Berkaca dari Kasus Eks Polisi Ngada NTT: Aparat Penegak Hukum Bisa Menjadi Pelaku Kekerasan Seksual

 Berkaca dari Kasus Eks Polisi Ngada NTT: Aparat Penegak Hukum Bisa Menjadi Pelaku Kekerasan Seksual

Oleh : Uswatun Hasanah

Polisi sebagai Aparat Penegak Hukum (APH) yang semestinya menjadi figur representatif penerapan Undang-undang Tindak Pindana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan aturan hukum yang melindungi warga negara dari resiko kekerasan, justru menjadi perpanjangan tangan pelanggaran hak anak dengan mengeksploitasi anak secara seksual.

Bahkan, dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2024, tercatat jika pelaku polisi menjadi pelaku kekerasan sebanyak 22 orang. Data ini pun divalidasi oleh kasus di 13 Maret 2025 yang menggemparkan publik. Eks Kapolres Ngada Nusa Tenggara Timur (NTT) Fajar Widyadharma yang melakukan eksploitasi seksual anak sebagai bentuk kekerasan seksual sekaligus pelanggaran HAM berat.

Dilansir CNN Indonesia (13/03/2025), kasus ini terungkap setelah Pemerintah Australia menemukan video pelaku di salah satu situs pornografi. Kemudian melapor kepada Pemerintah Indonesia lewat Kementerian Permberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Sejauh ini, korban ada 3 orang anak Perempuan. Ketiganya berusia 5 tahun, 13 tahun dan 16 tahun.

Kasus ini menimbulkan amarah besar dari masyarakat lantaran pelaku merupakan polisi yang seharusnya terlibat dalam penghapusan kekerasan kepada anak, tetapi justru menjadi pelaku eksploitasi seksual anak dan bahkan menyebarluaskan rekaman aksinya ke ruang digital. Sehingga, di 17 Maret 2025, sidang etik dilakukan dengan memberhentikan secara tidak hormat Fajar Widyadharma dari jabatan kepolisiannya.

 

Kejahatan Eks Kepolisian Ngada NTT Termasuk Kasus TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang)

Dilansir dari informasi KemenPPPA per 31 Juli 2024, jumlah korban anak TPPO di Indonesia adalah 206 anak, mayoritas korbannya anak perempuan. Modus TPPO yang menyasar anak-anak seperti iming-iming program pekerja migran sebagai pekerja rumah tangga, online scamming, platform judi online, pelecehan daring, hingga eksploitasi seksual.

TPPO termasuk pelanggaran HAM berat sebagai kejahatan yang terorganisir, sistematis, dan sering terjadi lintas negara dengan jaringan yang kuat. Survei Nasional Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) mencatat Indonesia menjadi negara dengan peringkat keempat dunia dan peringkat kedua kawasan Asia Tenggara dalam kasus eksploitasi seksual anak di ruang digital.

Pengusutan kasus eksploitasi seksual anak tidak hanya sebatas pada penelusuran jaringan atau organisasi yang terlibat kejahatan dan pencarian bukti, tetapi juga proses pendampingan anak sebagai korban TPPO yang terdampak kondisi mentalnya. Serta perlu dipenuhi pemulihan hak-hak korban.

Tindak pidana perdagangan orang (TPPO) diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Selain itu, TPPO juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

 

Pentingnya Pemulihan Kondisi Psikologis Korban Eksploitasi Seksual Anak

Proses pendampingan anak korban eksploitasi seksual membutuhkan perspektif korban yang kuat sebagai salah satu cara menanggulangi stigma dan menghindari reviktimasi korban. Perspektif korban selama pemulihan hak anak membantu proses konseling akibat traumatis, menekan stigma anak dalam pemberitaan dan mendorong keberpihakan publik kepada anak korban eksploitasi seksual.

Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar menyampaikan bahwa pemulihan kondisi psikologis korban eksploitasi seksual anak sangat penting. Terlebih kasus seperti ini memberikan trauma berlipat pada anak, karena jejak digital tersebut akan terus menyebar dan sulit dihilangkan. Selain pemulihan kepada korban eksploitasi seksual, pendampingan bagi keluarga korban perlu diupayakan agar meminimalisir trauma sekunder akibat kasus yang dialami.

KemenPPPA mengupayakan perlindungan anak di ruang digital. Upaya perlindungan anak di ruang digital ini sedang diupayakan pemerintah di tataran kebijakan melalui Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Rancangan Peraturan Presiden Peta Jalan Perlindungan Anak di Ranah Daring.

Tentu, segala kebijakan yang diupayakan membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Masyarakat juga punya peran terlibat mencegah eksploitasi seksual pada anak. Misalnya, dengan segera melaporkan kepada pihak kepolisian atau ke layanan bantuan terpercaya kekerasan jika menemukan konten kekerasan atau yang mengandung eksploitasi seksual anak.  Jika membutuhkan akses bantuan bisa di carilayanan.com supaya mendapatkan informasi tepat dan terdekat dari domisili kita.

Pelaku kekerasan dan eksploitasi seksual bisa siapa saja, bahkan polisi yang menjadi bagian dari Aparat Penegak Hukum (APH). Realita ini menggambarkan jika transparansi sistem penyidikan dan penegakan hukum dibutuhkan, tidak hanya mengupayakan perlindungan anak dari berbagai resiko eksploitasi. Namun juga mendorong keterlibatan aktif kepolisian berkomitmen melawan segala bentuk kekerasan terhadap anak.

 

Uswatun Hasanah, akrab disapa Uung

Tulisan ini adalah bentuk adaptasi dari konten Instagram kolaborasi JalaStoria dengan Savy Amira

 

Digiqole ad