Titik Nol Perempuan di Rumpin
Kesendirian adalah suatu pilihan sekaligus konsekuensi yang di pilih oleh Firdaus, tokoh utama dalam novel Perempuan di Titik Nol karya Nawal El-Saadawi yang baru saya tandaskan. Sebuah kesan yang akan selalu ditemukan dalam berbagai karya yang mengandung eksistensialisme seperti juga yang dapat kita lihat dalam novel Orang Asing karya Albert Camus.
Ide tentang kesendirian ini mengandung sesuatu yang paradoksal, bagaimana kesunyian menawarkan kesepian, namun dalam kesepian tersebut kita menemukan diri yang otentik, yang merupakan sebuah tujuan hidup yang ditawarkan oleh eksistensialisme. Bahwa respon-respon perasaan frustrasi terhadap keadaan adalah bagian dari bad faith, sebuah kesadaran semu, yakni sebuah keadaan yang mana kita merasa bahwa kita terkunci dalam suatu keadaan norma yang sebenarnya kita bisa lampaui, sebuah ruang yang dapat kita jajaki—yang sudah pasti merupakan ruang yang sunyi.
Firdaus dalam novel tersebut melewati batas-batas mental tersebut, terlepas dari kontroversi yang disampaikan penulis melalui senandika Firdaus, yang menyatakan dengan keras bahwa.. “Kini saya sadari bahwa yang paling sedikit diperdayakan dari semua perempuan adalah pelacur, perkawinan adalah lembaga yang dibangun di atas penderitaan yang paling kejam untuk kaum wanita” di sisi lain kita merasakan bahwa Firdaus adalah orang gila namun di sisi lain kita menemukan diri bahwa kegilaan itu mengandung kebenaran. Bahwa ‘pilihan’ Firdaus untuk muak, mengangkat tangannya dan membunuh laki-laki mengandung kebenaran.
Selalu ada berbagai macam perspektif yang berkelebatan dalam pikiran mengenai konsep kegilaan ini, atau sebuah jalan sunyi seorang ‘pahlawan’ setidaknya untuk diri sendiri, ini merupakan sebuah kekuatan sastra untuk mengulik hal-hal yang ada di bawah dari apa yang disebut dengan ‘hal-hal publik’.
Pada kutipan lain yang disampaikan oleh Firdaus yang menyatakan sikap protesnya pada institusi perkawinan buatan laki-laki yang dibuat untuk menghukum dan menipu perempuan, itu gila, sekaligus benar untuk berbagai hal yang ditutup-tutupi di bawahnya.
Terdapat relasi kuasa, meminjam istilah Gramsci, terdapat hegemoni yang tak terbantahkan. Dan hubungan konfliktual yang tak terbantahkan ini tidak hanya ada dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki namun juga masyarakat dan pemerintahnya.
Di luar tokoh fiktif Firdaus yang diceritakan bahwa Ia hidup di Mesir, hal yang sama pun terjadi pada seorang perempuan yang bernama Bu Neneng yang merupakan aktivis sengketa agraria warga Rumpin, Bogor yang bukan melawan institusi pernikahan namun melawan institusi pemerintah, melawan usianya yang tidak lagi muda, tidak berpendidikan tinggi, namun terus berjuang membela haknya bersama lembaga bantuan hukum, maupun melalui organisasinya SERUNI (Serikat Perempuan Indonesia) cabang daerahnya.
Saya memang tidak bisa bertemu dengan Firdaus, tapi saya berkesempatan bertemu dengan Bu Neneng dan tinggal beberapa hari dalam sebuah agenda penelitian bersama beberapa anggota organisasi literasi kampus yang saya ikuti, PUSDIMA (Pusat Studi Mahasiswa) Universitas Negeri Jakarta pada awal bulan Januari 2020 ini.
Saya ikut bersamanya dalam menjalani keseharian, mendengar cerita lucu dan mirisnya dalam aktivitas memperjuangkan tanah leluhurnya, dari sekedar jadi bahan omongan tetangga karena ‘keaktifannya’, bagaimana Ia di intimidasi selain oleh pemerintah terkait perjuangan tanah leluhurnya, tetapi juga karena idealismenya dalam memperjuangkan masyarakat di daerahnya yang dimanfaatkan oleh calo hukum dan Ia menghimpun koleganya sekaligus Ia sebagai perwakilan mendampingi korban sampai kasus tersebut tuntas, hingga beradu mulut dengan seorang necis di sebuah tempat sholat di daerah Kuningan, Jakarta ataupun sikap acuh-tak acuh dari lingkungan keluarganya. Begitu banyak hal yang sering kali muncul dari sikap masyarakat yang di belanya, seakan mengatakan, “buat apa?”, “sampai kapan?”, “apakah perlu?”, “apakah mampu?”, dan lain sebagainya.
Seperti yang saya temui dari Firdaus. Saya menemukan sebuah, kesunyian, kegilaan, namun juga seorang diri perempuan yang utuh sebagai manusia. Kesadaran akan relasi kuasa, hegemoni pemerintah, yang tidak disebutkan dalam bahasa yang akademis namun terasa dalam perjuangannya. Baik Firdaus maupun Bu Neneng, sama-sama memiliki pendidikan yang rendah, Bu Neneng lulusan Sekolah dasar dan Firdaus lulusan sekolah menengah.
Beberapa dari sekian banyak yang memilih menjadi otentik, mungkin tanpa pernah bertemu dengan tulisan Simonne de Beauvoir ataupun Jean Paul Sartre. Namun sayangnya banyak yang memiliki pendidikan tinggi, memiliki pengetahuan bahkan ilmu tentang hubungan kompleks yang konfliktual antara perempuan dan laki-laki, maupun antara pemerintah dan rakyatnya, namun memilih untuk melakukan bad faith, meyakini “keyakinan buruk” bahwa aturan yang ada di dalam masyarakat merupakan konstruksi masyarakat yang tidak bisa diubah atau dikonstruk ulang, pasrah terhadap penindasan diri maupun masyarakatnya. Alih-alih memilih menjadi otentik, banyak yang memilih untuk tenggelam dalam frustrasi, diam, dan tidak menjadi diri yang utuh dan membuang idealismenya.
Penulis: Nila Rosyidah
Penulis aktif di kegiatan studi kemahasiswaan kampus dan teater kesenian