Amanat UU PKDRT: Stop Siklus Kekerasan

 Amanat UU PKDRT: Stop Siklus Kekerasan

Ilustrasi (Sumber: Canva.com)

Polemik Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami pedangdut kondang LK menuai respons beragam. Terlebih lagi usai LK mencabut laporan yang diajukan ke Polres Jakarta Selatan pada Minggu, 16 Oktober 2022. Keputusan LK menyulut reaksi warga digital, berbondong-bondong menghujat LK. Aktivis perempuan dan Komnas Perempuan angkat bicara.

Aktivis perempuan Damairia Pakpahan seperti dilansir dari voaindonesia.com (17/10/22) mengatakan sikap LK menandakan betapa kuat ideologi patriarki hingga membuat korban tak berdaya.

Sementara Komnas Perempuan mengenali kasus LK sebagai  kompleksitas kesulitan yang dialami perempuan korban kekerasan. Korban KDRT seringkali sulit untuk keluar dari siklus kekerasan yang dialami. Meski ada banyak dukungan, korban seringkali enggan melanjutkan laporannya. Kalau sudah begini, lagi-lagi perempuan korban jadi bulan-bulanan kesalahan.

Tengok saja, masyarakat sepertinya lupa jika LK adalah korban KDRT. Warga digital ramai-ramai menghujat korban sebagai pelaku prank demi cuan, terlalu bucin pada pasangan, hingga serukan boikot untuk tampil di TV.

Padahal, menilik data yang dihimpun Komnas Perempuan menunjukkan setiap tahun pelaporan kasus KDRT mengalami peningkatan. Tahun 2021 Komnas Perempuan menerima pengaduan langsung 771 kasus kekerasan terhadap istri (KTI), atau 31% dari 2.527 laporan kasus kekerasan di ranah rumah tangga/personal.

Baca Juga: Dari Kekerasan dalam Pacaran ke KDRT

Dari laporan tersebut Komnas Perempuan menemukan dampak KDRT terhadap korban beragam dan berlapis. Terdapat korban yang mengalami luka-luka fisik, trauma dan depresi, menjadi disabilitas, bahkan kehilangan nyawa.

Melalui rilisnya Komnas Perempuan menegaskan UU Nomer 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah seruan untuk menghentikan siklus kekerasan dalam keluarga.

Dalam siklus kekerasan, korban dan pelaku akan terus berputar dari kondisi tanpa kekerasan menuju kondisi ketegangan. Pada kondisi ini biasanya ditandai dengan perselisihan. Lalu akan menjadi ledakan kekerasan. Tahap siklus berikutnya adalah kondisi rekonsiliasi atau “masa bulan madu” yaitu situasi tenang setelah adanya permintaan maaf pelaku. Fase ini bukan berarti akhir dari siklus sebab seiring waktu ledakan kekerasan dapat menjadi lebih intensif dan fatal yang mengakibatkan korban mengalami luka serius hingga meninggal dunia.

Baca Juga: Apakah Pemukulan terhadap Istri Adalah KDRT?

Yang perlu masyarakat ketahui bahwa pencabutan pelaporan tidak serta merta menghentikan proses hukum. Dalam kasus ini, pihak pelaku KDRT ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Pasal 44 ayat (1) UU PKDRT yang termasuk dalam kategori delik biasa, bukan delik aduan. Meski begitu keputusan Polres Metro Jakarta Selatan berbalik arah dan menghentikan kasus KDRT LK. Padahal sebelumnya, polisi tetap akan melanjutkan kasus yang menjerat pelaku RB.

Komnas Perempuan mengingatkan UU PKDRT mengamanatkan empat hal. Pertama, mencegah terjadinya segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Kedua, melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. Ketiga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Keempat, memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

Kepada pelaku KDRT (RB) Komnas Perempuan merekomendasikan agar pelaku dikenai kewajiban mengikuti program konseling. Langkah ini bertujuan untuk mengubah cara pandang dan perilaku pelaku tentang relasi laki-laki dan perempuan. Selain itu juga bertujuan untuk memutus siklus kekerasan dalam rumah tangga. Kepada LK, Komnas Perempuan merekomendasikan agar korban mendapatkan penguatan psikologis dan informasi untuk memahami hak dan posisinya sebagai perempuan dan korban. [Nur Azizah]

Digiqole ad