Mbrabak di Sudut-Sudut Balkon

 Mbrabak di Sudut-Sudut Balkon

Tangkapan layar suasana Rapat Pleno Baleg DPR RI tentang RUU TPKS, Selasa (6/4/2022) (Sumber: TV Parlemen)

Oleh: Anis Hidayah

Mbrabak adalah sitilah dalam bahasa Jawa yang berarti mata berkaca-kaca menahan tangis biar tidak tumpah. Selama sepekan kemarin, terhitung dari tanggal 28 Maret hingga 5 April 2022, kami para fraksi balkon, sangat rajin berjajar di balkon Baleg (Badan Legislasi – Red), sesekali juga di ruang balkon BAKN (Badan Akuntabilitas Keuangan Negara – Red) DPR RI.

Ruang balkon yang berkapasitas kursi 54 orang dengan luas sekitar 3×9 meter itu dipenuhi mayoritas aktivis perempuan yang turun gunung, teman-teman dari Komnas Perempuan, staf-staf pemerintah dari 18 kementerian/lembaga serta teman-teman media. Jajaran kursi di balkon agak rapat, kursi dengan model memanjang kayak kursi tunggu di rumah sakit atau puskesmas, nyaris tiap harinya tak bersisa. Makin hari, penduduk fraksi balkon makin bertambah.

Para anggota fraksi balkon, biasanya membawa tas lebih dari satu, karena ada kebutuhan satu tas untuk mewadahi bahan-bahan lobby (DIM, bahan lobby jaringan, nama-nama anggota panja dilengkapi dengan nomor HP, jadwal rapat, dan kertas-kertas lain menumpuk). Beberapa hari sebelum sidang pembahasan RUU TPKS, manager lobby kami, Vivi Widyawati dan timnya sangat tertib administrasi, telah mengirimkan surat permohonan pemantauan kepada Humas DPR RI yang dilampiri dengan nama-nama  yang akan hadir dan fotocopy KTP. Jadi sejak di pintu gerbang (kami banyak mengakses pintu gerbang belakang yang dekat bakso lapangan tembak), list nama-nama kami sudah dipegang oleh Pamdal DPR RI. Kadang-kadang, kami juga saling menambahkan list jika ada tambahan yang hadir atau yang sudah terjadwal tiba-tiba tidak hadir.

Di pintu gerbang inilah, kami meninggalkan KTP untuk kemudian mendapatkan surat katebelece sebagai pemantau Baleg. Ada juga yang tidak perlu meninggalkan KTP, jika sedang beruntung karena tidak diperiksa pamdal, biasanya hal ini jadi bahan bercandaan di antara kami.

Setelah memasuki Gedung Nusantara 1, dimana ruangan Baleg dan BAKN berlokasi, kami selama sepekan disambut dengan sangat ramah oleh para Pamdal. Saya menduga, karena Bu Manager memiliki komunikasi yang sangat baik dengan  pihak Humas. Untuk masuk ke Gedung Nusantara 1, tak perlu menarik pintu, karena pintunya otomatis, baik untuk keluar maupun masuk. Sebelum menuju ruang sidang, biasanya kami berkumpul dulu untuk mengecek bahan lobby, atur strategi lobby, dan lain-lain.

Baca Juga: Mengawal RUU TPKS Pro Korban

Di mana kami berkumpul? Kami, Jaringan Perempuan Pembela Hak Korban Kekerasan Seksual yang beranggotakan lebih dari 2000 individu dan 200an organisasi, memiliki markas di gedung DPR RI. Sekali lagi, karena Manager andalan kami punya komunikasi dan koordinasi yang baik dengan Humas, kami dipinjami satu ruangan besar yang menyamai bioskop. Iya, mirip sekali dengan bioskop. Ruangannya luas, kursi seperti kursi bioskop, ada deretan TV-TV layar datar yang berjumlah sekitar 15an di dinding depan yang menyiarkan TV parlemen untuk program-program dan aktivitas Anggota DPR RI, termasuk sidang pembahasan RUU TPKS.

