Pentingnya Perlindungan Korban Kekerasan Seksual Melalui Revisi UU ITE

 Pentingnya Perlindungan Korban Kekerasan Seksual Melalui Revisi UU ITE

Ilustrasi: Canva.com

 

JAKARTA, JALASTORIA.ID -, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah undang-undang yang sering disebut sebagai peraturan karet. Terbukti, Undang-undang ini dapat digunakan untuk mengkriminalisasi korban kekerasan seksual dan orang-orang yang menyuarakan kritik di media sosial. Salah satu contohnya dalam kasus kekerasan seksual, adalah kasus Baiq Nuril, korban pelecehan seksual yang malah dikriminalisasi karena ia ‘menyimpan’ bukti-bukti untuk membela dirinya. Yang mana ‘menyimpan’ ini termasuk dalam unsur yang ada dalam pasal 27 ayat 1 UU ITE yaitu ‘membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan’.

Tentu, kasus Baiq Nuril ini menjadi pembelajaran bagi siapapun yang mengetahui kasusnya, termasuk menjadi perhatian khusus bagi korban Kekerasan Seksual Berbasis Online (KBGO). Sebagaimana diungkapkan oleh Uli Pangaribuan, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) dalam acara “Webinar Perlindungan Korban Kekerasan Seksual melalui Revisi UU ITE” (Selasa, 20/4). Menurut Uli, korban rata-rata menjadi takut untuk melapor karena khawatir dengan ancaman pelaku yaitu dapat mengkriminalisasikan korban melalui UU ITE.

Pasal 27 ayat (1) UU ITE menjadi sorotan utama dalam webinar yang diadakan oleh Indonesia Judicial Research Society (IJRS) tersebut karena pasal ini merupakan pasal yang  biasa digunakan untuk mengkriminalisasikan korban kekerasan seksual. Adapun bunyi pasal tersebut yaitu:  “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.

Apa saja sih masalah dari penerapan Pasal 27 ayat (1) ini? Sebagaimana disampaikan oleh para narasumber dalam webinar tersebut, berikut ini uraiannya ya:

  1. Definisi kesusilaan tidak jelas, sehingga bisa menjerat hubungan privat yang konsensual

Menurut Maidina, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), definisi kesusilaan dalam UU ITE tidak jelas merujuk ke pasal mana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana  (KUHP). Justru, unsur-unsur yang ada dalam UU ITE bertentangan dengan aturan dalam KUHP sendiri. Dalam KUHP, terdapat unsur-unsur “sengaja terbuka/di muka umum” (Pasal 281 angka 1) yang jelas menyasar pelaku di ranah publik. Sedangkan dalam UU ITE, terdapat unsur “mentransmisikan” dan “membuat dapat diakses satu pihak.” Hal ini justru berpotensi mengkriminalisasikan orang-orang yang melakukan hubungan intim di ranah privat, termasuk pasangan legal karena telah menyimpan foto atau video kegiatan seksualnya. “Contohnya dalam kasus artis GA, misalkan pun GA menyimpan dokumen elektronik kegiatan hubungan intim dengan suaminya, tetap bisa kena pidana. Karena Pasal 27 ayat (1) tidak melindungi korespondensi pribadi yang mana itu adalah hubungan privat, dan konsensual.”

Dalam KUHP pun, nilai kesusilaan harus disesuaikan dengan konteks, tergantung pada lokus atau tempat terjadinya perbuatan, dihubungkan dengan nilai kesusilaan masing-masing tempat, sementara internet bersifat luas tanpa batas/borderless.

Dedo Ekroni (kemenkopolhukham) pun mengungkapkan bahwa Pasal 27 ayat (1) ini sangat karet dan sangat lentur. “Kita jadi tidak bisa melindungi orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut karena ada pengaruh daya paksa, kekerasan , ancaman, tipu daya, atau penyesatan. Jadi semuanya sangat karet. Misal dia tidak kena UU ITE Pasal 27 ayat (1) , dia bisa kena UU Pornografi, atau Pasal 26 ayat (1) KUHP.”

  1. Unsur-unsur Pasal 27 ayat (1) UU ITE bertentangan dengan UU Pornografi

UU Pornografi telah melarang untuk memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, dan/atau menyediakan pornografi. Dalam definisinya, pornografi sudah meliputi gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Dalam UU Pornografi, larangan “membuat”, “memiliki”, “menyimpan” dikecualikan untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Sedangkan dalam UU ITE, hal tersebut dapat dijerat unsur “membuat dapat diakses” walaupun untuk kepentingan pribadi dan konsensual.

  1. Rujukan UU ITE: Buddhapest Convention

Buddhapest Convention hanya mengatur tindak pidana kesusilaan yang terjadi pada anak. Ketentuan ini sudah difasilitasi dalam UU Pornografi Pasal 4 huruf f.

 

Selain ketiga catatan di atas, terdapat beberapa usulan narasumber terkait Revisi UU ITE, yaitu:

  1. Untuk penyebaran konten melanggar kesusilaan yang bertujuan untuk melindungi ‘kepentingan publik’ telah diatur di UU Pornografi, kalaupun masih harus diatur dalam UU ITE, harus dipastikan tidak menjerat korespondensi privat apabila penyebarannya tidak dikehendaki.
  2. Pada korespondensi privat, ada yang harus dilindungi yaitu korban KBGO, konten melanggar kesusilaan didistribusikan/ditransmisikan dalam ruang privat, tanpa konsen (dengan ancaman/paksaan).
  3. Pengecualian ‘membuat’, ‘memiliki’, ‘menyimpan’ bagi korban perlu diatur.
  4. Pelapor haruslah seseorang yang dirugikan secara langsung. [ANHS]
Digiqole ad