Oleh: Chantaleia Sachi.H

Tumbuh sebagai perempuan keturunan Tionghoa di Indonesia, atau yang kerap dilabel sebagai perempuan Chindo (China Indonesia), rasanya seperti menjadi pendatang asing. Seperti berdiri di tengah dua dunia yang terus-menerus saling bermusuhan. Semakin bertambah usia, semakin aku sadar kenyataan pahit bahwa aku tidak bisa sepenuhnya diterima. Aku bukan murni Tionghoa, tapi juga dianggap kurang layak untuk disebut orang Indonesia.

Istilah Chindo sendiri merujuk pada orang-orang Indonesia keturunan Tiongkok. Di era Orde Baru tahun 1967, Presiden Soeharto mengeluarkan Surat Edaran Presidium Ampera Kabinet Nomor SE-06/Pres.Kab/6/1967 yang membuat penyebutan bagi warga keturunan Tiongkok dengan sebutan Cina. Meski surat tersebut kemudian dicabut pada tahun 2014 saat kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, istilah Cina bagi keturunan Tiongkok masih melekat. Seiring waktu, istilah ini kemudian berubah menjadi Chindo yang merupakan singkatan dari China dan Indonesia.

Sebagai perempuan Chindo, kulitku menjadi objektifikasi seksual. Perempuan chindo diidentikkan dengan kulit putih dan mata sipit, sebagian menganggapnya cantik, sebagian lagi justru menjadikannya sebagai penanda perbedaan ras sebagai kelompok chindo.  Padahal tidak semua chindo memiliki kulit putih dan mata sipit. Banyak juga yang memiliki kulit sawo matang dan mata bulat, tetapi itu tetap tidak membuatku bukan Chindo.

Dengan tatapan tajam yang seakan sedang menelanjangi tubuhku, sering muncul komentar dari sekitar. Seperti, “Cantik sih, tapi matanya terlalu sipit”, “Bahaya itu, putih-putih begitu malah jalan sendirian”, dan “Enak ya jadi Chindo. Udah putih, hidupnya lebih enak pula.”

Sejujurnya aku merasa tidak nyaman dengan komentar yang berbentuk pujian tapi dengan nada yang tidak mengenakkan itu. Memangnya apa yang bisa kujawab? Apakah aku harus mengakui bahwa, ya, aku memang bukan murni orang Indonesia makanya fisikku berbeda, atau haruskah aku kembali ke tanah leluhurku?, ataukah aku harus minta maaf karena terlahir dengan fisik yang berbeda?

Aku lelah harus selalu menunjukkan “keindonesiaanku” atau “nasionalismeku” setiap berwisata di negeri sendiri, yang biasanya berakhir dengan senyuman sinis atau interaksi yang setengah hati oleh orang setempat. Bahkan di tanah air yang kucintai, aku tetap akan selalu dianggap sebagai pendatang.

Pernah suatu kali aku dan ibuku berserta saudariku pergi berlibur di Yogyakarta. Di sana kami sering ditanya, “Kulitnya putih banget, kayak orang luar negeri!”, “Kalian orang lokal? Kok gak kayak orang Indo?”, dan “Oh, maaf. Tadi kukira kalian orang luar negeri karena ga keliatan kayak orang Indo”. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan perkataan mereka, tapi cara mereka bertanya, cara mereka memandang, nada bicara mereka dan bahkan perlakuan mereka seakan sedang merendahkan.

Ditambah lagi, ketika aku menunjukan pengetahuanku tentang beberapa adat, sejarah, atau budaya lokal, justru dianggap sok tahu. Seakan-akan aku tidak layak untuk mengetahui semua itu. Mengapa banyak orang berpikir hidupku lebih baik? Mengapa aku selalu diperlakukan berbeda?

Permasalahan ini tidak hanya kualami di luar saja, bahkan di dalam keluarga. Tidak bisa berbicara bahasa Mandarin atau bahasa daerah dengan lancar akan dilihat sebagai aib keluarga. Bukan hanya itu, perempuan Chindo seringkali dibatasi dalam berbagai hal. Dalam keluargaku dulu, berteman akrab atau jatuh cinta dengan orang yang dianggap bukan satu etnis, bisa memicu teguran keras dari orang sekitar. Hal ini terjadi bukan karena benci, tapi karena ketakutan yang diwariskan turun-temurun.

Sebagai perempuan chindo, aku mengalami kekerasan berlapis. Selain karena stigma dan stereotipe yang dilekatkan karena ras asalku, aku juga mendapat stigma sebagai perempuan. Seperti harus bertingkah selayaknya perempuan di masyarakat (lemah lembut, tidak banyak bicara dan penurut). Kadangkala tidak diperbolehkan memiliki cita-cita tinggi, tidak boleh terlalu cerdas dan bahkan menjadi pemimpin bagi perempuan adalah batu sandungan mendapat pasangan hidup.

Sampai saat ini aku tetap tidak mengerti, mengapa banyak orang menganggapku berbeda? Mengapa sulit untuk menerima perbedaan yang ada?. Aku bukan pendatang, aku lahir dari peleburan budaya dan keberagaman. Bukankah Indonesia memang kaya akan hal itu?

Bukankah kita semua lahir dan tumbuh besar di sini (Indonesia)? Menghirup udara yang sama, mengerti bahasa yang sama, dan mencintai tanah air yang sama?

Namun mengapa keberadaan perempuan Chindo seakan-akan tidak akan pernah layak di tanah Indonesia? Apa yang membuatku harus terus membuktikan bahwa kami berhak berada di sini?

Aku perempuan, aku Chindo, aku Indonesia.

Aku yakin, aku bukan satu-satunya yang merasa demikian. Aku percaya, ada banyak luka yang tak terkisah dan tak didengar banyak orang. Aku percaya bahwa aku dan orang-orang yang mengalami stigma ini layak untuk diterima sebagai orang Indonesia.

Aku menulis ini bukan untuk meluapkan emosi, melainkan untuk menanam harapan baru agar suatu saat nanti, orang-orang yang berbeda tidak perlu membuktikan kelayakan diri hanya untuk bisa diterima. Bahwa kita semua memiliki tempat yang aman di dalam negeri ini, Indonesia.

 

 

Share.

Comments are closed.