Jadi di sinilah, teman-teman jaringan bisa menyimak sidang pembahasan, jika ruang balkon sudah penuh. Bagi yang tidak bisa hadir ke DPR, terutama teman-teman dari daerah atau teman-teman yang sedang isoman seperti Mbak Sri Nurherwati,  bisa menyimak melalui Zoom atau Youtube. Kami menyebutnya fraksi isoman.

Dari markas, biasanya nama-nama yang terdaftar di Humas DPR RI, akan djemput oleh pegawai Humas untuk dihantarkan sampai balkon. Kami mengisi daftar hadir Humas dan biasanya selalu difoto, untuk dokumentasi katanya. Pada saat absensi, kami biasanya meledek, ada absen tapi kok tidak ada snack atau makan siangnya. Namun, itu hanya berlaku pada tiga hari pertama, karena setelah itu anggota fraksi balkon meningkat tajam, seiring makin urgensinya isu-isu yang perlu dipantau oleh banyak pihak sehingga kami tidak perlu lagi ditemani staf Humas.

***

Sidang yang berlangsung selama sepekan atau delapan hari  itu lebih banyak djadwalkan pada siang hari, dari jam 13.00 hingga 17.00. Kecuali pada tanggl 2, 5, dan 6 April, jadwal sidang jam 10.00 – 13.00. Jadi setiap harinya sidang pembahasan berlangsung selama 3 jam untuk membahas 328 DIM dari total DIM yang berjumlah 588.

Ada tiga kategori DIM yang tidak dibahas, yaitu pertama, DIM tetap, artinya usulan pemerintah sama dengan draf DPR. DIM tetap berjumlah 167.  Kedua, DIM redaksional, artinya usulan pemerintah hanya mengubah redaksi saja dari draf DPR, ini berjumlah 68 DIM. Ketiga, DIM Reposisi, artinya usulan pemerintah memindah tempat DIM, DIM Reposisi berjumlah 31. Jadi total DIM yang tidak dibahas 260 DIM (44,2%).

Sejak RUU TPKS ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR RI pada sidang paripurna tanggal 18 Januari 2022, kami jaringan  menyiapkan bahan lobby. Khusus untuk menyiapkan bahan lobby ini, di jaringan dibentuk tim khusus substansi. Tim ini membagi substansi menjadi beberapa  klaster, yaitu bentuk kekerasan seksual, pemidanaan, pencegahan, hukum acara, pemulihan dan hak korban, pelayanan terpadu untuk pemenuhan hak korban,  restitusi, peran serta masyarakat, dan korporasi. Di setiap kluster, disiapkan bahan lobby yang cukup komprehensif. Tim ini juga menyiapkan DIM sandingan. Sayangnya DIM pemerintah baru bisa diakses publik H-4 sebelum pembahasan, atau tanggal 24 Maret. Sehingga kami  memiliki keterbatasan waktu untuk menyandingkan DIM kami dengan DIM pemerintah. DIM kami, kami sandingkan dengan draft DPR RI.

Baca Juga: Jaringan Perempuan Keluhkan Sikap Pemerintah ‘Rahasiakan’ DIM RUU TPKS

Sebelum memasuki sidang pembahasan, tim substansi ini bertemu dengan tim lobby. Kami juga membuat forum diskusi dengan tim Tenaga Ahli Baleg untuk mendapatkan gambaran tentang dinamika panja, isu-isu krusial, dan lain-lain. Komunikasi kami dengan tim Tenaga Ahli Baleg juga sangat baik. Tentu sebelum ini, kami juga banyak melakukan audiensi, baik dengan Pemerintah maupun Panja DPR RI dan fraksi-fraksi, tak terhitung berapa kali.

