Dampak Investasi dan Hak Hidup Perempuan di Papua
Oleh: Melania Pasifika
Pertanyaannya, dari situasi global ke nasional hingga ke lokal, di mana posisi perempuan Papua?
Banyak hal bisa diperoleh dari menonton film. Aktivitas yang kerap diasosiasikan dengan “kegiatan pasif” ini bukan cuma menghibur tetapi acapkali menggugah perasaan.
Seperti dua film pendek berjudul Mama Kasmira Punya Mau dan Mama Mariode. Produk sinematik itu menyimpan pesan yang dalam sekaligus memantik daya kritis penontonnya.
Itu terjadi dan dialami oleh anggota Komunitas Solidaritas Bersama Perempuan Bersatu Untuk Hari Perempuan Internasional. Mereka yang tergabung dalam solidaritas ini adalah para aktivis lembaga/NGO, Gereja, dan individu yang peduli dan mendukung pemenuhan hak perempuan di Papua.
Para penikmat film pendek itu bukan cuma menyaksikan tayangan tetapi juga mendiskusikannya kemudian. Dan komunitas ini memang sering mengadakan serangkaian kegiatan bersama sebagai refleksi sejauhmana hak perempuan di Papua telah diperhatikan dan dipenuhi oleh Negara.
Salah satu aktivitasnya berlangsung di Waena, Heram, Jayapura, Papua, Sabtu (26/1/2019). Berangkat dari momentum jelang Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret mendatang, para individu ini bertukar pikiran dan informasi terkait hak-hak perempuan di Papua.
Perempuan Korban Investasi
Dua film pendek itu menjadi pemantik diskusi yang mengetengahkan tajuk “Perempuan Korban Investasi.” Dan memang film Mama Kasmira Punya Mau dan Mama Mariode secara tepat menggambarkan situasi itu.
Latar cerita adalah wilayah perkebunan kelapa sawit dengan mama Papua sebagai tokohnya. Mereka terpinggirkan oleh sebuah investasi besar di kampung halamannya, wilayah Kabupaten Keerom, Papua dan Kabupaten Sorong, Papua Barat.
Para perempuan ini kena dampak langsung. Sumber penghidupan mereka hilang dan kalaupun ada lokasinya terlampau jauh.
Namun, mereka tidak dapat berbuat apa-apa karena kapasitasnya yang lemah atau lebih tepatnya dilemahkan oleh situasi. Lemah karena mereka tidak memperoleh informasi yang memadai tentang banyak hal.
Mulai dari cara mengakses jaminan perlindungan lingkungan tempat mereka hidup hingga cara-cara perusahaan kelapa sawit yang menawarkan “kemewahan” di awal perjumpaan.
Ya, sejak awal perusahaan itu berekspansi dan mulai masuk ke wilayah mama Papua, janji manis sudah ditebar. Perusahaan menjanjikan pemberian ganti rugi (tali asih) yang layak hingga membuka lahan kerja baru bagi warga sekitar.
Tetapi lingkar patriarkhi yang cukup kuat menyebabkan perempuan di wilayah ini akhirnya hanya menerima hasil kesepakatan para lelaki mereka yang notabene adalah pengambil keputusan dalam keluarga maupun komunitas.
Pembukaan hutan menjadi hal yang tentu mengganggu pola hidup masyarakat di wilayah ini. Sebab, secara keseluruhan, Kabupaten Keerom dikelilingi hutan dan telah menjadi tempat sakral untuk mengolah makanan dan sumber kehidupan lain, termasuk obat-obatan tradisional.
Dan kini, sebagian besarnya telah rusak dan hilang.
“Selama bertugas di sana, yang saya lihat ada perubahan pola hidup, di mana perempuan yang biasanya berkebun akhirnya bekerja sebagai buruh harian setelah ekspansi perusahaan. Mereka tertarik dengan metode penggajian setiap dua minggu sekali,” ujar Pdt. Magdalena, narasumber diskusi.
Lebih lanjut ia menjelaskan, sebagai salah satu pelayan umat di wilayah Kabupaten Keerom, penting sekali memperhatikan keberlanjutan lingkungan hidup karena sangat terkait dengan keberlanjutan hidup masyarakat.
Yang kemudian membawa dampak tertariknya minat anak-anak usia sekolah untuk bekerja. Sebab mereka dapat dengan mudahnya memperoleh uang lewat aktivitasnya menjalani peran sebagai buruh kasar. Ujungnya, anak-anak itu lebih memilih bekerja dari pada melanjutkan sekolah.
