Nyala Sirine Tanda Menentang Kekerasan terhadap Perempuan dalam Pemilu
JAKARTA, JALASTORIA.ID – Pagi itu, Selasa (29/11/2022), suara sirine menyala dari selasar Gedung Nusantara II DPR/MPR RI. Suara sirine itu seturut dengan pernyataan sikap parlemen dalam menentang kekerasan terhadap perempuan dalam pemilu.
Penyalaan sirine itu menandai komitmen dari perwakilan sembilan fraksi DPR dan perwakilan DPD RI untuk menentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di pemilu. Gaungnya menjadi tanda dari parlemen untuk memecah keheningan kasus kekerasan terhadap perempuan dalam politik. Suara yang menggambarkan sikap parlemen, membangunkan semua pihak untuk ikut berpartisipasi melawan kekerasan terhadap perempuan dalam politik.
Selain itu, Anggota parlemen yang hadir juga menandatangani Deklarasi Parlemen untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dalam Pemilu. Sylviana Murni, Anggota DPD RI dari DKI Jakarta, membacakannya.
“Kami, anggota DPR dan DPR Republik Indonesia, hadir dan berkumpul pada diskusi publik “Aksi Parlemen Melawan Kekerasan terhadap Perempuan dalam Pemilu” mendorong partisipasi perempuan dan akses yang setara di dalam posisi kepemimpinan politik dan pengambilan keputusan. Kami mengecam setiap tindakan atau ancaman kekerasan berbasis gender yang menghalangi perempuan untuk menggunakan haknya yang setara dalam politik.”
“Dengan ini kami melawan segala bentuk tindakan kekerasan terhadap perempuan di ranah daring (online) dan luring (offline),terutama pada saat Pemilu dan Pilkada. Kami menyerukan semua lembaga politik dan masyarakat untuk segera memastikan perlindungan terhadap perempuan dari segala bentuk tindak kekerasan sebagai warga negara yang turut aktif berpartisipasi dalam proses pemilu di tahun 2024.”
Baca Juga: Politik Hukum Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia
Data peringkat bulanan perempuan di parlemen yang dihimpun Inter Parliamentary Union (IPU) pada 1 November 2022 menunjukkan Indonesia berada di peringkat 106 dari 187 negara. Dari total 575 kursi, perempuan menduduki 126 kursi atau sekitar 21,9%.
Ketua Presidium Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia Diah Pitaloka mengatakan politik menjadi ruang yang menantang bagi perempuan. Ruang yang memicu pertanyaan banyak orang tentang ruang aman dari kekerasan. Padahal, kata Diah, dari obrolan dengan politisi perempuan, tak sedikit yang pernah mengalami kekerasan.
“Kekerasan itu kan tidak hanya fisik, tapi hampir semua politisi perempuan, kalau sering ngobrol, itu punya pengalaman diunderestimatekan. Kita seringkali dianggap tidak pantas menempati posisi tertentu atau dianggap diragukan kemampuannya, bener enggak perempuan mampu,” terang Diah saat membuka Aksi Parlemen Melawan Kekerasan terhadap Perempuan dalam Politik Sebagai bagian dari Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP), Selasa (29/11/2022).
Perempuan parlemen juga berhadapan dengan stereotip. Dianggap tidak pantas menjadi pemimpin, bahkan tidak punya kapasitas untuk mengendalikan emosi.
“Saya pikir ini juga hal-hal yang sebetulnya tidak pas apabila di momentum sekarang itu masih ada cara pandang stereotip atau diskriminasi seolah-olah menjadi kewajaran,” jelasnya.
Baca Juga: MPI Dorong DPR RI Kawal Tuntas Keterwakilan Perempuan di KPU dan Bawaslu
Secara umum peningkatan representasi politik perempuan seturut dengan peningkatan kekerasan terhadap perempuan dalam politik (Violence Against Women in Politic/VAWP). VAWP adalah salah satu kendala paling serius terhadap terpenuhinya hak politik perempuan saat ini.
“Di tengah hiruk pikuk pesta demokrasi kita, tentu tidak ingin ada suara yang tidak keluar. Suara mereka yang mengalami tindak kekerasan dan tiba-tiba merasa sendirian di tengah kerumunan,” tutur Diah.
Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) sekaligus menjadi momentum bagi Kaukus Perempuan Parlemen RI, mengabarkan kepada perempuan di luar sana untuk berani menjadi representasi perempuan. Menyerukan bahwa politik adalah ruang yang tidak diskriminatif sekaligus ramah terhadap partisipasi perempuan.
“Penting sekali untuk kita siarkan. Penting sekali untuk kita declare bahwa kita menolak setiap bentuk kekerasan termasuk juga dalam kontestasi kekuasaan, dalam setiap bentuk elektoral: Pemilu, Pilkada, Pilkades,” tegas Diah.
Ia mengingatkan, penolakan terhadap segala bentuk kekerasan agar menjadi nilai-nilai yang hidup dalam demokrasi Indonesia. Demikian pula nilai anti diskriminasi.
“Ini harus selalu harus kita garisbawahi. Ini sangat substantif, anti diskriminatif. Ini soal dignity, menghargai martabat orang.”
Diah mengingatkan, seringkali banyak pihak meremehkan nilai-nilai yang merupakan hal yang substantif dalam demokrasi. Banyak pihak terjebak dalam kompetisi yang makin lama makin jauh dari nilai yang sebetulnya menjadi nilai landasan-landasan filosofi demokrasi, pungkasnya. [Nur Azizah]