Perempuan dan Hak Asasi Manusia

 Perempuan dan Hak Asasi Manusia

Inforgrafis Perempuan dan Hak Asasi Manusia (Sumber: Ratna Batara Munti & Tim)

Setiap orang yang lahir ke dunia ini memiliki hak asasi manusia yang melekat kepada dirinya atas dasar harkat dan martabatnya sebagai manusia. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, hak asasi manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Setiap orang, termasuk perempuan, apapun pekerjaan, agama, jenis kelamin, kedudukan sosial, tingkat perekonomian, atau latar belakang lainnya, memiliki hak yang sama sebagai manusia dan berhak atas pemenuhan dan perlindungan hak asasinya sebagai manusia.

Oleh karena itu, tidak ada seorangpun berhak untuk mengucilkan atau merendahkan orang lain yang memiliki pilihan pekerjaan, identitas gender, ekspresi gender, pilihan cara berbusana, identitas sosial, atau latar belakang lainnya yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya.

Pelanggaran HAM

Suatu peristiwa merupakan pelanggaran HAM apabila hak asasi manusia seseorang atau sekelompok orang dirampas atau dicabut, atau dihalangi untuk dinikmati. Berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Pelanggaran HAM dapat terjadi di sekeliling kita, baik  disadari maupun tidak disadari bahwa perbuatan itu merupakan pelanggaran HAM. Misalnya, ada seseorang atau sekelompok orang yang tidak memperbolehkan orang yang beragama berbeda untuk tinggal di lingkungan tersebut atau menyewa suatu tempat tinggal. Demikian pula misalnya kecurigaan terhadap perempuan janda akan menggoda suami orang sehingga dibatasi untuk beraktivitas di luar rumah dan pewajiban busana yang mencirikan identitas keagamaan tertentu untuk mengakses layanan publik.

Pelanggaran hak perempuan seringkali berdimensi gender terutama ketika pelanggaran itu terkait dengan peran gender yang dibebankan oleh masyarakat. Misalnya, pengutamaan anak laki-laki untuk disekolahkan daripada anak perempuan di mana terdapat asumsi bahwa perempuan tidak perlu dididik karena hanya akan mengurus rumah tangga berbeda dengan laki-laki yang bertugas mencari nafkah. Demikian pula dengan perlakuan pemberian upah buruh perempuan di bawah upah buruh laki-laki di  mana terdapat asumsi bahwa perempuan bukan pencari nafkah utama sehingga diberikan upah yang berbeda dengan laki-laki yang dianggap sebagai pencari nafkah utama.

Contoh lainnya, misalnya terdapat penolakan perusahaan kepada seorang perempuan untuk bekerja karena ia hamil, di mana terdapat asumsi bahwa perempuan yang sedang hamil tidak akan produktif atau akan merepotkan perusahaan ketika hamil lalu melahirkan akan mengambil cuti dan seterusnya. Padahal, kehamilan merupakan fungsi reproduksi yang hanya diemban oleh manusia berjenis kelamin perempuan. Perlakuan demikian tentu saja akan menimbulkan ketimpangan bagi perempuan karena akan membuat perempuan yang sedang menjalankan fungsi reproduksi kehilangan kesempatan untuk bekerja.

Pelanggaran hak perempuan berdimensi gender merupakan diskriminasi. CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) menegaskan prinsip nondiskriminasi dalam pemenuhan hak perempuan. Prinsip ini menegaskan bahwa setiap perempuan berhak atas hak-haknya sebagai manusia dan sebagai perempuan tanpa pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau apapun lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.

Prinsip ini menegaskan bahwa perlakukan khusus sementara (affirmative action) dan perlindungan kehamilan bukanlah diskriminasi. Affirmative action yaitu langkah-langkah khusus sementara yang dilakukan untuk mencapai persamaan kesempatan dan perlakuan antara perempuan dan laki-laki. Adapun perlindungan kehamilan tidak merupakan diskriminasi karena kehamilan merupakan fungsi sosial.

Ratifikasi CEDAW

Indonesia telah meratifikasi CEDAW melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Berdasarkan ratifikasi ini, Negara memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak perempuan.

Berdasarkan ratifikasi Konvensi CEDAW, segala bentuk diskriminasi yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin (laki–laki – perempuan) harus dihapuskan. Penghapusan diskriminasi berdasarkan perbedaan jenis kelamin di satu sisi akan berimplikasi positif pada penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia, tak terkecuali perempuan.[EM]

 

Naskah diadaptasi dari Ratna Batara Munti, Modul Pelatihan Kelas Kepemimpinan Perempuan di Akar Rumput, 2021.

 

 

Digiqole ad