Persoalan lain mengenai perempuan buruh, menurut Pdt. Magdalena, adalah tidak adanya jaminan keselamatan kerja. Para buruh, dalam perjalanannya menuju lokasi kerja, diangkut dengan truk tanpa membedakan laki-laki dan perempuan.
Semua disamakan sehingga sekalipun perempuan pekerja (buruh) membawa anak, tetap diperlakukan sama, termasuk informasi terkait kontrak kerja juga tidak dipahami oleh buruh.
Tentu saja, situasi ini merupakan hal yang ikut melemahkan masyarakat adat/asli, lebih khususnya perempuan. Kondisi yang sama terjadi juga pada area perkebunan kelapa sawit di wilayah Kabupaten Sorong.
Konteks Global dan Nasional
Selain konteks lokal, narasumber lain, Wirya, juga menyoroti gambaran konteks nasional dan global yang erat kaitannya dengan ekspansi sejumlah investor di wilayah Papua.
Anggota Jaringan Kerja Rakyat untuk PSDA dan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (JERAT) itu menyebut, bicara soal investasi, tidak bisa terlepas dari situasi geopolitik dunia yang dipengaruhi oleh negara-negara kuat. Mereka terus membangun sekutunya dan melirik Indonesia sebagai negara yang kaya sumber daya alamnya.
Negara-negara itu berebut menentukan lokasi pasar dengan memanfaatkan tingkat pemahaman penduduk yang relatif menegah dan masih berkembang, serta berperilaku konsumtif.
Kemampuan yang lemah pemerintah negara tujuan dalam berdiplomasi terhadap pasar menjadi sasaran empuk mereka untuk mengajukan penerbitan izin isaha tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan hidup.
Dampaknya, wilayah Papua dengan potensi sumber daya alam yang melimpah menjadi target.
Pertanyaannya, dari situasi global ke nasional hingga ke lokal, di mana posisi perempuan?
Sebagai kelompok individu yang diangap nomor dua, tentunya mereka lebih rentan mengalami marginalisasi dan subordinasi dalam konteks ini. Jika para perempuan ini tidak dipersiapkan menghadapi situasi ini, maka dampaknya akan sangat merugikan mereka.
Tantangan untuk Sebuah Gerakan Masyarakat
Pertanyaan lain kemudian mengemuka: apakah mereka yang telah tersadarkan diri tidak membuat sebuah gerakan penyadaran?
Di sinilah tantangannya. Menggerakkan isu perempuan bukan hal yang mudah dan seringkali muncul hambatan, baik secara internal maupun eksternal.
Secara internal, isu perempuan belum terinternalisasi dalam kerja isu lingkungan. Belum lagi soal minimnya individu dan kelompok yang bersedia melakukan advokasi isu perempuan dan lingkungan. Akibatnya, advokasi korban khususnya perempuan korban investasi menjadi minim.
Oleh karenanya, wajar bila belum tampak data penanganan keluhan masyarakat, khususnya perempuan, atas dampak investasi.
Adapun secara eksternal, beberapa faktor mencuat. Antara lain, masih kentalnya budaya patriarkhi dalam komunitas Adat, perizinan investasi yang tidak memperhatikan aturan terkait dan keberlanjutan lingkungan hidup, juga perempuan korban dampak investasi yang belum berani melapor.
Ruang Ekspresi yang Terbatas
Dan akhirnya, diskusi tentang film ini berujung pada evaluasi. Sebagian besar fokus pembicaraan memang berkisar pada konteks lingkungan dan permasalahannya. Tetapi sedikit yang menyinggung cara masyarakat untuk melakukan sebuah perubahan.
Upaya mengorganisasi masyarakat untuk menjadi sebuah gerakan belum menjadi gaya advokasi di Papua. Itu terjadi, salah satunya, karena konteks Papua saat ini yang masih membatasi diri dalam menyediakan ruang untuk mengemukakan ekspresi.
Akibatnya, sebuah gerakan sulit terbangun, apalagi yang dilakukan secara terbuka dan berkelanjutan.
Hal ini menjadi kendala bagi perempuan dalam mempertahankan hak hidup dan hak lainnya sebagai seorang manusia.[]
Usai menamatkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih, Melania aktif menggeluti isu perempuan, pendampingan hukum bagi perempuan korban, penguatan kapasitas perempuan akar rumput, dan terlibat dalam penulisan laporan tentang situasi perempuan di Papua, termasuk penyusunan kebijakan bagi perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Perempuan. Saat ini, ia bekerja sebagai Asisten Pratama Ombudsman Republik Indonesia di Provinsi Papua.