Predator Berkedok Terapis

 Predator Berkedok Terapis

(Ilustrasi: Pixabay/Geralt)

Ah, gak mungkin dia berbuat aneh-aneh, kan ini bagian dari terapi…”

Pembenaran demi pembenaran seolah-olah selalu terpatri dalam otakku. Tapi tidak dengan lubuk hatiku. Bahwa ini salah, benar-benar ada yang salah. Tidak benar adanya!

Bayang-bayang kejadian lalu, selalu berkecamuk. Membuat dilema batin. Mengundang tanya, sebenarnya terapi apa yang ia lakukan kemarin itu? Apakah yang dia lakukan kepadaku di kamar hotel kemarin benar-benar membuat luka batinku sembuh? Jika iya, mengapa justru aku kerap gelisah, dilanda perasaan bersalah. Dan membuat semakin trauma dengan relasi ke laki-laki lainnya.

Ketertarikan aku padanya berawal dari unggahan-unggahannya di media sosial. Melihat sosok dan gaya bicaranya yang begitu meyakinkan, membuatku membulatkan tekad untuk mengikuti kelas-kelas terapi yang diadakannya. Selalu rutin aku menyaksikan dirinya sebagai seorang Doktor Psikologi di dunia maya, tak sabar rasanya ingin bertemu di dunia nyata. Mencurahkan segala ‘sampah’ yang sudah terpendam lama. Membuat jiwa tak jelas rupanya, karena berbagai problematika hidup yang melanda.

Dengan bertarif sekian rupiah, aku menghadiri acara ‘terapi massal’ itu. Tak ada yang spesial, lebih seperti acara motivasi-motivasi bersama. Padahal ekspektasiku, barangkali seperti konseling mendalam, person to person. Ditutup pula dengan agenda wajib kekinian, yakni selfie. Lalu foto-foto itu aku kirimkan ke nomor pribadinya yang telah di-share sebelumnya. Sampai pada saat itu, semuanya berubah menjadi bencana.

Interaksi kami berlanjut ke pesan pribadi. Beliau menawarkan untuk sesi ‘terapi pribadi’. Di tempat yang ia tentukan: di kamar hotel. Benakku langsung berkecamuk. Sedikit ragu, tapi aku meyakinkan diriku. Ia meminta aku memesankan kamar, atas namaku.

Bertemu dengannya kembali, tentu ada rasa bahagia. Berharap, aku dapat lebih ‘sehat’ kembali. Luka jiwa yang kualami selama ini tentunya tak nampak, tapi sakitnya terasa kekal. Aku ingin sembuh. Sepuluh menit awal hanya percakapan-percakapan ringan. Aku sama sekali tidak berpikir macam-macam. Kredibilitasnya sebagai konselor, sepanjang yang kutahu, ya kompeten. Makanya aku percaya.

Ketika mulai mengelus rambut dan pundakku, aku masih merasa itu biasa, bagian dari penenangan diri. Tapi mulai menjadi tidak biasa ketika tangannya justru menjamah dadaku, dan mulai memelukku. Seraya meminta berhubungan seksual. Seketika itu aku membatu! Aku takut. Takut, dan tidak berdaya.

Tanpa perlawanan, semua hal buruk itu terjadi. Aku menyesal. Takut. Sungguh takut. Sedih rasanya mengingat semua yang ia lakukan. Aku sama sekali tidak memprediksi hal itu. Sosoknya yang begitu dikagumi, citranya yang bijaksana, semua hancur! Sehancur itu juga diriku yang dilecehkannya.

Masih dalam perasaan tak percaya, aku pergi. Tapi semua sudah terlambat. Aku tak percaya lagi. Semakin tidak percaya akan datang hal-hal baik pada diriku. Niatan untuk segera sembuh dari kemelut penyakit jiwa, aku malah tambah jadi gila!

 

Dituliskan kembali oleh: VeraFauz

==

Tulisan ini diangkat dari kumpulan-kumpulan cerita korban, melalui akun Instagram @r*****vt
Mari berani bersuara, sembuhkan jiwa, dan hukum pelaku KS

Digiqole ad