Hari Ibu dan Akses Pelayanan Publik bagi Perempuan dan Anak

 Hari Ibu dan Akses Pelayanan Publik bagi Perempuan dan Anak

Oleh: Ninik Rahayu

 

Penetapan hari ibu pada 22 Desember tentu bukan semata memperingati peristiwa tertentu.

Tanggal itu bukan saja menjadi momentum pelibatan perempuan dalam pergerakan nasional tetapi juga menjadi pengingat bahwa perjuangan meningkatkan derajat perempuan belum usai.

Kendatipun bunyi semangat itu sudah terpekik sejak 1928, namun aneka persoalan yang meliputi urusan perempuan masih relatif sama.

Dan kaum perempuan masih menjadi kelompok yang rentan terpapar kekerasan dengan berbagai bentuknya.

Kelompok perempuan rentan ini bahkan membentang dari kelompok perempuan ibu hingga perempuan anak.

Sebut saja pada aspek pelayanan publik bidang pendidikan di wilayah Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Rata-rata lama sekolah di wilayah itu hanya 6,2 tahun. Angka tersebut jauh di bawah angka rata-rata nasional sebesar 8,2 tahun pada 2017.

Data itu diperoleh dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2017 Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencakup empat variabel.

Pertama, angka harapan hidup (rerata nasional 71 tahun). Kedua, harapan lama sekolah (12,85 tahun). Ketiga, rata-rata lama sekolah (8,1 tahun). Keempat, pengeluaran perkapita (Rp 10,664 juta per tahun).

Dan masih di wilayah yang sama, angka perkawinan usia anak mencapai 25,4%. Tentu saja angka itu tergolong sangat tinggi.

Persentase tersebut bahkan mendapatkan afirmasi dari data UNICEF yang menempatkan Indonesia di urutan ke-7 tertinggi di dunia atau urutan ke-2 tertinggi di ASEAN dalam kasus perkawinan anak.

Badan Pusat Statistik (BPS) dan UNICEF bahkan mencatat, pernikahan anak di Indonesia hampir terjadi di semua wilayah.

Dari laporan itu terungkap, angka perkawinan di bawah 18 tahun sudah mencapai 23%. Dan perkawinan anak di daerah perdesaan sepertiga lebih tinggi dibandingkan yang terjadi di daerah perkotaan.

Belum lagi jika kita memasukkan temuan risiko kehamilan akibat perwakinan usia anak di wilayah ini yang mencapai 55%. Tentu kondisi ini sangat memprihatinkan. Apalagi bila disandingkan dengan angka perceraian nasional yang juga relatif sangat tinggi.

Dan jika kita bergeser ke kondisi penangangan kasus kekerasan terhadap perempuan ibu dan anak, masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan secara bersama-sama antara kepolisian, kejaksaan, dan lembaga peradilan.

Akses terhadap perlindungan, pemulihan, dan pemerolehan keadilan bagi kelompok rentan itu masih sangat rendah. Ditambah lagi Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual belum kunjung dibahas dan disahkan oleh Anggota Dewan.

Layak kiranya bila kita menyebut cita-cita pemajuan dan perlindungan perempuan dan anak yang menjadi tema utama Kongres Wanita Indonesia 22 Desember 1928 masih menemui hambatan.

Meski begitu dan dalam kondisi yang belum menguntungkan ini, sikap optimis harus tetap terjaga.

Gelora api semangat dalam upaya meningkatkan pelayanan publik bagi perempuan dan anak tak boleh padam. Pekik semangat pada 1928 harus terus disuarakan.

Dengan meminta kesungguhan para pemimpin bangsa dan aparatur negara sebagai bagian penting komponen bangsa, kita meminta kepastian atas pemenuhan akses pelayanan publik yang baik di negeri ini.

Selamat hari ibu dan selamat menyongsong momen pergantian tahun. Mari bersama mewujudkan akses pelayanan publik yang prima bagi semua, termasuk perempuan dan anak.[]

Anggota Ombudsman RI

Digiqole ad