Cerita Heroik Perempuan Penjaga Perdamaian

 Cerita Heroik Perempuan Penjaga Perdamaian

Ilustrasi (Sumber: Freepik.com/redgreystock)

”Saya tidak mengandung sembilan bulan, melahirkan anak, membesarkan, dan melarikannya ke Turki untuk berperang ke kampung halaman dan terbunuh di sana.”  demikian Najla El Syeikh mengatakan kepada ibu-ibu di komunitasnya ketika mereka meminta dirinya merelakan anak saat hendak pergi berperang ke Suriah.

Najla adalah perempuan pengungsi. Ia bersama anak, suami dan para perempuan Suriah melarikan diri ke Turki saat pecah revolusi Suriah terjadi pada tahun 2012. Dalam pelarian Najla mendatangi sebuah pertemuan yang mempertemukannya dengan aktivis pembangun perdamaian (peace builders) dari Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia. Pertemuan inilah yang memantik Najla  melawan narasi kekerasan dan peperangan dengan mengajak keluarga terdekatnya dan masyarakat di sekitarnya untuk membangun perdamaian.

Perjuangan Najla tidak mudah. Di tengah pelarian dan gejolak perang di Suriah, para pengungsi masih memiliki keinginan untuk kembali ke daerah asalnya untuk berperang.

Namun bukan Najla namanya jika ia membiarkan anaknya berangkat. Untuk menghalangi anak dan teman-temannya pergi berperang Najla mengancam ikut pergi.

“Aku akan memasak dan merawatmu selama berperang,” ujar Najla saat ditanya anaknya apa yang akan ia lakukan jika ikut pergi berperang.

Mendengar jawaban ibunya, anak Najla beserta teman-temannya luluh. Mereka batal berangkat.

Baca Juga: Perempuan dan Wajah Ekstremisme Beragama

Selain mencegah keberangkatan anak-anak beserta teman-temannya pergi berperang Najla memikirkan nasib para perempuan pengungsi yang hidup serupa dirinya. Akhirnya,  di rumah barunya di Turki Najla mendirikan organisasi yang ia beri nama Karimat yang berarti perempuan bermartabat. Rumah Najla dijadikan basecamp untuk kerja-kerja para perempuan pengungsi. Karimat menjadi organisasi pertama di Turki yang dipimpin perempuan Suriah. Kerja-kerja Karimat mencakup bidang pendidikan. Najla mengajari perempuan pengungsi dan anak-anaknya belajar baca tulis. Juga bidang ekonomi, berbekal benang dan jarum Najla mengajarkan para pengungsi perempuan menjahit. Ia juga memberikan pendampingan psikologis serta pendampingan hukum.

Saat membentuk Karimat Najla hanya bermodal tekad. Ia ingin para perempuan termasuk dirinya bisa pulih dari trauma peperangan. Apalagi saat mengungsi ke Turki Najla ingat dia tak mengerti bahasa Turki. Bermodalkan sepotong woll dan dua jarum rajut Najla mampu membuat baju musim dingin.

Kepada delapan belas perempuan pengungsi yang bergabung dalam organisasinya, Najla mengingatkan mereka untuk tidak bergantung kepada orang lain, apalagi sebagai pelarian dari negara yang sedang bergejolak perang. Dari lecutan kata-kata Najla, para perempuan Karimat memproduksi pakaian musim dingin, mencari izin untuk melakukan pameran, dan memasarkannya.

Baca Juga: Refleksi Peran Domestik Perempuan

Perjuangan Najla bersama para perempuan pengungsi berbuah manis. Pemerintah Turki mengunjungi Karimat dan akhirnya mengakui keberadaan Karimat.

***

Kisah Najla menjadi salah satu studi kasus yang dibaca ulang dan dianalisis oleh sekitar dua puluh lima perempuan yang berkumpul dalam  pelatihan ”training of trainer” atau TOT dengan tema ‘Resiliensi Perempuan Pendamping Komunitas” diselenggarakan AMAN Indonesia di Gondangdia, Senin-Rabu (27 Februari-1 Maret 2023). Pelatihan yang dikuti para  aktivis, pemuka agama, dan pendamping komunitas berasal dari berbagai wilayah yakni Bogor, Bandung, Semarang, Malang, Makassar, Sumenep, Depok, dan Jakarta.

Tak hanya cerita inspiratif dari Turki yang menjadi studi kasus pilihan dalam pelatihan. Di Indonesia ada sejumlah perempuan pendamping komunitas yang dinilai AMAN menjadi penggerak di masyarakat. Satu di antaranya adalah Rohimah. Ibu dua anak perempuan ini korban perkawinan anak yang bangkit memberikan teladan kepada anak-anaknya dan masyarakat di sekitarnya di Pondok Bambu, Jakarta Timur.

