Sri Asih, Sosok RA Kartini di Masa Sekarang

 Sri Asih, Sosok RA Kartini di Masa Sekarang

Sumber: Unggahan akun resmi @sriasihmovie.official

Oleh: Riza Maharani

Sri Asih, salah satu film yang sedang ramai diperbincangkan. Film box office Indonesia yang digarap Upi Avianto ini berhasil merebut hati penonton sejak penayangan perdananya. Hadir di seluruh bioskop Indonesia sejak Kamis (17/11/2022).

Biasanya film superhero akan mengangkat aktor sebagai pemeran utamanya. Meski tidak dalam semua seriesnya, tetapi lakon laki-laki tetap mendominasi. Seperti pada beberapa series Marvel terdahulu. Mulai dari Captain America, Hulk, Iron Man, Spiderman, hingga Black Panther. Alasannya tak lain karena laki-laki dirasa lebih pantas memerankan genre aksi dilihat dari segi masculinity mereka.

Selama ini perempuan selalu menjadi pemeran pendukung, pilihan kedua, bahkan tak jarang hanya sebagai pemain figuran. Masyarakat sudah kental dengan stigma bahwa perempuan adalah makhluk lemah, cengeng, emosional, dan play victim. Menurut Handry Santriago, dalam pidatonya di TED x Bandung, orang cenderung akan bertumbuh dan bergerak sesuai dengan bagaimana mereka diperlakukan, entah itu positif maupun negatif. Tanpa sadar ekspektasi mereka akan memengaruhi dan membangun karakter dirinya secara langsung di masa depan, tanpa terkecuali.

Hal ini diperkuat dengan pernyataan Alvin (1999), bahwa ketika seseorang mengalami proses adaptasi, perilakunya diwarnai kontradiksi antara toleransi terhadap kondisi yang menekan dan perasaan ketidakpuasan sehingga orang akan melakukan proses pemilihan dengan dasar pertimbangan yang rasional antara lain memaksimalkan hasil dan meminimalkan biaya.

Hadirnya Sri Asih diharapkan sedikit mampu mengubah stigma yang berkembang. Memberikan cara pandang baru terkait bagaimana semestinya para perempuan ingin dipandang. Tak lain karena adanya tuntutan kesetaraan gender yang tak kunjung bisa dipenuhi di semua aspek. Kesetaraan gender yang diinginkan bukanlah perihal siapa yang lebih baik, laki-laki atau kaum perempuan. Melainkan hanya sebatas mendapat perlakuan yang sama, pemenuhan hak-hak, maupun perlindungan dari diskriminasi.

Baca Juga: Dari Film Tilik: Memahami Makna Gosip

Melalui Sri Asih, Upi berhasil menjawab tantangan yang dilontarkan Joko Anwar, sutradara film Gundala, setelah kesuksesanya dengan series pertama Bumi Langit Cinematic Universe. Dengan epik, sutradara perempuan ini mampu melebihi ekspektasi yang dimiliki para penonton. Terbukti sejak hari pertama ditayangkan, Sri Asih telah mendapat rating yang bagus. Alur cerita yang dikemas dengan rapi, halusnya transisi cerita, serta visual effect atau computer generated imagery (CGI) yang matang membuat film ini terlihat mahal.

Dalam film ini dikisahkan seorang perempuan melawan kejahatan dengan kekuatan yang dimilikinya. Kekuatan ini diperoleh dari Dewi Asih atau dewi kebijaksanaan, yang diturunkan secara turun temurun. Hingga tiba kekuatan ini direinkarnasikan kepada sosok gadis kecil bernama Alana. Dirinya lahir bersamaan dengan meletusnya gunung merapi yang menewaskan kedua orang tuanya. Semasa kecilnya, Alana tinggal di panti asuhan yang kemudian dibesarkan oleh orang tua angkat.

Seiring berjalannya waktu, Alana dilatih menjadi petarung profesional karena kekuatan yang dimilikinya. Di lain sisi, dia belajar mengendalikan emosi karena kekuatannya tidak dapat disalurkan untuk melampiaskan amarah atau sekadar membalas dendam. Pada pertengahan cerita, Alana berhasil melewati itu semua dengan bantuan Gala dan neneknya. Di sini dia bertemu dengan teman masa kecilnya. Tangguh namanya, berprofesi sebagai reporter dan membantu Alana menginvestigasi kejahatan yang terjadi.

Tangguh yang tinggal di kawasan kumuh terpaksa harus bertemu dengan para preman yang menindas kaum bawah. Alana yang menyaksikan ini, ikut angkat bicara. Mengingatkan Tangguh akan sesosok perempuan pemberani yang menolong dirinya dulu.

“Kalau ada yang menindasmu, lawan! Kau harus tangguh seperti namamu,” ucap Alana.

Hingga pada akhirnya, Alana berada pada fase tertinggi yang mana dapat berkomunikasi dengan sang dewi dan menguasai kekuatan di dalam dirinya.

Baca Juga: Riset: Film dengan Protagonis Perempuan Raup Pendapatan Lebih Banyak

Hal ini erat kaitannya dengan pesan yang ingin disampaikan sutradara melalui karyanya. Meskipun dogma yang beredar di masyarakat mengatakan perempuan adalah makhluk lemah dan emosional, nyatanya tidak demikian. Perempuan di luar sana, khususnya perempuan Indonesia, berusaha sebaik mungkin mengendalikan diri untuk mencapai keseimbangan. Bukan hanya melatih kekuatan fisik, tetapi pikiran dan jiwa. Ini merupakan pencapaian yang patut diapresiasi karena perempuan telah berhasil mencapai seni tertinggi di pengendalian emosi. Tak lain tak bukan adalah keberhasilan melawan ego diri sendiri.

Pemain utama Sri Asih, Pevita Pearce mampu membuktikan hal itu selama 3 bulan terakhir. Dirinya giat berlatih bersama Eko Uwais dan timnya, terutama untuk scene bertarung. Hampir semua adegan berbahaya dia lakukan sendiri tanpa bantuan pemeran pengganti. Meski belajar dalam waktu singkat, acting, dan skillnya terbilang cukup bagus. Tidak itu saja, Pevita Pearce juga menunjukkan kepiawaian dan keluwesannya dalam scene menari.

Sri Asih, bisa dibilang sosok RA Kartini masa kini yang diharapkan mampu memperluas sudut pandang masyarakat. Bukan hanya kaum tua atau lelaki, tetapi juga bagi kaum perempuan. Untuk berani menyuarakan dengan lantang apa yang mereka rasakan. []

 

Mahasiswa tingkat akhir di Institut Pertanian Bogor (IPB) yang tertarik menulis artikel di bidang entertainment, olahraga, dan berita terkini yang sedang hangat

 

Sumber:

https://youtu.be/73QGsgt71C0 diakses pada 22 November 2022

Helmi AF (1999). Beberapa Teori Psikologi Lingkungan. Diakses pada 22 November 2022 dari Journal.ugm.ac.id

 

 

 

Digiqole ad