Dari Halakah KUPI, Ulama Perempuan Pelindung NKRI

 Dari Halakah KUPI, Ulama Perempuan Pelindung NKRI

JalaStoria.id

Bonus demografi Indonesia bisa jadi potensi, bisa berubah menjadi situasi emergency. Bonus demografi ditandai dengan jumlah penduduk usia produktif dua kali lipat dari jumlah penduduk usia anak dan lanjut usia (usia non-produktif).

Data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, dikutip dari Katadata.co.id (30/9/2022) menunjukkan 190,83 juta jiwa (69,3%) penduduk Indonesia masuk kategori usia produktif, yaitu 15-64 tahun.

Situasi ini menjadi sorotan Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Jawa Tengah Mukhlis Jamil.  Dalam rangkaian KUPI ke-2 pada halakah kebangsaan bertajuk “Meneguhkan Peran Ulama Perempuan dalam Merawat dan Mengokohkan Persatuan Bangsa,” Kamis (24/11/2022) Mukhlis menyatakan situasi tersebut bak dua mata pisau. Bersifat optimistik seiring dengan pertumbuhan masyarakat urban yang gemar belanja, tak berjarak dengan teknologi dan informasi.

Namun, ada fenomena radikalisme dan ekstremisme yang mengintai kelompok usia produktif. Kekerasan dan intoleransi yang dulu dipersepsikan maskulin bahkan mulai menguatkan menjadi lebih feminin seturut dengan pelibatan perempuan dalam sejumlah aksi terorisme. Ancaman ini ditengarai lahir dari dua pandangan berbeda.

“Dikotomi keliru seolah-olah perilaku kekerasan dan intoleran didorong dari keyakinan keagamaan. Yang kedua dorongan ekstremisme, radikalisme lbih banyak faktor empiris sosiologis,” terang Mukhlis.

Baca Juga: Jihad Kebangsaan Sebagai Upaya Pencegahan Terorisme  

Mukhlis berpandangan jalan keluar mengatasi ancaman radikalisme dan ekstremisme adalah moderasi beragama yang merupakan salah satu instrumen penting. Selain itu, ada empat strategi yang perlu dikembangkan dalam meminimalisir ancaman radikalisme dan ekstremisme. Pertama, right base strategy mengenai pemenuhan hak- hak masyarakat dalam kehidupan bernegara.

“Membicarakan antiradikalisme, antiekstremisme terkait dengan bagaimana negara perlu mengeluarkan kebijakan menyelesaikan kehidupan-kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya,” katanya.

Mukhlis merujuk Francis Galton yang menyebut bahwa empat kebutuhan dasar manusia meliputi survival (kebutuhan untuk bertahan hidup), kesejahteraan (wellbeing), identitas, dan freedom atau kebutuhan mengenai terjaganya kebebasan. Pemenuhan empat kebutuhan ini diperkirakan mampu mengatasi ancaman radikalisme dan ekstremisme.

Strategi kedua adalah faith base strategy. Ini mengajarkan prinsip respect, damai, dan anti terhadap kekerasan. Upaya ini bertujuan untuk mengembangkan nilai keagamaan di tengah masyarakat agar nilai yang dianut bersifat peace value.

Ketiga, respect base strategy. Strategi ini berkaitan dengan gerakan CSO seperti KUPI, Muhammadiyah, NU, Alimat, dan sebagainya. Pelibatan CSO penting sebab negara sangat terbatas sehingga butuh perimbangan dan kritik. Keterlibatan CSO menjadi penting sebagai cara untuk memastikan kebijakan publik baik dan tepat bagi masyarakat.

Baca Juga: Pelibatan Perempuan Dalam Aksi Terorisme

Keempat, resiliensi base strategy. Ini merupakan upaya untuk menanamkan, menumbuhkan, dan menguatkan daya tahan masyarakat di tengah perubahan. Upaya ini salah satunya bisa dilakukan dengan menyebarkan ancaman gerakan ekstremisme yang beredar di tengah masyarakat.

Lantas, apa kaitan wawasan kebangsaan dengan Islam?

Tokoh senior KUPI, Mufidah Cholil mengatakan hubungan wawasan kebangsaan dengan Islam salah satunya ditunjukkan oleh para funding fathers Indonesia.

“Yang membangun negara ini adalah lintas agama. Oleh karena itu nilai dasar wawasan kebangsaan nyambung dengan nilai-nilai kebangsaan dan setiap agama,” jelas Mufidah.