Di masa pandemi saat ekonomi sedang terpuruk, sebagian besar masyarakat tengah berjuang supaya tidak menjadi korban Covid-19 dengan melakukan isolasi, dan keadaan semakin tak menentu membuat masyarakat pinggiran yang ada di Pondok Bambu, Jakarta semakin menyesakkan dada. Rohimah mengamati tetangga di sekitarnya yang bekerja srabutan makin terpuruk. Bagi masyarakat pekerja informal seperti supir bajaj, pekerja rumah tangga, pedagang, masa Covid-19 ibarat mimpi buruk. Mereka dituntut untuk mematuhi aturan untuk tidak memperpanjang rantai penularan Covid 19, tetapi di sisi lain jika mereka diam di rumah sama artinya mereka tak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga. Kondisi makin memburuk jika warga terkena Covid, yang berarti mereka membutuhkan penanganan mulai obat-obatan, vitamin, makanan yang bergizi, dan dukungan keluarga dan lingkungan sekitar.

Rohimah menjadi penggerak di lingkungannya. Ia mulai mengajak kadernya di Sekolah Perempuan untuk memulai gerakan ’empati’. Mengetuk satu pintu ke pintu rumah untuk menyampaikan maksud kedatangannya. Ia memilih mendatangi tetangganya di sore hari. Sore hari dianggap tepat karena ibu-ibu sudah tidak begitu sibuk.

“Kalau pagi, mereka sendiri mungkin berpikir uang yang dimiliki cukup untuk belanja kebutuhan atau tidak. Kalau sore kan ibu-ibu sudah tenang memberikan sisa belanjanya,” kata Rohimah sebagaimana disampaikan dalam  poadcast AMAN. Uluran tangan dari para tetangga dari senilai seribu, dua ribu ia kumpulkan untuk  membantu tetangga yang sedang sakit dan kekurangan.

“Kalau bukan kita sebagai tetangga (yang membantu mereka), lalu siapa lagi,” ujar Rohimah.

Yang dilakukan Rohimah mungkin terdengar sepele, tetapi dampak yang ditimbulkannya menjadi inspirasi bagi banyak tetangganya. Kegiatan ‘memberi’ kepada yang membutuhkan menjadi kesadaran warga Pondok Bambu. Kampung yang didampingi Rohimah menikmati hasil. Karena empati dan sikap kepedulian tinggi antar sesama warga menjadikan kampung ini bersih, memiliki ruang terbuka aman untuk anak dan perempuan, dan menjadi percontohan sebagai kampung layak tinggal.

Sebagai penyintas korban perkawinan anak Rohimah juga tak hanya berkampanye tentang pentingnya melindungi anak dari praktik perkawinan anak. Ia membuktikan kepada para perempuan khususnya di kampung Pondok Bambu, meski bukan keluarga mampu Rohimah bisa menyekolahkan kedua anak perempuannya hingga lulus perguruan tinggi. Dan satu lagi yang penting, Rohimah juga melahirkan ‘laki-laki baru’. Suaminya mendobrak norma di masyarakat tentang kerja domestik yang biasa dibebankan kepada perempuan. Suami Rohimah tak jarang mencuci piring, baju, membersihkan rumah, dan tak segan mengerjakan pekerjaan domestik lainnya.

***

Sesi menceritakan kisah inspiratif menjadi sesi yang menarik bagi para peserta. Setidaknya ada sekitar lima kisah nyata yang dibagikan kepada lima kelompok. Masing-masing kelompok selanjutnya menganalisis, menceritakan ulang kisah heroik para tokoh yang ditulis dalam sebuah artikel, lalu salah satu ’juru bicara’ yang mewakili kelompok mempresentasikannya review di hadapan semua peserta.

Ruby Kholifah, Country representatif AMAN Indonesia mengatakan, review dan analisis terhadap studi kasus sosok inspiratif sengaja dipilih dalam sesi TOT untuk memberikan gambaran kepada peserta tentang aksi nyata yang dilakukan perempuan. Perempuan berperan penting dalam ruang perdamaian kehidupan.

“Peserta yang dipilih mengikuti TOT adalah para perempuan pendamping komunitas yang luar biasa yang sudah melakukan aksi nyata di lingkungan di daerahnya masing-masing. Dan dari sesi studi kasus, kita bisa mengelaborasi dan memperkuat langkah gerak perempuan, bagaimana menganalisis kekuatan, startegi, peluang dan hal penting lainnya,” ujarnya.[]

 

Kustiah

 

 

Digiqole ad