SIAPAKAH KORBAN DALAM RUU KUHAP?

Oleh : Siti Aminah Tardi
Terdapat 80 kata “Korban” dalam RKUHAP, yang tersebar dalam rumusan definisi korban, proses pemeriksaan di setiap tingkat pemeriksaan dan hak korban. Perlu diketahui bahwa pada saat ini Pemerintah dan DPR RI tengah membentuk undang-undang hukum acara pidana untuk menggantikan UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP).
Berbeda dengan RKUHAP sebelumnya, RKUHAP kini menjadi usul inisiatif DPR dengan naskah akademik dan RUU KUHAP yang telah dipublish pada Februari 2025. Sebagaimana kita ketahui bahwa hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau melaksanakan hukum pidana materiil. Karenanya, kemudian pembahasan RKUHAP ditargetkan segera selesai dan diterapkan bersamaan dengan KUHP 2026.
RKUHAP mendefinisikan korban sebagai “seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana” (Pasal 1 Angka 41). Tidak terdapat definisi apa yang dimaksud dengan “seseorang”, sehingga secara sederhana dapat dimaknai sebagai orang (natuurlijk persoon) pemangku hak dan kewajiban hukum.
Bandingkan dengan pengertian korban dalam Deklarasi Hak Korban (1985) yang mendefinisikannya sebagai “persons who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within Member States, including those laws proscribing criminal abuse of power” (paragraf 1). Korban tidak hanya bersifat individu tetapi juga secara bersama atau kolektif. Ini berarti, korban tindak pidana tidak melulu perseorangan, tetapi juga kumpulan orang seperti komunitas atau masyarakat hukum adat.
Pada paragraf berikutnya dinyatakan bahwa korban tidak hanya terbatas pada individu yang mengalami kejahatan secara langsung, tetapi juga mencakup keluarga dekat, tanggungan korban, serta individu yang mengalami kerugian akibat membantu korban. Mereka berhak memperoleh perlindungan dan hak yang sama seperti korban langsung tindak pidana, yaitu hak atas akses ke keadilan dan perlakuan yang adil (access to justice and fair treatment), hak atas restitusi dan hak kompensasi serta hak atas bantuan.
Tidak sesuainya definisi korban ini, akan menyebabkan beberapa hal yang berkaitan tentang hak korban. Seperti;
Pertama, tidak memenuhi keseimbangan kepentingan negara, kepentingan masyarakat, dan kepentingan individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan yang digariskan dalam KUHP dan RKUHAP. Sebagai ilustrasi korban tindak pidana pembunuhan, korban tidak hanya yang tewas dibunuh, tetapi juga meliputi keluarga dan masyarakat, yang dalam konteks hukum pidana adat mengalami kegoncangan kosmis yang harus dipulihkan. Upaya memulihkan keseimbangan kosmis dilakukan melalui pemenuhan kewajiban adat, seperti melalui upacara adat atau ritus tertentu.
Kedua, Tidak berkesesuaian dengan sejumlah aturan dalam KUHP terkait dengan ketentuan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), di mana dalam alam kesadaran masyarakat hukum adat, korban dan pelaku tidak hanya bersifat indivdu, tetapi kolektif. Sanksi dan pemulihannya tidak hanya ditujukan kepada korban langsung, tetapi juga keluarga dan komunitas adatnya. Padahal percepatan pembahasan RKUHAP adalah untuk melaksanakan KUHP, namun tidak terdapat keterhubungan pengaturannya dengan hukum pidana adat dan hak-hak masyarakat hukum adat.
Ketiga, Tidak ada jaminan hak keluarga korban atau tanggungan korban yang dinyatakan secara tegas karena definisi korban hanya dibatasi pada direct victim. Upaya menjamin hak keluarga korban atau yang menjadi tanggungan korban dinyatakan dalam naskah akademik yaitu: “Dalam hal korban meninggal dunia dan korban tersebut merupakan pencari nafkah, negara bertanggung jawab untuk memberikan ganti terhadap keluarga korban” (DPR, hlm 35) yang merujuk pada lembaga “dana abadi”, namun tidak terdapat ketentuan ekplisit terkait hak keluarga korban yang menjadi tanggungan. Tidak terdapat hak dari seseorang yang menjadi tanggungan korban.
Keempat, hak yang dijamin untuk korban yang dapat beralih kepada ahli waris korban hanya sebatas pada hak restitusi atau ganti kerugian. Namun hak atas akses ke keadilan dan perlakuan yang adil, dan bantuan khususnya kelompok rentan tidaklah dijamin. Bandingkan dengan UU TPKS yang menjamin hak keluarga korban meliputi hak atas informasi, hak atas kerahasiaan identitas, dan hak atas keamanan pribadi.
Hak lainnya meliputi hak untuk tidak dituntut pidana dan tidak digugat perdata, hak mendapatkan penguatan psikologis dan hak atas pemberdayaan ekonomi serta hak untuk mendapatkan dokumen kependudukan dan dokumen pendukung lain yang dibutuhkan oleh Keluarga Korban (Pasal 71). Sementara untuk anak atau anggota Keluarga lain yang bergantung penghidupannya kepada Korban atau orang tua berhak atas: fasilitas pendidikan, layanan dan jaminan kesehatan dan jaminan sosial. (Pasal 71).
Lantas, apa yang harus dilakukan? Untuk memastikan jaminan hak korban dan keluarga korban, maka saya merekomendasikan agar;
- Definisi korban diperluas sesuai dengan rekomendasi Deklarasi Hak Korban, atau memberikan definisi tambahan “seseorang” yang didalamnya meliputi pula kumpulan orang, korporasi, badan hukum dan masyarakat hukum adat
- Mengatur hak keluarga korban
- Jenis hak tidak terbatas pada restitusi, tetapi juga meliputi hak-hak yang juga diterima oleh korban langsung dan mendapatkan pemenuhan kewajiban adat
- Ditentukan pelaksana pemenuhan hak korban, saksi, dan keluarga korban sehingga dapat dioperasionalkan dan
- disediakannya mekanisme komplain dalam hal hak-hak korban tidak dipenuhi atau dilanggar oleh negara.
Dengan masih harus dilakukan penajaman, sinkronisasi dan harmonisasi dengan berbagai peraturan perundang-undangan maupun rekomendasi internasional, maka sebaiknya pembahasan RKUHAP tidak dilakukan secara terburu-buru, untuk mengejar target berlaku bersama dengan KUHP. Lebih baik menyusul KUHP, dengan pembahasan yang partisipatif termasuk dengan mendengarkan pengalaman dari pedamping korban sehingga KUHAP mendatang, keberterimaannya dalam masyarakat dan aparat penegak hukum akan baik dan korban terlindungi dan terpulihkan.
Siti Aminah Tardi, Advokat Publik dan Direktur Eksekutif Indonesian Legal Resource Center (ILRC)
Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya, “Urgensi Jaminan Hak Korban dalam RUU KUHAP”
