Dokter Perempuan Pertama dan Diskriminasi Gender  di STOVIA

 Dokter Perempuan Pertama dan Diskriminasi Gender  di STOVIA

Ilustrasi (Sumber: https://caritahu.kontan.co.id/news/kisah-marie-thomas-perempuan-indonesia-pertama-yang-menjadi-dokter?page=all)

 

Sebelum Indonesia merdeka, diskriminasi gender sempat mewarnai institusi pendidikan di negeri jajahan kolonial Belanda ini. Kala itu, khususnya di STOVIA, terdapat ketentuan yang menolak perempuan untuk mengenyam pendidikan tinggi. Namun, saat kesempatan berpendidikan sudah terbuka sekalipun, pemerintah Hindia Belanda membebankan biaya kuliah pada perempuan. Berbeda halnya dengan laki-laki yang tidak peru membayar uang kuliahnya.

Diskriminasi gender terkait akses pendidikan itu membuat perempuan harus menyediakan sendiri sumber pembiayaan kuliahnya. Antara lain, sebagaimana yang dialami oleh Marie Thomas, penerima beasiswa SOVIA. Ia berhasil menyelesaikan pendidikan kedokteran dan menjadi perempuan pertama yang berprofesi sebagai dokter.

 

Dari Minahasa Hingga Yogyakarta

Marie Thomas adalah perempuan kelahiran Likupang, Minahasa Utara (kini bagian dari provinsi Sulawesi Utara) pada 17 Februari 1896. Semasa kecil, Marie sering berpindah-pindah tempat. Salah satu penyebabnya adalah ayahnya yang menjadi tentara, sehingga Marie harus ikut perjalanan dinas sang ayah.

Marie menyelesaikan sekolah awalnya di Manado. Sekolah tersebut memakai kurikulum Eropa sebagai bahan ajarnya. Selanjutnya, Marie tercatat sebagai lulusan Meisjesschool (sekolah gadis) pada 1912 di Yogyakarta. Ia kemudian ingin melanjutkan pendidikannya di STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlands Artsen) atau Sekolah Kedokteran untuk Masyarakat Bumiputera era Hindia Belanda.

 

Diskriminasi Gender di STOVIA

Namun, sebelum Marie Thomas menyelesaikan pendidikannya di Yogyakarta, peraturan di STOVIA masih menolak perempuan mengikuti pendidikan kedokteran. Adalah Aletta Jacobs, yang pada akhirnya membuat Marie Thomas dapat mengakses pendidikan di STOVIA.

Sebagaimana dilansir oleh jwa.org, Aletta merupakan seorang dokter perempuan pertama di Belanda pada 1879 yang bekerja di Amsterdam. Selama mengabdi sebagai tenaga kesehatan, Aletta menunjukkan kepedulian yang tinggi terhadap kelompok perempuan miskin.

Selain itu, ia juga memperjuangkan perubahan kondisi perempuan miskin agar menjadi lebih baik.  Keterlibatannya dalam sebuah pertemuan perempuan internasional di London pada 1899 kemudian menginspirasinya untuk berpartisipasi dalam organisasi yang memperjuangkan hak perempuan. Tak hanya itu, ia pun melakukan perjalanan ke penjuru Eropa untuk menyuarakan urgensi pemenuhan hak perempuan.

Dengan dorongan yang sama, Aletta pun melakukan perjalanan keliling dunia pada 1911-1912 bersama 16 rekannya. Sebagaimana dilansir dari Historia.id (22/3/17), perjalanan itu ditujukan untuk melihat langsung dan mengevaluasi kondisi sosial politik di berbagai wilayah, termasuk Batavia.

Di Batavia, Aletta menemukan diskriminasi gender di institusi pendidikan STOVIA. Ternyata, STOVIA tidak mau menerima perempuan untuk menempuh pendidikan kedokteran. Kondisi ini menjadi keprihatinan Aletta dalam melihat situasi perempuan di Hindia Belanda.

Aletta menyampaikan kritik sekaligus mendesak Gubernur Jendral A.W.F Idenburg agar perempuan diperbolehkan mendaftar pendidikan kedokteran di STOVIA. Menurut Aletta, keterlibatan dokter perempuan sama pentingnya dengan dokter laki-laki dalam hal melayani pasien. Selain itu, dokter perempuan juga diperlukan dalam memberikan pendidikan dan pelayanan kesehatan reproduksi.

Gubernur Jendral A.W.F Idenburg pada akhirnya menerima masukan tersebut. Satu tahun kemudian (1912), STOVIA membuka pendaftaran untuk murid perempuan.

Meski demikian, sebagaimana dilansir Kompas.com (22/2/21), pemerintah Hindia Belanda tidak mau membiayai pendidikan untuk perempuan yang ingin bersekolah di STOVIA. Sebaliknya, laki-laki yang menempuh pendidikan tinggi di STOVIA tidak dikenakan biaya.

