Ketidaksetaraan Gender Dan Human Trafficking

 Ketidaksetaraan Gender Dan Human Trafficking

Oleh : Toyyibatul Qomariyah.

 

Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan kejahatan yang modus dan sasarannya semakin meluas. Ratna Susianawati selaku Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA menyampaikan dalam acara Peringatan Hari Dunia Anti Perdagangan Orang tahun 2023, bahwa TPPO tidak hanya menggunakan modus pekerja migran, melainkan juga menjerat korban dengan iming-iming tawaran magang kerja, beasiswa, dan pendapatan instan melalui judi online.

Kelompok yang paling rentan dalam tindak kejahatan TPPO adalah perempuan dan anak. Data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengungkapkan bahwa 97% korban perdagangan orang di Indonesia pada tahun 2019-2023 adalah perempuan dan anak.

Selain itu, laporan dari International Organization for Migration (IOM) tentang data perdagangan anak selama dua puluh tahun menunjukkan, bahwa anak-anak berisiko lebih tinggi untuk diperdagangkan dibandingkan dengan orang dewasa,terutama jika mereka berasal dari daerah berpenghasilan rendah atau rawan bencana. Di sisi lain, perempuan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kekerasan berbasis  gender selama perjalanan migrasi.

Perempuan terdorong untuk mudah tergiur dengan beragam modus TPPO karena beberapa faktor.  Seperti faktor ekonomi, ekologis, dan pendidikan. Adapun faktor lainnya adalah ketimpangan gender dan faktor penegakan hukum. Faktor ekonomi dengan latar belakang kemiskinan dan tidak adanya lapangan pekerjaan menjadi penyebab terjadinya perdagangan manusia. Fenomena ini yang menyebabkan seseorang merantau ke luar negeri dengan risiko yang tidak sedikit.

Faktor ekologis merupakan karakteristik kelompok masyarakat yang rentan menjadi sasaran TPPO, yang berasal dari keluarga miskin. Masyarakat yang berasal dari lingkungan seperti ini biasanya nekat bekerja ke luar negeri walaupun dengan bekal kemampuan dan informasi yang terbatas. Faktor ini adalah faktor yang sering terjadi di Masyarakat. Dilansir dari Kemensos, bahwa berdasarkan hasil asesmen latar belakang terjadinya praktik TPPO  karena  masalah ekonomi dan kondisi kemiskinan yang dialami.

Faktor pendidikan baik Pendidikan formal maupun non formal bisa menjadi langkah untuk terhindar dari modus TPPO. Karena korban dengan pendidikan rendah cenderung tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup untuk masuk pada dunia kerja yang legal. Sehingga ada kemungkinan mengambil risiko pekerjaan dengan atau tanpa payung hukum yang melindungi korban. Dalam  hal ini orang tua mempunyai peran yang sangat menentukan.

Faktor yang keempat adalah  faktor ketimpangan gender. Faktor ini bisa dilihat dari peran perempuan dalam rumah tangga yaitu sebagai istri, ibu dan pengelola rumah tangga. Pembakuan peran ini menjadikan laki-laki dan perempuan berada di kedudukan yang berbeda dan tidak setara. Lemahnya pemberdayaan ekonomi bagi perempuan menjadikan perempuan lebih sulit bekerja dan berusaha. Akhirnya perempuan bekerja sesuai dengan peran yang biasa dilakukan di rumah yaitu sebagai asisten  rumah tangga dan pengasuh. Jenis pekerjaan ini banyak dijadikan modus dalam TPPO.

 

Ketimpangan Gender: Faktor Perempuan Terjerumus dalam TPPO

Data membuktikan bahwa setengah dari orang yang bermigrasi ke seluruh dunia adalah perempuan. Meski demikian, Perempuan juga menjadi kelompok migran dengan jam kerja tinggi dengan gaji rendah. Bahkan di beberapa situasi, perempuan sering diberhentikan kerja secara sepihak tanpa alasan yang jelas. Kondisi ini menjadikan perempuan berada pada ketidakberdayaan ekonomi dan rentan terhadap eksploitasi seksual, termasuk tindak kejahatan TPPO.

Dalam masyarakat patriarki, perempuan cenderung digolongkan sebagai kelompok penerima manfaat, hal ini tergambar dari tugas domestik perempuan sebagai ibu dan istri. Sementara laki-laki ditempatkan sebagai produsen, digambarkan sebagai pencari nafkah. Penggolongan ini memberi efek yang lebih besar merugikan kepada perempuan, yakni pembatasan peran sosial serta ketimpangan relasi.

Relasi timpang tersebut berdampak pada munculnya ketidakadilan dengan menempatkan perempuan sebagai subjek yang paling berisiko mendapatkan ketidakadilan. Struktur masyarakat yang masih menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua, menimbulkan terjadinya kekerasan berbasis gender. Kondisi ini menyempitkan ruang gerak perempuan, baik secara sosial maupun ekonomi. Secara tidak langsung, kondisi ini juga menyebabkan kemiskinan perempuan dan mendorong perempuan berisiko lebih besar masuk perangkap perdagangan orang.

Terbatasnya sumber ekonomi, peran sosial, dan keterampilan serta ketimpangan gender di masyarakat, tidak memberikan pilihan bagi perempuan untuk menjadi pekerja layak, yang menjadi peluang masuknya kejahatan TPPO. Untuk dapat mencegah risiko ini bagi perempuan, salah satu akar masalahnya adalah menghapuskan ketimpangan gender di masyarakat. Sehingga perempuan bisa menempa diri untuk memperbanyak keahlian yang dimiliki, sebagai bekal masuk pasar kerja profesional.

Langkah tersebut bisa diaktualisasikan dengan cara memberikan edukasi yang tepat tentang perbedaan gender, adanya kerja sama antara laki-laki dan perempuan untuk mencapai kesetaraan gender, dan menyediakan sarana dan prasarana yang responsif gender. Serta melakukan penyempurnaan perangkat hukum dalam melindungi setiap individu. Meskipun sudah ada Undang-Undang yang mengatur tentang tindak pidana perdagangan orang seperti dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Orang, tetapi jika tidak diimplementasikan dengan seksama maka tindak kejahatan ini akan terus berlangsung.

 

Toyyibatul Qomariyah. Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an Nurul Islam (STIQNIS) dan pendiri Bank Sampah di Sumenep, Madura. Penulis merupakan peserta lomba K 16 HAKTP JalaStoria 2024.

 

Digiqole ad