Jadi saat sidang pembahasan maraton, kami telah menyiapkan amunisi, baik energi positif dan substansi, maupun strategi lobby dan lain-lain. Kami membaca bersama anggota Panja, dan membaginya siapa dari anggota jaringan melobby anggota panja siapa. Namun demikian, kami juga fleksibel, saling komunikasi untuk memperkuat.

Setiap sidang akan dimulai dan setelah sidang selesai, kami menyempatkan untuk turun ke ruang sidang dan bertemu dengan tim Pemerintah dan Panja DPR RI, untuk mengapresiasi sekaligus lobby substansi. Kami biasanya lari-lari menuruni anak tangga, takut mereka segera pergi meninggalkan ruang sidang.

***

Selama sidang berlangsung, Bu Manager kami berkirim WA blast kepada hampir seluruh anggota Panja DPR RI terkait substansi usulan kami, merujuk pada DIM berapa dan substansi yang sedang dibahas. Dalam sekali persidangan, kami bisa beberapa kali kirim WhatsApp (WA) blast.  Selain itu, kami juga berkirim WA secara japri kepada Anggota Panja DPR dan tim Pemerintah. Dalam tim Pemerintah, Prof. Eddy, Wakil Menteri Hukum dan HAM RI adalah andalan kami, yang selalu kami serbu dengan WA, kadang juga telpon. Prof. Eddy lah yang selama sidang  berlangsung, memimpin delegasi dari tim pemerintah, kecuali saat pembukaan dan penutupan sidang, di mana menteri KPPA hadir.

Prof. Eddy sangat terbuka dengan masukan masyarakat sipil. Prof. Eddy juga membuat sidang pembahasan RUU TPKS menjadi ruang diskusi yang menarik, istilah-istilah hukum dalam bahasa Belanda banyak mewarnai persidangan. Pengetahuan tentang hukum acara pidana juga bertaburan selama sidang berlangsung. Jadi dari sisi ini, kami sangat menikmati diskusi, meski kadang-kadang gemes ingin angkat tangan dan ikut berargumentasi, tapi apa daya kami hanya fraksi balkon. Terutama saat perspektif korban tidak tepat atau kurang tepat dalam diskusi.

Kami fraksi balkon, mayoritas lebih dari 15-20 tahun memiliki pengalaman mendampingi korban kekerasan seksual.  Karena itulah, seringkali mata kami merah, mbrabak, menahan tangis, kadang juga sesenggukan kecil saat substansi sangat ok atau tidak ok. Ingatan kami melayang pada para korban.

Saya secara pribadi selama 18 tahun bekerja di Migrant CARE, mendampingi kasus pekerja migran perempuan yang mayoritas mengalami kekerasan seksual. Wajah mereka tetiba berada di atap dan dinding-dinding ruang sidang. Ruyati, Yanti Iriyanti, Siti Zaenab, Karni, Tuti Tursilawati, pada pekerja migran perempuan yang telah gugur karena dieksekusi mati di Saudi. Mereka terpaksa membunuh majikan karena membela diri dari perkosaan dan kekerasan fisik. Tak jarang peti jenazah pekerja migran perempuan yang dalam suratnya meninggal karena sakit, tetapi ketika kami otospi ulang, mereka korban kekerasan seksual. Tak jarang juga, mereka pulang membawa bayi yang tidak mereka kehendaki. Sesak banget dada, sungguh sangat sesak. Kami tahu dan mendekap untuk menguatkan Anggota Panja DPR perempuan yang juga sering menangis. Saya beberapa kali mengamati teman-teman juga menahan tangis selama sidang berlangsung.