 

Dokter Perempuan Pertama di Indonesia

Melihat kondisi tersebut, Aletta Jacobs kemudian mencari cara agar perempuan Bumiputera dapat bersekolah di STOVIA tanpa terhalang biaya. Ia membahas situasi ini dengan Charlotte Jacobs, saudaranya. Ia juga mengajak serta Elizabeth van Deventer-Maas, istri dari seorang parlemen Hindia Belanda, Van Deventer (Multatuli).

Berangkat dari dorongan Aletta, Charlotte dan Elizabeth membentuk Yayasan Studiefonds voor Opleiding van Vrouwelijke Inlandsche Artsen (SOVIA) atau Yayasan Dana Pendidikan Dokter Perempuan yang menyediakan program beasiswa SOVIA.

 

Baca Juga: Diskriminasi Gender terhadap Perempuan di Ruang Kerja

 

Dengan adanya program tersebut, diharapkan dapat mencetak generasi dokter perempuan yang bermanfaat bagi warga Hindia Belanda. Dilansir dari Historia.id (10/6/19),  sebesar 2000 gulden telah berhasil dihimpun oleh Yayasan SOVIA.

Melalui dana tersebut, Yayasan SOVIA mengutus Marie Thomas sebagai penerima beasiswa SOVIA untuk menempuh pendidikan di STOVIA. Akhirnya, STOVIA pun memiliki murid perempuan pertama. Marie Thomas pun resmi diterima sebagai siswa STOVIA pada September 1912.  Saat itu, ia menjadi satu-satunya perempuan dari 180 siswa STOVIA yang semuanya laki-laki.

Ia menempuh pendidikan di bidang Obstetri dan Ginekologi (Obgyn). Berdasarkan penjelasan alodokter.com (13/4/21), obstetri merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran yang fokusnya pada penanganan kehamilan dan persalinan. Sedangkan ginekologi sendiri termasuk dalam cabang ilmu kedokteran yang fokusnya menangani organ reproduksi perempuan.

 

Pemerhati Kesehatan Reproduksi Perempuan

Sambil menempuh pendidikan di STOVIA, Marie mendapat kesempatan untuk bekerja sebagai tenaga medis bagi Hindia Belanda. Saat lulus, ia merupakan perempuan pertama yang mendapat gelar Indisc Arts (dokter Hindia). Setelah menyelesaikan studinya di STOVIA pada 1922 itu, Marie melanjutkan karirnya sebagai dokter.

Ia bekerja di Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ, sekarang Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo) di Batavia. Menurut berbagai sumber, Marie kemudian pergi ke beberapa kota yaitu Medan, Padang, dan Manado.

Berselang waktu, ia pun kembali  ke Batavia dan bekerja di Rumah Sakit Budi Kemuliaan. Rumah sakit tersebut didirikan oleh Yayasan SOVIA, pemberi beasiswanya. Selain itu, dilansir dari jpnn.com (17/2/21),  Marie juga tercatat pernah bekerja sebagai asisten Nicolaas Boerma, seorang dokter spesialis Obgyn.

Pada 1929, Marie Thomas menikah dengan Mohammad Joesoef. Menurut sejumlah sumber, suami Marie berasal dari Solok, Sumatera Barat, sementara sumber lainnya menyebutkan dokter yang juga lulus dari STOVIA ini berasal dari Padang. Setelah menikah, Marie bersama suaminya pindah ke Padang sebelum akhirnya berpindah dan menetap di Fort de Kock (sekarang Bukittinggi). Di kota ini, ia mendirikan sekolah kebidanan pertama di Sumatera tahun 1950.

Selama ia menjadi dokter, Marie Thomas dikenal sebagai dokter yang murah hati dan kerap membantu pasien yang memiliki kesulitan biaya. Selain menjadi spesialis bidang obstetri dan ginekologi, Marie juga menjadi dokter pertama yang mengenalkan metode kontrasepsi IUD (intrauterine device) atau biasa disebut KB spiral di Indonesia.

 

Bukti Nyata Pentingnya Pendidikan bagi Perempuan

Pada 10 Oktober 1966, Marie menghembuskan napas terakhir di usianya yang ke 70 tahun. Sekalipun perempuan dokter pertama di Indonesia ini telah berpulang, secara tidak langsung ia menunjukkan bahwa diskriminasi gender di institusi pendidikan sangatlah merugikan perempuan.

Mungkin Marie Thomas tidak pernah mempersoalkan apa itu diskriminasi gender. Namun, ia telah membuktikan bahwa ketika seorang perempuan diberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi, maka ia akan mampu berperan dalam berbagai bidang kehidupan. Tak terkecuali bidang kesehatan, di mana aspek kesehatan reproduksi perempuan merupakan salah satu hal yang perlu mendapatkan perhatian. [ANHS]

Digiqole ad