Aku Merasa Hidupku akan Berakhir
Oleh: Daniel Simatupang
Aku adalah anak perempuan pertama dari tiga bersaudara. Aku lahir dan besar di salah satu kota di Provinsi Jawa Barat. Sejak kecil aku memang terkenal sebagai sosok yang tak pernah lupa untuk tersenyum kepada orang lain, menghormati orang lain, memiliki banyak teman, dan tak pernah sungkan untuk membantu orang lain, jika aku mampu. Sejak dulu, aku selalu tak mempersalahkan penampilan fisikku. Begitupun dengan orang-orang di sekelilingku. Mereka terlihat nyaman dengan apa yang ada padaku.
Sejak 2017, aku sudah aktif memakai media sosial Twitter, salah satu platform yang terkenal sebagai platform yang memiliki bahasa sendiri. Semua berjalan normal sebagaimana mestinya hingga saat aku mengenal istilah alter dan kejadian itu dimulai.
Sekedar informasi, alter adalah istilah serapan dalam psikologi yang berasal dari kata Alter Ego, yaitu identitas atau karakter yang sengaja dibentuk oleh individu. Alter ego merupakan bentuk ideal individu yang tidak bisa terealisasi. Sedangkan istilah alter dalam platform Twitter merupakan sebuah akun anonim yang dimiliki individu untuk merealisasikan dirinya sendiri yang tak bisa direalisasikan pada akun pribadinya.
Awal Ketakutanku Bermula
Tahun 2019 aku mengenal seorang laki-laki dari Twitter. Dia menggunakan akun alter. Kami saling mengenalkan diri. Â Ternyata dia juga seorang perantau di kota metropolitan ini. Sama sepertiku yang sudah menginjakkan kaki di ibukota sejak aku resmi menjadi mahasiswa di salah satu kampus ternama di Jakarta. Dia berasal dari suatu daerah di Indonesia Timur.
Baca Juga:Â Survei: Orang Muda Belum Paham Bentuk Kekerasan Seksual
Kami saling mengobrol dan berbagi kabar satu sama lain melalui DM (direct message). Walaupun belum pernah bertemu, kami sepakat menjalin hubungan FWB (friend with benefit), hubungan yang saling memberikan benefit dalam bentuk apapun kepada kedua belah pihak. Hingga suatu hari kami memutuskan untuk menjadwalkan pertemuan pada beberapa hari ke depan. Saat itu adalah pertama kalinya aku bertemu laki-laki stranger, Â orang asing yang aku temui di media sosial.
Hari pertemuan pun tiba. Kita janjian untuk bertemu di lokasi yang telah kami sepakati. Setibanya di sana, aku belum melihat kehadirannya. Ini sangat mudah bagiku mengatakan jika dia belum datang. Sebab dia memberikan informasi pakaian dan motor apa yang digunakan. Sembari menunggunya, aku memutuskan untuk membeli sebotol minuman berkarbonasi (soda) di minimarket yang tak jauh dari lokasiku berdiri. Tak lama aku menunggu, aku melihatnya datang dengan pakaian dan motor yang sesuai informasi.
Semua Terlihat Sangat Mencurigakan
Kami saling menyapa dan menanyakan bagaimana perjalanan masing-masing. Setelah itu dia mengajakku untuk berkeliling Jakarta dengan motornya. Seperti laki-laki pada umumnya, dia mengenakanku helm dan membetulkan posisi footstep motor agar aku tidak kesusahan. Ketika di lampu merah, dia juga bersikap lembut padaku. Dia mengusap lembut lututku dan mengatakan kalau dia akan berkendara dengan hati-hati.
Baca Juga:Â Ramadan dan Penghapusan Kekerasan Seksual
Di tengah perjalanan, dia izin untuk mampir sebentar ke minimarket untuk membelikan titipan obat teman yang sedang berada di rumahnya. Aku pun mengizinkannya.
Di dalam minimarket aku melihat gerak-geriknya mencurigakan. Dia mengambil sebotol minuman soda berukuran besar lalu beranjak ke rak obat-obatan yang kebetulan saat itu berada tepat di samping rak alat kontrasepsi (kondom). Saat itu dia mengatakan kepadaku agar tak sungkan untuk mengambil minuman apa yang kusuka. Aku menolaknya karena memang aku sudah minum.
Aku melihat dia mengambil sebotol obat tetes mata. Saat itu aku teringat mitos bahwa jika minuman soda dicampur dengan obat tetes mata akan membuat seseorang terangsang. Walaupun hanya mitos, tapi aku tahu modus dari laki-laki tersebut.
Setelah keluar dari minimarket dan melanjutkan perjalanan, aku mulai ketakutan dan panik, bingung harus berbuat apa. Laki-laki itu kembali mengusap lututku, namun kala itu perasaanku sudah tak nyaman. Tanpa sepengetahuannya, aku membuka Google Maps untuk mengetahui di mana posisiku saat ini. Laki-laki itu kemudian berhenti di sebuah kontrakan kosong dan sepi. Dia mengatakan kalau kontrakan tersebut milik orang tuanya dan rumahnya berada tepat di tengah kontrakan.
Laki-laki itu kemudian masuk dengan membawa barang yang dibelinya tadi, sedangkan aku terpaku di luar rumah. Aku lalu berinisiatif untuk memotret alamat rumah tersebut dan mengirimkannya kepada sepupuku di rumah, mengatakan jika ada apa-apa dengan diriku, maka aku berada di situ. Laki-laki itu kemudian mengajakku masuk dan duduk di sofa. Kemudian aku memilih kursi single dan menghindari sofa panjang. Aku sedikit mendengar percakapan antara dia dengan temannya yang menjurus pada hal-hal yang tak aku inginkan. Posisiku saat itu tidak diuntungkan. Aku sangat takut dan bingung.
Baca Juga:Â Memahami Kembali Korban Kekerasan Seksual, Meneguhkan Etika Kemanusiaan
Dia kembali ke ruang tamu dengan membawa dua gelas minuman tadi. Anehnya gelasku dan gelasnya berbeda. Dia memaksaku untuk minum dari gelas yang dia berikan. Aku ingat kalau minumanku tadi masih ada. Kutunjukkan padanya jika minumanku tadi belum habis. Selain itu dia juga memaksaku untuk duduk di sofa yang sama dengannya dan aku menolaknya. Dari situ dia mulai mendekat dan mulai melakukan hal yang tidak sepantasnya aku dapatkan. Dia meraba, memegang, dan mengusap tubuhku. Aku ketakutan dan panik. Aku tak tahu harus berbuat apa.
Dalam hati aku hanya bisa berdoa agar tidak terjadi hal yang buruk padaku, hingga tak lama kemudian ibunya pulang. Tanpa perlu lama lagi, aku memaksanya untuk mengantarkanku pulang. Kejamnya, dia hanya mengantarkanku hingga jalan besar yang jauh dari halte. Akhirnya aku putuskan untuk pulang sendiri menggunakan bus Transjakarta. Dan hari itu aku sadar, manusia akan bersikap manipulatif jika ia menginginkan suatu hal.[]
Seorang pegiat psikologi yang fokus pada isu kekerasan berbasis gender dan seksual
Cerita ini didasarkan pada kisah nyata yang dituturkan narasumber kepada penulis. Dalam hal ini penulis sudah mendapatkan izin dari narasumber untuk menceritakan kisahnya. Semua identitas dalam tulisan ini hanya penulis yang mengetahuinya. Semoga kita semua dapat belajar dari kisah ini.