Dari Film Tilik: Memahami Makna Gosip
Oleh: Siti Aminah Tardi
Film pendek berjudul Tilik dan tokoh Bu Tejo dalam seminggu terakhir menjadi perbicangan hangat di Indonesia. Film karya Wahyu Agung Prasetyo ini menceritakan rombongan ibu-ibu yang tilik Ibu Lurah di rumah sakit dengan menaiki truk dari desa. Sepanjang perjalanan, ibu-ibu khususnya Bu Tejo bergosip tentang Dian, seorang gadis, tidak berjilbab, memiliki barang mewah dan belum kunjung menikah. Analisis terhadap film pendek ini di antaranya adalah film ini dinilai telah membakukan streotipe perempuan sebagai tukang gosip, memperlihatkan bagaimana pengaruh internet di kalangan ibu-ibu, juga perundungan terhadap perempuan yang bekerja, single, dan tidak berjilbab. Tapi apa sebenarnya gosip dan mengapa selalu dilekatkan kepada gender perempuan?
Asal Muasal Istilah Gosip
Secara etiomologis, gosip itu berasal dari bahasa Inggris Kuno “godsibb”, dari “god” dan “sib”, istilah untuk wali baptis dari anak seseorang atau orang tua baptis, umumnya teman yang sangat dekat. Sumber lain mengatakan bahwa gosip berasal dari akar yang sama dengan “gospel” – singkatan dari “good spiel”, yang berarti cerita yang bagus.
Kemudian gosip merujuk pada istilah yang berasal dari kamar tidur pada saat melahirkan. Melahirkan dulunya adalah acara sosial yang hanya dihadiri oleh perempuan. Selain yang membantu melahirkan, kerabat, dan tetangga perempuan hamil akan berkumpul dan berbincang satu sama lain, untuk saling menguatkan dan berbagi pengalaman antar perempuan. Gosip mengambarkan persaudarian perempuan.
Jika kini gosip diartikan sebagai hal yang dilakukan sebagian besar oleh perempuan yang senang membicarakan orang lain, tidak bermanfaat dan berpotensi menyebarkan perselisihan, tulisan Silvia Federici dapat membantu memahami pergeseran makna dan fungsi gosip. Silvia Federici melakukan penelitian mendalam atas persekusi terhadap perempuan yang dituduh sebagai penyihir pada abad 14 sampai 16 di benua Eropa, yang juga berpengaruh terhadap perempuan di belahan dunia lain, termasuk perubahan dalam makna gosip.
Pada zaman masyarakat prakapitalis perempuan memiliki kemandirian di ranah ekonomi, memiliki kebebasan di ranah seksual, memiliki kehormatan di ranah politik, dan memiliki kontribusi dalam menciptakan dan mengembangkan kebudayaan. Secara khusus perempuan memiliki kemampuan dalam memahami rahasia alam, menjadikan perempuan sebagai penyembuh, dokter rakyat, ahli jamu,bidan, dan pembuat cinta kasih bagi banyak perempuan yang merupakan sumber pekerjaan dan merupakan kekuatan bagi perempuan.
Dalam sistem komunal, perempuan membangun konsolidasi kolektif untuk melakukan rumah tangga kolektif dari penyediaan bahan pangan sampai kerajinan neolitik. Pengetahuan dan keterampilan ini diturunkan dari ibu ke anak perempuan, dibagi dari satu perempuan ke perempuan lain menjadi kekuatan pengetahuan perempuan.
Di Inggris, pada akhir era feodalisme dilakukan proses pemagaran tanah (enclosure) sebagai suatu kebijakan pembagian atau konsolidasi tanah komunal menjadi tanah yang dikelola dan dimiliki secara individual. Ini mengakibatkan khususnya perempuan tua atau janda yang sebelumnya bergantung pada tanah kehilangan sumber penghidupannya.
Sistem kepemilikan tanah ini juga menyebabkan perempuan kehilangan akses terhadap hutan yang menjadi sumber obat-obatan. Mereka menggelandang dan mengemis dari satu pintu ke pintu sambil meneriakkan kekecewaan dan kemarahan atas pemiskinan yang dialami. Di sisi lain, perempuan masih memiliki pengaruh karena kemampuan medis dan penilaian tentang kekuatan supranatural yang dimilikinya.
Maka, kemudian pada abad ke 14-16 dilakukan pemburuan terhadap apa yang disebut sebagai perempuan penyihir. Perempuan menjadi sasaran pemburuan dikarenakan: pertama, tingkat popularitas dan kepercayaan terhadap perempuan yang bertindak sebagai tabib, yang secara terbuka menentang proses pemiskinan adalah embrio perlawanan yang merugikan struktur kekuasaan baru.
