UU Narkotika Dominasi Hukuman Mati di Indonesia
Indonesia masih mengandalkan hukuman mati sebagai jurus dalam perang melawan narkotika. Alih-alih memberikan efek jera, nyatanya hukuman mati tidak teruji meredakan angka kejahatan narkoba.
Kampanye hukuman mati sebagai cara menyelamatkan generasi bangsa bahkan mengesankan kamuflase untuk melanggengkan praktik hukuman mati semata. Padahal, praktik penghapusan hukuman mati telah digunakan oleh dua pertiga negara di dunia. Sepertinya ini tidak cukup memberikan legitimasi bagi pemerintah Indonesia untuk menghapus hukuman mati dari hukum pidana nasional.
Dalam hukum pidana nasional setidaknya ditemukan lebih dari 10 undang-undang yang menerapkan pidana mati. UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjadi peraturan yang paling sering digunakan.
Berdasarkan pemantauan Reprieve, sepanjang Maret 2020-2021 terdapat 145 terdakwa divonis mati. 119 orang terdakwa kasus narkotika, 2 diantaranya adalah perempuan.
Marry Jane Veloso (MJV) dan Merri Utami (MU) merupakan buruh migran korban dari sindikat peredaran gelap narkotika. Keduanya juga korban tindak pidana perdagangan orang.Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) mengatakan kebijakan mempertahankan hukuman mati yang bias ini pada akhirnya tidak mampu menilai peran maupun kedudukan MJV dan MU secara objektif.
Baca Juga: Serikat Buruh Migran Indonesia merilis Catatan Akhir Tahun 2021
Eksploitasi buruh migran untuk tujuan peredaran gelap narkotika juga dialami oleh Tutik, seorang warga negara Indonesia yang menerima hukuman mati di China pada 2011. Tutik menjadi potret fenomena gunung es akan ancaman hukuman mati bagi buruh migran. Data dari Kementerian Luar Negeri Indonesia menyebut jumlah WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri hingga 18 Oktober 2021 sebanyak 206 orang, 39 di antaranya adalah perempuan. Mereka adalah buruh migran Indonesia.
Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) merupakan jaringan yang terdiri dari 32 organisasi masyarakat dan 57 individu lintas profesi. Melalui pernyataan sikapnya, JATI menuntut pemerintah Indonesia menghapus hukuman mati dari hukum pidana nasional. Pemerintah Indonesia juga diminta memberikan perlindungan kepada buruh migran Indonesia dengan menyelamatkan mereka dari hukuman dan eksekusi mati.
JATI berpandangan bahwa perlindungan buruh migran Indonesia terhalang politik diplomasi di tengah penerapan hukuman mati di Indonesia. Bahkan dalam RKUHP versi 4 Juli 2022, pemerintah masih mempertahankan hukuman mati. Padahal sebagai upaya dekolonisasi, hukuman mati harus dihapuskan dalam hukum nasional di Indonesia.
Selain itu, dalam vonis hukuman mati di Indonesia kerap kali menihilkan prinsip fair trial, seperti prinsip kehati-hatian. Di sini hakim berhak memastikan pendampingan terhadap terdakwa berjalan dengan maksimal, bukan sekadar memberikan putusan semata. Bahkan dalam diskursus terbaru, praktik hukuman mati adalah tindakan penyiksaan. Ini ditunjukkan dengan fenomena deret tunggu yang mempengaruhi mental dan psikologis terdakwa akibat penundaan berkepanjangan terhadap eksekusi mati yang bertumpuk dengan kondisi di dalam fasilitas penahanan yang buruk.
Lebih lanjut, dalam pernyataan sikapnya, JATI menagih konsistensi pemerintah dalam implementasi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Konsisten mensosialisasikannya kepada penegak hukum sehingga dalam penanganan kasus buruh migran, terutama buruh migran perempuan, memperhatikan unsur-unsur TPPO sejak awal proses hukum.
Baca Juga: Krisis Corona: Belajarlah pada Pekerja Migran Indonesia
JATI juga meminta pemerintah untuk segera mengkaji kebijakan lain yang kontradiktif dengan kebijakan TPPO. UU Narkotika, misalnya, yang banyak mengorbankan buruh migran berhadapan dengan hukuman mati. Selain itu, JATI meminta pemerintah Indonesia memberikan perlindungan maksimal untuk segera membebaskan buruh migran yang menghadapi eksekusi mati di Indonesia yaitu Mary Jane Veloso dan Merri Utami. Kepada Mary Jane Veloso, setidaknya pemerintah memberikan ruang untuk bersaksi atas kasus TPPO yang sedang diperiksa oleh penegak hukum di Filipina. Kepada Merri Utami setidaknya pemerintah mengabulkan permintaan grasi yang sudah diajukan sejak 6 tahun lalu. [Nur Azizah]