oleh Lena Sutanti
“Ini motif gunung ringgit atau tumpukan koin, simbol kemakmuran”. Terang Ibu Yanti (bukan nama sebenarnya) sembari mengelus kain batik, memperlihatkan salah satu motif yang bermakna kemakmuran. Ibu Yanti adalah salah satu pembatik perempuan yang saya temui di Lasem, Rembang.
Saya dan kawan-kawan menyusuri jalanan Lasem yang kala itu sedang panas terik karena pancaroba. Keringat kami bercucuran, berkelahi dengan krisis iklim. Lasem, kota pelabuhan dan perdagangan rempah masa lalu ini merupakan salah satu tempat produksi batik tulis di Indonesia. Kami singgah ke Rumah Batik Ananda (bukan nama sebenarnya) dan bertemu dengan ibu-ibu pembatik.
Lilin hangat dengan wangi khasnya mengalir dari canting ke kain putih membentuk pola-pola rumit penuh irama. Tangan-tangan tangguh perempuan pembatik itu menyuarakan pesan-pesan sunyi penuh ironi. Perempuan memegang peranan penting sebagai aktor utama pewaris batik dari generasi ke generasi.
Proses membuat batik sendiri perlu ketelitian, kesabaran, dan fokus tinggi. Kalau di Rumah Batik Ananda ini, satu lembar kain bisa selesai dalam waktu 3 hingga 4 bulan pengerjaan karena banyak tahap yang harus dilakukan berulang-ulang. Dimulai dari membuat pola, isen-isen (mengisi bidang kosong), dan nerusi (membatik kembali permukaan kain yang sudah dibatik). Proses selanjutnya adalah nembok (menutupi bagian kain yang tidak ingin diwarnai dengan lilin batik khusus), mewarnai, dan nglorot (menghilangkan lilin).
Setiap pagi, para perempuan pembatik sudah harus sampai ke rumah batik. Dulu, mereka naik sepeda ontel, sekarang diantarjemput oleh pasangan atau anaknya. Para ibu pembatik ini berasal dari Desa Tuyuhan, Pancur, kecamatan di sebelah Lasem. Menorehkan lilin ke kain putih itu sejak pukul 07.00 pagi hingga 16.00 sore, istirahatnya hanya ketika makan dan ibadah salat.
“Sehari, saya mendapatkan Rp50.000,- dan makan dua kali. Saya punya anak kecil, masih kelas 5 SD”, sambung Bu Yanti. Pembatik perempuan sejatinya belum makmur. Gaji yang mereka dapatkan dari membatik belum mencukupi untuk biaya kehidupan sehari-hari serta pendidikan anak. Ternyata, kehidupan perempuan pembatik di Lasem tidak semakmur makna motif batik yang mereka lukis.
“Harusnya penghasilannya ditambahi. Apalagi saya masih punya anak sekolah”, imbuh Bu Yanti. Batik terus diagungkan sebagai Warisan Budaya Tak benda. Sayangnya, para perempuan pembatik tidak mendapatkan upah yang memanusiakan atas keterampilan agung yang mereka torehkan dengan canting.
Lebih lanjut saya menyusuri jalanan Lasem, hanya ratusan meter dari Rumah Batik Ananda ke Rumah Batik Bintang (bukan nama sebenarnya). Wajah penuh ketenangan, alunan tangan yang lihai, dan mata yang awas seolah ingin berteriak lantang melalui karya-karya batiknya. Saya melihat mereka dengan penuh keikhlasan, kemantapan, dan keberanian, serta keanggunan. Merasakan tiap hembusan napas masuk dan keluar sambil menggerakkan canting. Saya mengingat kegiatan meditasi ketika para perempuan paruh baya hingga lanjut usia itu membatik di halaman belakang rumah yang sejuk. Tempat ini sungguh nyaman untuk bersembunyi dari teriknya Lasem yang menyengat kulit.
“Capek. Sakit ya … pusing, batuk, flu, dengkul (lutut) sakit. Nggak ada jaminan (kesehatan), Mbak”. Ucap Mbah Yuli (bukan nama sebenarnya) diikuti tawa dari perempuan pembatik lain, seolah hendak mengamini dan menguatkan kalimat yang dilontarkan Mbah Yuli.
“Membatik 7 hari (setiap hari), kalau ada acara baru libur, kalau hari raya juga libur. Kami membawa bekal (makanan) dari rumah”, lanjutnya. Orang-orang lanjut usia itu terpaksa bekerja seminggu penuh karena aturan ketat yang mengeksploitasi dari perusahaan. Meskipun para perempuan lansia pembatik itu melakukan pekerjaan dengan ikhlas dan gembira, hal tersebut harusnya bukan menjadi alasan untuk perusahaan absen dari kewajibannya memberikan hak dan upah yang layak, waktu istirahat yang cukup, dan jaminan kesehatan kepada para pekerja.
“6 orang (menghasilkan) 100 lembar kain selama 3 bulan. Ada 12 kain lebihan, dikasih ke Mbah-Mbah. Nggak semua orang mau beli. Jadi kami bantu untuk menjualnya di Arisan Batik di Surabaya”. Bisik Mbak Erna (bukan nama sebenarnya) yang merupakan pemandu wisata kepada kelompok wisatawan dari luar kota.
“Pengene anak saya kerja di pabrik sepatu saja”. Kata Mbah Ranti (bukan nama sebenarnya). Pembatik lansia itu tidak ingin anaknya memiliki profesi seperti dirinya karena pendapatan yang kurang dan kesehatan tidak diperhatikan oleh tempat kerja.
Para pembatik selain melestarikan budaya, mereka juga memperkenalkan dan mengabadikan kekayaan flora dan fauna, serta memberikan pesan perdamaian kepada masyarakat menggunakan karya dan simbol-simbol yang mereka torehkan pada kain. Membatik merupakan pekerjaan luhur dan pahlawan budaya.
Salah satu tumbuhan yang diabadikan dalam batik adalah latoh. Latoh merupakan rumput laut berwarna hijau, yang sering dikenal sebagai anggur laut, atau green caviar. Tumbuhan manis, asin, kenyal ini kerap ada di makanan lokal seperti urap latoh, plecing latoh, dan trancam latoh.
Kisah yang Sengaja Diasingkan
Kisah-kisah mengenai para pembatik perempuan selama ini belum banyak diberitakan oleh media. Media kebanyakan hanya mengelu-elukan batik sebagai warisan budaya, kekayaan Indonesia, keunikan, dan estetika. Tapi luput memperhatikan perjuangan seniman-senimannya (pembatik). Harga kain batik dijual sangat mahal, namun hampir semua keuntungan masuknya kepada rumah batik, sementara para seniman batik ini malah buntung. Ini merupakan sebuah masalah besar yang ditutup erat-erat. Eksploitasi kepada pembatik tidak patut terjadi dengan alasan apapun.
Sungguh sebuah ironi, pemerintah kerap menggaungkan untuk melestarikan batik dan mewariskan kemampuan membatik kepada generasi selanjutnya, namun kesejahteraan pembatik tidak dilirik. Padahal, budaya dan pelaku budaya merupakan kesatuan, apabila kita ingin menjaga suatu budaya, maka pelaku perlu diperhatikan dan diperlakukan dengan baik. Pembatik harus mendapatkan haknya atas upah yang layak, jaminan makanan dan kesehatan, waktu istirahat yang cukup, dan memberikan beasiswa kepada anak-anak mereka untuk menempuh pendidikan formal di sekolah.
Dalam berbagai perayaan Hari Kartini, Pembatik Lasem selalu disimbolkan sebagai penerus perjuangan Kartini, sebagai perempuan yang melestarikan budaya. Bahkan dalam beberapa diskusi, ada kekhawatiran Batik Tulis Lasem akan sulit ditemukan di masa depan, mengingat bahwa umur para pembatik banyak yang sudah memasuki lansia dan kurangnya regenerasi. Meski begitu, saya belum melihat upaya signifikan oleh pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Ketika para pembatik mendapatkan haknya, mereka akan sejahtera, percaya diri, dan dengan begitu mereka juga yakin untuk mewariskan keahliannya kepada generasi selanjutnya. Kesejahteraan pelaku budaya, khususnya pembatik membuat anak-anak mereka mampu memilih dengan kesadaran untuk belajar membatik sekaligus mempertahankan kesenian agung itu.
Akhirnya kami melanjutkan perjalanan balik, berpapasan dengan para pembatik perempuan yang dijemput oleh anak atau pasangannya. Saya, kawan-kawan, dan mbah-mbah saling melempar senyum sambil melambaikan tangan, begitu hangat. Waktu dan kesempatan telah mempertemukan saya dengan mbah-mbah tangguh pelestari warisan budaya. Semoga keuletan mereka makin menggema, dimaknai, dan bersuara lewat motif-motif yang mereka canting. Jangan sampai kurangnya koin membungkam orang berekspresi dengan seni.