Kedua, sistem produksi dan profit sebagai penopang utama struktur ekonomi, pembentukan moralitas, dan disiplin sosial baru adalah keniscayaan, termasuk rasionalitas dan objektifitas tenaga kerja (Linda Sudiono, 2020). Atas dasar ini perempuan digambarkan sebagai sesuatu yang jahat dan tempat bersarangnya para iblis, termasuk cara komunikasi dan persaudarian antarperempuan.
Perubahan Makna Gosip: Penundukan Perempuan
Kekuatan pengetahuan perempuan, kebebasan berbicara, dan solidaritas kolektif persaudarian perempuan ditundukkan. Pada akhir abad ke-16, setiap demonstrasi dan kritik yang dibuat untuk menentang suami dapat dihukum berat. Perempuan didomestifikasi pada peran sebagai ibu rumah tangga dan prokreasi. Ketaatan adalah tugas pertama seorang istri yang ditegakkan oleh hukum gereja, opini publik, dan pada akhirnya oleh hukuman kejam atas kebebasan bicara perempuan yang dinilai sebagai bagian dari perilaku penyihir.
Hukuman kemudian diterapkan terhadap hardikan atau omelan yang dilakukan perempuan, disebut ‘scold bridle’ yaitu alat yang terbuat dari logam dan kulit yang akan merobek lidah perempuan yang mencoba untuk berbicara. Alat penyiksaan ini dirancang untuk perempuan kelas bawah yang dianggap ‘cerewet’ atau ‘suka menghardik atau mengomel’ atau ‘membuat gaduh’.
Istri-istri yang dipandang sebagai penyihir, pemberang, cerewet, dan suka mengomel juga dipaksa untuk memakai alat ini dengan dikunci di kepala, yang disebut kekangan gosip. Dengan kerangka yang menguci kepala dan mulut, para perempuan diarak mengelilingi kota untuk menerima penghinaan, sekaligus membangun ketakutan pada perempuan lain akan konsekuensi dari ketidakpatuhan mereka.
Perempuan juga dibawa ke pengadilan dan didenda karena mengomel dan menghardik sementara para rohaniawan dalam khotbahnya mengutuk lidah perempuan. Para isteri diharapkan untuk diam, patuhi suami tanpa pertanyaan, kagum pada suaminya, dan menjadikan suami sebagai pusat perhatiaan. Perempuan dihalangi untuk melakukan terlalu banyak kunjungan ke keluarga setelah menikah dan terutama untuk menghabiskan waktu bersama teman-teman perempuannya.
Bahkan, pada tahun 1547 sebuah pengumuman dikeluarkan untuk melarang perempuan saling bertemu, mengobrol, dan berbicara, serta memerintahkan para suami untuk menjaga isteri mereka di rumah. Dalam konteks inilah gosip berubah dari persahabatan dan kasih sayang menjadi fitnah dan ejekan. Dengan cara inilah para perempuan telah dibungkam dan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, kehilangan otoritas untuk mendefinisikan pengalaman perempuan dan dipaksa untuk memenuhi potret misogini laki-laki yaitu diam dan patuh.
Lantas, dengan memahami bahwa gosip merupakan streotipe terhadap perempuan dan bagian dari penundukan perlawanan perempuan, apa solusinya untuk mengembalikan gosip dalam konotasi sebagai proses berbagi pengalaman dan pengetahuan perempuan, kasih sayang dan persaudarian? Walau saya bukan Bu Tejo yang solutif, namun dengan memahami kesejarahan gosip, kemungkinan bergosip karena tidak memiliki sesuatu yang lebih baik untuk dilakukan sebagai akibat proses domestifikasi, dan sedikitnya akses ke pengetahuan dan informasi berdasarkan fakta. Maka solusi jangka pendeknya adalah perempuan yang memiliki pengetahuan lebih membuka akses pengetahuan dan informasi yang diarahkan pada upaya membangun kekuatan pengetahuan perempuan. Melalui kekuatan pengetahuan perempuan, dan solidaritas kolektif persaudarian bukan mustahil generasi-generasi anak cucu perempuan kita dapat mengembalikan makna bahwa gosip adalah kasih sayang dan saling menguatkan sesama perempuan.[]
Tonton Film Tilik di https://www.youtube.com/watch?v=GAyvgz8_zV8
Penulis adalah Komisioner Komnas Perempuan 2020-2024, tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili opini lembaga.