Cah Kangkung dan PPKM
Oleh: Andi Komara
Masa pandemi saat ini sangat berdampak pada semua aspek kehidupan di semua kalangan, mulai dari pengusaha besar hingga pekerja kasar. Aspek ekonomi adalah salah satu yang sangat terlihat dampaknya. Dari sulit menjalankan usaha bahkan sampai ada yang harus terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Indonesia sendiri secara global sudah masuk dalam masa resesi. Resesi, kata yang saya sendiri tidak terlalu paham apa maknanya karena bagi saya melihat kondisi sekitar lebih terasa realitasnya. Entah sampai kapan pandemi Covid 19 ini berlangsung.
Kondisi pandemi yang kian memburuk dengan angka kematian yang terus tinggi dan penyebaran yang mulai tak terkendali membuat pemerintah memberlakukan kebijakan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Akibatnya hanya sebagian sektor saja yang masih bisa terus berjalan. Sebagian sektor ini diklasifikasi pembagiannya menjadi sektor esensial, kritikal dan non esensial. Walau bagi saya pada akhirnya penggunaan istilah yang selalu berganti dalam rangka pengendalian pandemi Covid 19 ini cukup membingungkan. Mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PSBB Mikro hingga kini menggunakan istilah PPKM.
PPKM cukup berpengaruh juga untuk keluarga kecil saya. Bagaimana tidak? Saya dan istri sama-sama bekerja. Bedanya, istri bekerja di sektor esensial (sektor jasa keuangan) sehingga masih harus ke kantor. Saya sendiri terpaksa kerja di rumah karena pekerjaan saya tidak masuk sektor esensial (perkembangan terbaru advokat sudah masuk sektor esensial). Di tengah masa pandemi ini, kami masih bersyukur karena masih bisa bekerja guna menunjang bahtera rumah tangga.
Hal ini tentu juga berpengaruh pada pola konsumsi keluarga saya. Dikarenakan istri kerja di kantor, maka saya yang bertugas memasak di rumah. Ya, memasak, hal yang dilakukan agar bisa efisien dalam pengeluaran ekonomi keluarga dan tentu menjaga kebersihan apa yang kita masak. Jangan bayangkan saya bisa memasak layaknya celebrity chef di Televisi atau juru masak di restaurant. Tentu karena saya jarang memasak, maka skill masak saya terbatas.
Dengan keterbatasan tersebut, saya hanya bisa memasak beberapa menu seperti tumisan termasuk cah kangkung. Cukup dengan bumbu sederhana kolaborasi cabai, bawang, garam dan penyedap rasa sudah cukup. Sederhana memang, tapi cukup untuk memberikan gizi seimbang guna mempertahankan imunitas tubuh menghadapi pandemi ini. Tentunya juga diiringi dengan konsumsi buah.
Tidak hanya soal pola konsumsi saja yang berubah. Dengan pemberlakuan PPKM yang memaksa kita di rumah, membuat saya sebagai laki-laki dan suami menyadari memang penting adanya kerjasama dalam pengelolaan rumah tangga. Hal yang bagi masyarakat patriarki dibebankan kepada perempuan dan istri.
Saya rasa tidak perlu memahami secara mendalam soal kesetaraan gender untuk tahu bahwa suami harus membantu mengurus rumah tangga di saat istri sudah seharian bekerja di kantor. Apabila masih ada segelintir laki-laki atau suami yang masih meminta istri untuk tetap melakukan pengurusan rumah tangga setelah istri bekerja, saya hanya bisa berpesan ‘sadarlah anda wahai para suami, tidak sayangkah Anda pada istri Anda?’
Dari sini saya bertanya-tanya, mungkin salah satu hikmah dari covid 19 ini bisa perlahan mengubah pola perilaku khususnya laki-laki? Belum sampai menghancurkan patriarki memang, tapi pasti banyak juga laki-laki seperti saya yang istri bekerja di kantor sedangkan suaminya bekerja di rumah. Lalu, karena keadaan tersebut, suami jadi melakukan pekerjaan rumah tangga.
Baca Juga: Menuju Kesetaraan Gender
Bila ditilik lebih dalam, keterlibatan laki-laki atau suami dalam melakukan pekerjaan rumah tangga dapat menjadi langkah awal mengubah pola pikir tentang kesetaraan gender. Bahwa pekerjaan rumah tangga bukan hanya pekerjaan istri atau perempuan semata. Manusia sebagai individu memang perlu mengalami interaksi atau terlibat dalam suatu hal agar sadar dan mengetahui sesuatu. Termasuk dalam soal pembagian peran dalam rumah tangga antara laki-laki dan perempuan.
Momentum ini juga sebenarnya bisa dimanfaatkan sebagai ajang edukasi bagi anak-anak. Bahwa dalam pengurusan rumah tangga baik anak laki-laki dan perempuan, sama-sama memiliki tanggung jawab. Bagaimana tidak, bahwa selama pandemi anak-anak kita terpaksa belajar jarak jauh dari rumah dan waktu anak-anak lebih banyak dihabiskan di rumah. Hal ini harus bisa dimanfaatkan sebaik mungkin guna menanamkan pemahaman kesetaraan gender bagi anak-anak.
Memang di sisi lain, kita juga tidak bisa abai terhadap tantangan bahwa selama pandemi ini tingkat kekerasan terhadap perempuan dari berbagai data yang dikeluarkan beberapa instansi justru meningkat. Semoga kekerasan terhadap perempuan ini bukan menjadi gunung es, dan akan lebih banyak muncul laki-laki yang sadar atas kesetaraan gender.
Semoga laki-laki jadi mulai berpikir bahwa pekerjaan rumah tangga adalah tugas masing-masing bukan hanya dibebankan pada perempuan. Semoga perlahan pemikiran kesetaraan antar laki-laki dan perempuan makin berkembang, tidak berhenti di urusan rumah tangga. Serta tentunya semoga pandemi Covid 19 ini segera berakhir.
*Penulis merupakan seorang Advokat yang tinggal di pinggiran Jakarta dan memiliki ketertarikan terhadap isu kesetaraan gender.