Oleh : Fadlan

Judul Buku : Against White Feminism: Notes on Disruption

Penulis : Rafia Zakaria

Penerbit : W. W. Norton & Company, Inc

Tahun Terbit : 2021 (Cetakan Pertama)

Bahasa : Inggris

Jumlah Halaman : 243 Halaman

Dalam buku Against White Feminism: Notes on Disruption, Rafia Zakaria melancarkan kritik tajam terhadap feminisme arus utama yang menurutnya, didominasi oleh paradigma perempuan kulit putih kelas menengah yang mengabaikan pengalaman perempuan dari latar belakang ras, budaya, dan kelas sosial yang berbeda.

Zakaria mendefinisikan white feminist bukan berdasarkan identitas rasial semata, melainkan sebagai seperangkat asumsi dan perilaku yang berpusat pada agenda dan aktivisme perempuan kulit putih yang menganggap bahwa gerakan mereka berlaku sama bagi semua perempuan. Ia menegaskan bahwa seseorang tidak harus berkulit putih untuk menjadi “white feminist,” dan sebaliknya, perempuan kulit putih bisa saja tidak menganut feminisme semacam ini.

Dengan narasi yang mengalir, seperti pengalamannya di sebuah bar di Manhattan, Zakaria menggambarkan bagaimana ia merasa terasing dan tertekan karena harus menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok feminis kulit putih. Ia menyoroti adanya pembagian dalam feminisme: antara mereka yang menulis dan berbicara tentang teori feminisme (seringkali perempuan kulit putih) dan mereka yang menjalani kehidupan feminis itu sendiri secara langsung (seringkali perempuan kulit berwarna). Kehidupan perempuan kulit berwarna, menurut Zakaria, kerap hanya dianggap sebagai cerita yang eksotis atau tragis saja, alih-alih sebagai sumber pengetahuan dan inspirasi untuk membentuk agenda-agenda feminisme.

Zakaria melacak akar white feminism ini hingga ke era kolonialisme. Ia menunjukkan bagaimana perempuan kulit putih di masa lalu, seperti Gertrude Bell, meraih kebebasan dan superioritas di tanah jajahan melalui hak istimewa mereka atas penduduk lokal. Bahkan gerakan Sufrajis (perjuangan hak pilih perempuan) di Barat, menurut Zakaria, sering menggunakan narasi “penderitaan” perempuan di tanah jajahan sebagai kontras untuk memperjuangkan hak mereka sendiri, terkadang dengan pandangan yang merendahkan atau rasis terhadap perempuan kulit berwarna. Pola kulit putih sebagai penyelamat ini berlanjut hingga kini, dan bisa dilihat di berbagai program kemanusiaan dan pemberitaan media, di mana perempuan kulit putih diposisikan sebagai penyelamat bagi perempuan kulit berwarna yang dianggap tertindas.

Lebih lanjut, buku ini mengkritik bagaimana konsep solidaritas dalam feminisme hanyalah ilusi semata. Zakaria menceritakan pengalamannya di sebuah acara bazar global di mana perempuan kulit berwarna, termasuk dirinya, dijadikan komoditas eksotis untuk dikonsumsi oleh audiens kulit putih. Ia menyamakan ini dengan World’s Columbian Exposition tahun 1893, di mana pencapaian perempuan kulit putih dirayakan sementara perempuan kulit hitam Amerika dipinggirkan. Tokoh-tokoh feminis terkemuka seperti Simone de Beauvoir pun tak luput dari kritik Zakaria karena dianggap telah menguniversalkan pengalaman perempuan kulit putih dan mengabaikan dimensi rasial dalam analisis feminismenya.

Konsep pemberdayaan juga menjadi sorotan. Zakaria menjelaskan bahwa istilah ini awalnya digagas oleh gerakan feminis dari negara-negara bekas jajahan seperti India dan Fiji yang menekankan pada mobilisasi politik kolektif dari bawah ke atas. Namun, konsep ini kemudian dibajak dan dipreteli oleh lembaga-lembaga bantuan internasional yang didominasi oleh negara-negara Eropa menjadi program ekonomi individualistis yang gagal memahami konteks budaya dan kebutuhan nyata perempuan lokal.