Ada enam nilai dasar wawasan kebangsaan yang serasi dengan nilai yang ada di Indonesia dan semua agama. Pertama, penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, tekad bersama untuk berkehidupan dan berkebangsaan yang bebas dan bersatu. Ini adalah ukhuwah wathoniyah. Ketiga, cita-cita  akan tanah air dan bangsa. Keempat, demokrasi dan kedaulatan rakyat. Kelima, kesetiakawanan sosial. Keenam, mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

Pemilihan tema halakah kebangsaan menurut Mufidah sangat tepat sebagai langkah menghubungkan peran ulama perempuan dalam mempertahankan NKRI. Di sini ada sesuatu yang perlu dicermati lantaran ada sesuatu hal yang keliru yang perlu diselesaikan bersama.

Dalam kaitannya dengan bela negara, ulama perempuan tentu perlu menggandeng ulama laki-laki. Ini dilakukan untuk mengembangkan teks keagamaan melalui pendekatan inklusif, kritis, rasional, substantif, dan kontekstual. Dari sini ulama perempuan perlu merekonstruksi penafsiran melalui sumber yang nondiskriminatif.

Baca Juga: Nilai Ajaran Islam dalam Konsensus Dasar

Mufidah mengatakan ada dua hal yang perlu dilakukan ulama perempuan. Pertama, mengusung sikap inklusi, toleransi/menghargai keragaman, dan anti kekerasan. Kedua, adalah nilai-nilai kebangsaan, termasuk membangun peradaban yang berkeadilan. Sebab perempuan juga mengemban tugas sebagai khalifah.

“Laki-laki itu sejak lahir menang secara budaya. Perempuan itu sejak lahir kalah secara budaya. Tapi bukan secara dogma agama karena agama sudah menempatkan laki-laki dan perempuan setara dari asal kejadiannya, diberikan tugas kekhalifahan yang sama,” jelas Mufidah.

Salah satu tugas khalifah yang bisa dilakukan ulama perempuan adalah menanamkan wawasan kebangsaan. Mufidah menekankan keluarga masih menjadi media semai paling utama. Keluarga yang kuat dan bermutu sangat bisa diandalkan dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang tangguh, disiplin, bersemangat, punya semangat bersaing, mumpuni, serta menciptakan persatuan dan kesatuan negara. Jika generasi ini lahir dari keluarga tersebut maka cenderung susah untuk terdoktrinasi paham ekstremisme.

Mufidah membagikan lima cara yang bisa dilakukan keluarga dalam menumbuhkan sekaligus menguatkan wawasan kebangsaan. Pertama, melalui keteladanan di mana ulama perempuan menjadi garda depan untuk bersikap dan berperilaku dalam memperkokoh wawasan kebangsaan. Kedua, dengan mengembangkan pesan moral dan konten dakwah yang bermuatan wawasan kebangsaan serta mengusung peradaban yang berkeadilan. Ketiga, memperluas tema halakah di  pesantren dan majelis taklim yang terintegrasi dengan tema keadilan gender dan wawasan kebangsaan. Keempat, kerja sama antar umat beragama. Kelima, mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Juga: Mengaplikasikan Rahmah (Kasih Sayang) dalam Keberagaman dan Keberagamaan

Terkait kerja sama antar umat beragama Mufidah membagikan pengalamannya. Sejak diundang untuk berceramah di geraja pada 1997, Mufidah bersama penceramah lain mendirikan Perempuan Antar Umat Beragama (PAUB) di Malang Raya dengan enam agama. Bersama PAUB, selama tiga tahun para penceramah berjuang menyamakan persepsi, termasuk mempelajari simbol di setiap agama. Dengan PAUB, selain menjadi ruang kerja sama sekaligus menjadi wadah pemberdayaan perempuan. Menjadi ruang untuk membangun peradaban ramah gender dan menciptakan kesetaraan gender di masyarakat melalui pesan keagamaan yang seringkali jadi masalah di masyarakat.

“Ada satu hal yang perlu saya sampaikan: berpikir inklusif, berjuang dengan optimis, membangun peradaban berkeadilan, merawat NKRI dengan semangat, dan mencintai Indonesia tanpa syarat,” pungkas Mufidah. [Nur Azizah]

 

Artikel ini merupakan bagian dari kontribusi JalaStoria dalam penyelenggaraan KUPI ke-2 di Semarang dan Jepara, 2022

 

Digiqole ad