica, menyatakan bahwa “Rumah untuk Alie” dibuat bukan semata-mata untuk hiburan, melainkan sebagai bentuk kepedulian terhadap isu bullying dan kekerasan rumah tangga. Melalui film ini, ia ingin mendorong diskusi tentang pentingnya menciptakan ruang dan penuh kasih sayang di masyarakat, khususnya dalam keluarga.

Perlu Dukungan Nyata untuk Korban

 Film ini mengajak penonton untuk lebih peka terhadap tanda-tanda kekerasan yang tidak kasatmata. Banyak anak dan perempuan mengalami kekerasan serupa namun tidak memiliki akses untuk keluar dari lingkaran tersebut. Dibutuhkan sistem dukungan yang kuat baik keluarga, lembaga pendidikan, maupun negara untuk mendampingi korban dan mencegah kekerasan berulang.

“Rumah untuk Alie” adalah cermin keras dari realitas yang mungkin terjadi di sekitar kita. Ini bukan sekadar film, tetapi ajakan untuk meninjau ulang relasi kuasa, peran orang tua,  dan sistem pendidikan dalam membentuk lingkungan yang aman. Alie bisa jadi siapa saja, adik kita, teman sebangku, atau tetangga yang setiap hari kita sapa. Rumah, seharusnya menjadi tempat pulang yang penuh cinta, bukan luka.

Share.

Comments are closed.