Hari Konstitusi Republik Indonesia
Setiap tanggal 18 Agustus diperingati sebagai Hari Konstitusi Republik Indonesia. Hal itu seturut dengan penetapan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sebagai Konstitusi Negara, sehari setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Sebagaimana diketahui, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 telah menetapkan UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara Indonesia. Dilansir dari Kemdikbud.go.id (20/05/2019), PPKI diberi tugas untuk menyiapkan kemerdekaan Indonesia. PPKI dibentuk pada 7 Agustus 1945 setelah sebelumnya Jepang membubarkan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Sidang pada 18 Agustus 1945 merupakan sidang pertama PPKI, dengan salah satu hasil sidang yaitu mengesahkan UUD 1945.
Tanggal 18 Agustus ditetapkan sebagai Hari Konstitusi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, tepatnya pada 10 September 2008. Ini sebagaimana termaktub dalam Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2008 tentang Hari Konstitusi.
Regulasi tersebut menegaskan, bahwa pertama, tanggal 18 Agustus ditetapkan sebagai Hari Konstitusi. Kedua, Hari Konstitusi bukan merupakan hari libur. Ketiga, Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Baca Juga: Politik Hukum Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia
Konstitusi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah segala ketentuan dan aturan tentang ketatanegaraan. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dalam “Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia” menyatakan Konstitusi Negara Republik Indonesia adalah pengertian yang tercakup dan terkandung dalam keseluruhan sistem rujukan Pancasila dan UUD 1945 sebagai satu kesatuan sistem konstitusional yang tidak terpisahkan dan bersifat fundamental.
Pada era reformasi, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Melalui amandemen tersebut, nama UUD 1945 diubah menjadi Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Namanya jadi panjang ya… Tapi, tidak perlu khawatir, nama yang panjang itu tetap dapat disingkat kok, menjadi “UUD 1945”. Hal ini misalnya dapat dijumpai dalam berbagai putusan Mahkamah Konstitusi.
Salah satu perubahan yang cukup mendasar adalah penambahan sejumlah pasal yang mengatur hak asasi manusia. Dengan demikian, hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945 disebut sebagai hak konstitusional, baik yang berlaku bagi setiap orang dan penduduk maupun warga negara.
Kajian Komnas Perempuan mengidentifikasi setidaknya terdapat 40 hak konstitusional yang termaktub dalam UUD 1945. Ke-40 hak konstitusional tersebut dikelompokkan ke dalam 14 rumpun. Antara lain, hak bebas dari ancaman diskriminasi dan kekerasan serta hak atas kerja dan penghidupan yang layak. Demikian pula dengan hak atas informasi, hak atas kepastian hukum dan keadilan serta hak atas perlindungan.
Baca Juga: Perempuan dan Hak Asasi Manusia
Sekalipun hak-hak konstitusional tersebut dijamin oleh UUD 1945, namun tidak dipungkiri masih terdapat warga negara Indonesia yang belum menikmati dan memperoleh hak-hak tersebut. Misalnya, masih ada orang yang menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual. Data SIMFONI per 17 Agustus 2022 mencatat, terdapat 6.191 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan dalam rentang waktu sejak 1 Januari 2022. Kekerasan seksual merupakan kasus tertinggi yang dicatat oleh SIMFONI dari total 14.452 kasus yang dilaporkan dalam rentang waktu yang sama.
Selain itu, masih ada orang yang bekerja secara tidak layak dan tanpa jaminan atas kesejahteraan. Misalnya, Pekerja Rumah Tangga, di mana profesi ini belum diakui sebagai pekerja sehingga mereka belum memperoleh hak-hak mereka sebagai pekerja. Antara lain, hak untuk beristirahat, hak untuk berorganisasi dan berkumpul, dan hak terbebas dari eksploitasi dan kekerasan. Selain itu, ketiadaan pengakuan sebagai pekerja juga membuat mereka sulit mengakses jaminan sosial bagi pekerja.
***
Peringatan Hari Konstitusi bukan sekedar memperingati hari bersejarah dalam lintasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hari Konstitusi sekaligus menjadi momentum bagi segenap penyelenggara negara untuk merefleksikan pemenuhan hak konstitusional sebagaimana dijamin dalam Konstitusi. [Ema Mukarramah dan Nur Azizah]