Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah Politik
Kekerasan terhadap perempuan bisa terjadi di ruang profesi apa pun. Ruang politik sekalipun tidak serta merta menjamin keamanan bagi perempuan.
Survei Inter Parliamentary Union (IPU) pada 2016 menunjukkan 82% anggota parlemen perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan psikologi. Survei lainnya mengungkap 1 dari 5 perempuan parlemen juga pernah pernah mengalami kekerasan seksual di tempat kerja atau di parlemen dalam bentuk beragam mulai dari catcalling hingga tatapan lekat pada organ tubuh perempuan seperti betis, kaki, payudara, dan badan. Bahkan ada pula yang secara fisik memang mengalami serangan kekerasan.
Apa dan bagaimana kekerasan terhadap perempuan dalam politik?
- Definisi Kekerasan terhadap Perempuan dalam Politik
UN Women dalam UN Women and UNDP (2017) mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan dalam politik adalah setiap tindakan atau ancaman kekerasan fisik, seksual, atau psikologis yang menghalangi perempuan untuk menjalankan dan mewujudkan hak politiknya dan berbagai hak asasi manusia baik di ruang publik, privat, termasuk hak untuk memilih dan memegang jabatan publik, memilih secara rahasia, dan bebas berkampanye, berserikat, berkumpul dan menikmati kebebasan berpendapat dan berekspresi.
- Bentuk Kekerasan
Perempuan parlemen juga rentan mengalami kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi. Dalam hal kekerasan fisik perempuan parlemen bahkan bisa mengalaminya dalam berupa pembunuhan atau penculikan.
Kekerasan psikis yang rentan dialami perempuan parlemen adalah pembunuhan karakter, online abuse atau mengalami perundungan online.
Sementara kekerasan seksual yang bisa dialami perempuan di ruang politik berupa pelecehan seksual atau bahkan foto-foto korban (perempuan parlemen) dipermalukan di depan khalayak dengan alasan pornografi atau seksualitas. Ini biasanya digunakan oleh lawan politik calon perempuan parlemen.
Baca Juga: Nyala Sirine Tanda Menentang Kekerasan terhadap Perempuan dalam Pemilu
Adapun kekerasan ekonomi bisa berupa kehilangan alat kampanye dan properti publikasi. Kekerasan lainnya yang bisa terjadi pada calon perempuan parlemen adalah pencurian dan pengrusakan alat kampanye.
- Korban dan Pelaku
Kekerasan terhadap perempuan parlemen juga terjadi saat pencalonan. Di sini tidak saja calon anggota legislatif perempuan yang menjadi korban tapi juga menyasar keluarga kandidat, pengurus partai, para aktivis perempuan yang mendukung pencalonan. Kekerasan juga bisa menyerang kepada media yang mendukung kandidat tersebut.
Perempuan lebih rentan mengalami kekerasan. Ini dialami oleh perempuan muda calon parlemen atau kepala daerah, kandidat yang minoritas di wilayah pemilihan. Perempuan sering dianggap tidak mampu memimpin, dilekatkan stereotip yang ini semua dianggap hal biasa. Padahal itu adalah kekerasan terhadap perempuan di ranah politik.
Adapun pelaku bisa berada di ruang offline dan online. Mereka yang berpotensi menjadi pelaku seperti teman politisi, konstituen, para pemilih, bahkan anggota keluarga yang berseberangan pilihan.
- Tujuan Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah Politik
Kekerasan terhadap perempuan menyerang perempuan untuk dikecualikan dari ruang politik. Kekerasan di ruang politik juga bertujuan untuk menakut-nakuti perempuan dalam berpartisipasi, mengecam perempuan untuk tidak menunjukkan kemampuan dan sikapnya tanpa seizin pimpinan partai.
Di ruang ini kekerasan terhadap perempuan bertujuan untuk mengontrol dan menjegal perempuan dari akses kekuatan. Salah satunya dengan membuat perempuan parlemen terdiam, termasuk membatasi perspektif perempuan di dalam merumuskan kebijakan publik. Dari sinilah seringkali undang-undang menjadi bias, rentan diskriminasi, dan eksklusi karena mengabaikan suara perempuan.
Baca Juga: MPI Ingatkan Komitmen Timsel Penuhi Keterwakilan Perempuan di KPU dan Bawaslu
- PR Bersama Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah Politik
Menghapus kekerasan terhadap perempuan di dalam politik perlu dimulai dari rumah. Perlu pula melibatkan tokoh muda, tokoh agama, dan kerja bersama baik anggota legislatif, pengurus partai, sekretariat parlemen, maupun penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu.
Perlu dialog dengan partai dan sistem di ruang politik untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan dalam politik. Langkah ini perlu dilakukan agar bisa memberikan keselamatan dan keamanan bagi perempuan disabilitas maupun nondisabilitas untuk berekspresi baik di ruang pribadi, publik, maupun politik.
Selain itu, instrumen pencegahan kekerasan terhadap perempuan juga perlu terus didorong melalui partai politik. Bahwa partai politik seharusnya menciptakan ruang aman bagi perempuan. Partai politik harus tegas untuk bisa membuat aturan bahwa perempuan bisa mencalonkan diri, sekaligus menjamin perempuan dalam politik bebas dari segenap praktek pelecehan atau intimidasi.
****
Indonesia kini sedang memasuki tahun politik. Di sini kewaspadaan perlu ditingkatkan di mana pada tahapan kandidasi, bahkan tahapan lain, perempuan rentan mengalami kekerasan politik. Sebab itulah perlu kerja bersama untuk terus mengawal kandidat perempuan menuju ruang politik. [Nur Azizah]
Sumber:
Disarikan dari paparan para narasumber dalam diskusi panel bertajuk “Menciptakan Ruang Aman bagi Perempuan dalam Politik,” Selasa (29/11/2022) pada Aksi Parlemen Melawan Kekerasan terhadap Perempuan dalam Politik Sebagai bagian dari Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP)