Di Balik Sinci dan Rujak Pare Bumbu Kecombrang

 Di Balik Sinci dan Rujak Pare Bumbu Kecombrang

Ilustrasi Bulan Mei (Sumber: Waldemar Brandt/Unsplash.com)

Oleh: Siti Aminah Tardi

Hari Kamis 13 Mei 2021 ini, kita memperingati dua hari keagamaan dan satu tragedi perjalanan bangsa kita. Dua hari keagamaan itu adalah Idul Fitri bagi umat Islam dan Hari Kenaikan Isa Almasih bagi penganut Agama Kristen. Bersamaannya dua hari besar keagamaan yang terjadi setiap 200 tahun ini dijadikan momentum membangun toleransi, menghapuskan prasangka di antara kedua penganut agama ini.

Namun, di tengah perayaan tersebut, terselip peringatan kerusuhan Mei 1998 sebuah tragedi kelam perjalanan bangsa dalam peralihan kekuasaan orde baru ke era reformasi. Peralihan kekuasaan ini menjadikan prasangka dan kebencian terhadap etnis tionghoa sebagai pemicu dan menjadikan perempuan etnis Tionghoa sebagai sasaran kekerasan seksual. Peristiwa ini nyaris terlupakan dalam berbagai pemberitaan, tertutup dengan berbagai agenda masyarakat saat ini.

Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong Semarang, melakukan upacara untuk meletakkan sinci bagi Ita Martadinata Haryono atau biasa disebut Ita. Sinci adalah papan kayu bertuliskan nama leluhur yang sudah meninggal dan diletakkan pada altar penghormatan yang akan selalu didoakan di setiap upacara sembahyang arwah.  Siapa sebenarnya Ita Martadinata Haryono yang mendapatkan kehormatan ini dan mengapa komunitas Tionghoa menciptakan rujak pare bumbu kecombrang untuk disantap setiap bulan Mei?

 

Di balik Sinci dan Rujak Pare Bumbu Kecombrang

Tahun ini tepat 23 tahun kerusuhan Mei 98. Peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998 adalah puncak dari rentetan kekerasan yang terjadi sebelumnya, seperti penculikan aktivis, penembakan mahasiswa di Trisakti, dan kondisi krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Seiring waktu, generasi yang lahir setelah 1998 tidak mendapatkan informasi apa yang terjadi pada proses peralihan kekuasaan dari sistem otoriter ke sistem demokrasi, termasuk terjadinya kekerasan seksual yang sampai saat ini tidak terungkap. Selain makin tergerusnya ingatan kolektif tentang peristiwa ini, penyangkalan juga masih terus terjadi.

Padahal, Laporan Akhir Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa 13-15 Mei 1998 (Komnas Perempuan, 1999) menemukan bahwa selama kerusuhan Mei 1998 terjadi kekerasan seksual. Berhasil diverifikasi yaitu perkosaan (52 orang), perkosaan dengan penganiayaan (14 orang), penyerangan/penganiayaan seksual (10 orang), dan pelecehan seksual (9 orang).  Data didapatkan dari korban langsung, dokter, keterangan dari orang tua korban, perawat, psikiater, psikolog, dan kesaksian rohaniawan/pendamping (konselor).

Jumlah ini diyakini bukanlah jumlah keseluruhan korban, melainkan jumlah korban sejauh yang berhasil diverifikasi, mengingat korban langsung dievakuasi, tewas seluruh keluarganya, memilih diam, atau pergi meninggalkan Indonesia. Dalam laporan itu kekerasan seksual terjadi di dalam rumah, jalan, dan di depan tempat usaha. TGPF juga menemukan bahwa sebagian besar kasus perkosaan adalah gang rape, dimana korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama. Kebanyakan kasus perkosaan dilakukan di hadapan orang lain, juga menggunakan alat seperti botol untuk penetrasi.

Siapa Ita Martadinata? Ita F Nadia yang hadir sebagai narasumber memberikan konteks, berbagi pengalaman mendampingi para korban dan menjelaskan siapa Ita Martadinata, yaitu seorang siswi SMU yang saat itu berusia 17 tahun. Anak dari aktivis sosial Wiwin Haryono yang juga melakukan pendampingan terhadap para korban. Ita dan ibunya, berencana akan segera berangkat ke Amerika Serikat dengan empat korban lainnya sebagai bagian dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan, untuk memberikan kesaksian di PBB dan Kongres Amerika Serikat.

Pada 9 Oktober 1998 Ita ditemukan tewas di kamarnya. Ita F Nadia yang datang langsung ke kediaman keluarga itu menemukan jenazah Ita tergolek di lantai, darah tergenang, dan masih hangat. Tubuhnya penuh luka tikam, lehernya disayat, dan duburnya ditancap kayu.  Narasi yang muncul di publik -bahkan sampai saat ini- Ita dibunuh oleh perampok yang tertangkap basah olehnya, moralitas korban dipertanyakan dengan narasi adanya sodomi terhadapnya. Pembunuhan ini mengagalkan rencana untuk meminta perhatiaan dunia internasional atas perkosaan massal tersebut. Pembunuhan ini dinilai juga sebagai ancaman terhadap siapapun yang memperjuangkan dan menyuarakakan peristiwa ini.

Peletakan sinci dilakukan melalui prosesi sederhana dan khidmat, disiarkan secara langsung melalui kanal video berbagi. Diawali dengan memasang pita hitam yang diiringi gembreng, melanjutkan dengan doa dan berjalan ke altar untuk meletakan sinci di Altar Boen Hian Tong. Prosesi menuju altar dan peletakan sinci diiringi narasi tentang perjuangan kemanusiaan Ita dan lagu gugur bunga yang memberikan suasana magis. Sinci Ita diletakkan bersisian dengan sinci KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang mendapat gelar ‘Bapak Tionghoa Indonesia’ (2004) atas pemikiran dan upayanya menghapuskan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Kini, di altar terdapat dua sinci pejuang kemanusiaan yang menjadi pesan pada yang hidup untuk terus memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan.

Prosesi diakhiri dengan makan bersama rujak pare sambal bunga kecombrang. Makanan ini dibuat layaknya kita membuat rujak. Pare mentah diiris tipis-tipis, dicuci dan ditaburi es batu. Sedangkan sambal rujak di tambah dengan bunga kecombrang, diuleg dan selanjutnya siap untuk dinikmati. Kepahitan pare melambangkan pahitnya tragedi Mei 1998. Bunga kecombrang menjadi simbol perempuan Tionghoa yang menjadi korban perkosaan massal. Mereka ibarat diulek, dianiaya, dihancurleburkan dicowek batu.

Makan bersama rujak ini baru dilakukan pada 2018 sebagai bagian dari merawat ingatan. Harjanto Halim, Ketua Perkumpulan Rasa Dharma menjelaskan penciptaan rujak ini adalah pendekatan budaya untuk menolak lupa tragedi Mei 98. Dalam budaya Tionghoa, sebuah peristiwa jika dikaitkan dengan makanan, biasanya akan menjadi langgeng. Dari situlah, Harjanto Halim mempunyai ide memperingati tragedi Mei 1998 dengan makan rujak pare dengan sambal bunga kecombrang yang pedas sekali. Diharapkan 100 atau 200 tahun yang akan datang, ketika anak-anak muda menikmati rujak ini akan mengingat makna makan rujak pare sambal kecombrang di bulan Mei, sekaligus terus menyalakan komitmen agar kekerasan dan diskriminasi harus terus dihapuskan.

Selain secara khusus diperingati oleh komunitas Tionghoa, melalui sinci dan rujak, dalam momen hari raya ini kitapun bisa berkontribusi dengan cara menghapuskan berbagai prasangka terhadap orang atau kelompok yang berbeda, membangun toleransi sebagai bagian dari kebersihan hati dan untuk terus memberikan pelayanan terbaik kepada nilai kemanusiaan. Selamat Hari Raya!

 

Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2020-2024

Digiqole ad