Baca Juga: Eksploitasi di Sekeliling Pekerja Migran Tidak Berdokumen

Dalam banyak kesempatan selama sidang berlangsung, kami sering disindir, apakah teman-teman Anggota Panja sudah baca WA? Hal itu dilontarkan misalnya ada usulan baru atau tidak. Kamipun hanya senyum, meski kadang-kadang juga menjengkelkan. Tetapi hanya lewat itu, kami bisa mendorong subtansi yang perlu masuk atau tidak. Audiensi dan RDP (Rapat Dengar Pendapat – Red) saja sangat tidak cukup, apalagi hanya kasih bahan lobby.  Selama sidang berlangsung, kami juga tetap menjadwalkan untuk bertemu dan berdiskusi dengan Anggota Panja DPR RI untuk memperkuat argumentasi.

***

Sejarah maha penting ini akhirnya berujung kabar baik bagi peradaban kita untuk memanusiawikan korban. Substansi progessif telah tercatat dalam RUU yang telah disepakati dalam Pembicaraan Tingkat I Baleg untuk kemudian akan disahkan pada sidang paripurna DPR RI. Substansi-substansi yang maju tersebut adalah sembilan bentuk kekerasan seksual diatur dalam RUU ini. Yaitu pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual non fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, penyiksaan seksual, pemaksaan perkawinan, perbudakan seksual, kekerasan seksual dengan saran elektonik, dan eksploitasi seksual.

Kami sunguh sangat menyayangkan, pemaksaan aborsi dan perkosaan tidak ada disini. Perkosaan diatur di dalam pasal jembatan, yang nantinya akan diatur secara lebih detail di RKUHP. Namun korban perkosaan dapat menggunakan hukum acara UU TPKS jika di RKUHP juga diatur pasal jembatannya.

Baca Juga: Pengaturan Norma dalam RUU TPKS Mengenai Restitusi Berpotensi Tidak Implementatif

Selain itu restitusi merupakan hak korban, dimana sita restitusi dapat dilakukan sejak penyidikan. Jika pelaku tidak mampu, maka restitusi akan dibayarkan oleh negara melalui victim trust fund (dana bantuan korban) yang akan dikelola oleh LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban – Red). Pencegahan juga diatur cukup komprehensif di mana ada peran serta masyarakat dan keluarga. Layanan terpadu untuk penanganan dan pemulihan korban juga menjadi salah satu nyawa RUU ini, di mana pendamping berbasis komunitas juga dieksplisitkan. Pemberatan pidana juga diatur, bagi pejabat negara, tenaga medis, tenaga pendidik, pemuka agama, dan keluarga diperberat 1/3. Bagi pelaku korporasi, juga ada pencabutan ijin usaha, pembekuan seluruh/sebagian kegiatan korporasi. Yang juga membuat kami mongkok (bangga) adalah diatur pemantau eksternal yang akan dilakukan oleh Komnas Perempuan, Komnas  HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Komnas Disabilitas.

Terakhir, setidaknya ada 6 aturan turunan yang dimandatkan oleh RUU ini, yaitu restitusi, penanganan dan pemulihan korban, pencegahan, pemantauan, pendidikan dan pelatihan untuk pendamping dan petugas UPTD PPA. Mari kita kawal bersama ke depan. Ini persembahan untuk korban baik yang sudah gugur, sudah pulih, dan yang sedang berjuang untuk pulih. Terima kasih teman-teman baik yang bisa mengawal langsung, memantau dari jauh, mendukung, mendoakan, dari berbagai penjuru negeri ini. Kita berjuang tidak hanya saat pembahasan saja, tetapi jauh sebelum itu, mungkin 6 tahun lalu sejak RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual – Red) yang menjadi TPKS didorong dan diusulkan.  Selanjutnya mari kita siapkan energi untuk mengawal dan mendorong RUU PPRT (Perlindungan Pekerja Rumah Tangga – Red).  []

 

Jakarta, 7 April 2022

 

Fraksi balkon & Jaringan Perempuan Pembela Hak Korban Kekerasan Seksual

 

*Tulisan ini diterbitkan ulang atas seijin penulis dengan editing teknis seperlunya dari Redaksi

Digiqole ad