Zakaria juga membahas bagaimana narasi perang melawan teror telah melahirkan securo-feminism, di mana intervensi militer Barat dibingkai sebagai upaya pembebasan perempuan Muslim, padahal militerisme seringkali justru memperburuk kondisi perempuan Muslim karena mengabaikan kekerasan yang dilakukan oleh pihak Barat. Film seperti Zero Dark Thirty yang menampilkan perempuan kulit putih sebagai agen CIA (Central Intelligence Agency) yang terlibat dalam penyiksaan, dilihat sebagai perwujudan kesetaraan gender, di mana perempuan kulit putih mencapai kesetaraan dengan laki-laki kulit putih melalui dominasi laki-laki kulit berwarna. Para jurnalis perempuan kulit putih yang meliput di negara-negara Muslim juga dikritik karena kerap mengeksploitasi cerita perempuan lokal demi kesuksesan karir mereka tanpa membangun solidaritas dengan perempuan lokal.

Isu pembebasan seksual juga dianalisis sebagai instrumen white feminism. Zakaria menceritakan pengalamannya ketika ia menghadiri salah satu seminar pascasarjana di mana ia merasa tertekan menampilkan citra diri yang bebas secara seksual hanya untuk dianggap sebagai feminis tulen. Ia mengkritik adanya seksualitas wajib (compulsory sexuality) yang mengharuskan perempuan, terutama perempuan kulit berwarna, untuk membuktikan kemerdekaan tubuh mereka melalui ekspresi seksual tertentu. Hal ini seringkali mengabaikan fakta bahwa ini adalah pemahaman yang keliru tentang makna pembebasan perempuan itu sendiri.

Untuk bergerak maju, Zakaria menekankan pentingnya konsep interseksionalitas yang digagas oleh Kimberlé Crenshaw, yang memahami bagaimana berbagai sistem opresi seperti ras, kelas, dan gender saling berkelindan dan tidak dapat dipisahkan. Ia mengkritik organisasi-organisasi feminis besar di Amerika seperti NOW (National Organization for Woman) dan Feminist Majority Foundation yang, meskipun mengklaim diri mereka inklusif, masih menunjukkan praktik-praktik rasisme dan tokenisme. Solusinya, menurut Zakaria, bukan sekadar menambahkan perempuan kulit berwarna ke dalam struktur feminisme, melainkan melakukan perubahan transformasional untuk membongkar hierarki dan asumsi yang putih senter (whiteness).

Sebagai penutup, perlu kiranya merenungkan sumbangsih sekaligus beberapa catatan kritis atas karya ini. Kekuatan utama buku ini terletak pada kemampuan penulis merajut narasi personal dengan analisis historis dan struktural yang tajam. Di sini Zakaria bukan hanya berkeluh kesah; ia membongkar bagaimana “putih” bukan lagi sekadar warna kulit, melainkan sebuah sistem nilai dan praktik yang melanggengkan dominasi, bahkan dalam gerakan yang tujuannya membebaskan. Ia berhasil menunjukkan bagaimana agenda yang tampak universal seringkali bias kepentingan perempuan kulit putih kelas menengah Barat.

Namun begitu, nada polemis Zakaria di buku ini yang tampak mengantagonisasi perempuan kulit putih, meski dapat dipahami sebagai strategi retoris, berpotensi mengasingkan sebagian pembaca yang mungkin perlu dirangkul dan diajak berdialog. Lebih jauh, aspek rekonstruksi—bagaimana membangun feminisme global yang benar-benar inklusif—yang ditawarkan buku ini terasa lebih sebagai refleksi filosofis alih-alih sebagai peta jalan yang konkret. Zakaria memang menawarkan prinsip-prinsip penting seperti sentralitas pengalaman perempuan non-kulit putih dan perlunya solidaritas anti-kapitalisme, tetapi pembaca mungkin menginginkan elaborasi yang lebih konkret mengenai bentuk-bentuk kelembagaan atau praksis baru yang lebih inklusif.

Bagi Indonesia, yang memiliki sejarah panjang dengan kolonialisme dan pergulatan identitas feminisnya sendiri, buku ini menawarkan cermin sekaligus tantangan: Bagaimana kita memaknai dan mempraktikkan solidaritas tanpa terjebak dalam agenda-agenda partikular yang mengatasnamakan universalisme semu? Kendati demikian, melalui buku ini Zakaria telah menyumbangkan sebuah gagasan krusial yang tak bisa diabaikan dalam diskursus feminis kontemporer.

Fadlan, Penulis lepas dan pendiri Sophia Institute Palu. Selain bekerja sebagai penulis lepas, ia juga bekerja sebagai tutor bilingual Bahasa Inggris dan Bahasa Spanyol.

Share.

Comments are closed.