Wajah Pasi Berimajinasi
Judul buku: Kitab Cerita (Esai-esai Anak dan Pustaka)
Penulis: Setyaningsih
Penerbit: Bilik Literasi
Cetakan I: Desember 2019
Tebal: 82 halaman
ISBN:978-623-7258-43-8
Ketika sore menjelang, biasanya anak-anak mulai berkeliaran keluar dari rumah mereka. Mereka menghinggapi banyak tempat. Jalanan diubah anak menjadi lapangan sepak bola, halaman kelurahan dipenuhi anak-anak yang digendong dengan kain ataupun duduk dan tiduran di kereta dorong atau sepeda mereka. Saat matahari surut dari langit, itu seakan menjadi pertanda bahwa waktu anak kecil untuk keluar rumah sudah tiba. Sore akan selalu dihiasi aktivitas serta teriakan-teriakan anak kecil. Entah datang sebab mereka senang bermain dengan temannya, atau sedih kala terjatuh saat berlari. Bising teriakannya menjadi penghias sore.
Kehidupan anak tak hanya mencuatkan tawa serta senyum untuk diri sendiri. Para orang tua menjadi individu lain yang turut ikut tersenyum atas hidup anak. Mereka melihat anak sebagai sebuah pengharapan. Harapan yang menjadikan kehidupan mereka yang begitu nelangsa. Setiap anak hidup berserta harapan-harapan keluarganya. Kelahiran anak yang keluar dari rahim ibu, bisa sama artinya dengan kelahiran sebuah harapan baru.
Satu-satu tunas muda bersemi//Mengisi hidup gantikan yang tua//Tak terdengar tangis//Tak terdengar tawa//Redalah reda. Iwan Fals turut berharap kepada anak dalam lirik lagunya yang berjudul “Satu-Satu”. Ia melihat anak pengganti manusia tua dan berharap anak bersemi dengan elok. Begitupun dalam buku Kitab Cerita (2019), Setyaningsih mengharap anak-anak bisa merasa senang, gembira, bahagia, serta beraktivitas dengan imajinasinya yang dibantu oleh aksara-aksara yang hidup di buku.
Kita bisa melihatnya dari esai yang berjudul Sepuluh Buku, Menjenguk Biografi Kanak, “Jika pembaca dewasa dan tua saja mengalami kegembiraan mendapati buku-buku bacaan anak lawas tercetak dan terbaca lagi, anak-anak tentu lebih memiliki kepekaan pikir dan emosi menyusun cerita-cerita yang dibiarkan masuk dan akhirnya tinggal dalam jiwanya.” (hal 65). Pengharapan yang mengasyikan bagi anak-anak. Namun, kita tahu begitu banyak para orang tua atau orang dewasa. Kehadiran anak tak sebanding dengan kehadiran orang tua di kehidupan. Anak hidup dalam ikatan keluarga yang di dalamnya lebih banyak orang tua daripada dirinya. Sebab begitu banyak orang tua, tentu pengharapan-pengharapan banyak dilimpahkan pada anak. Satu anak, tak cukup menerima satu harapan orang tua. Anak bisa menerima dua, tiga, atau bahkan empat pengharapan orang tua.
Anak hidup dengan harapan orang-orang tua, bukan hidup untuk harapannya. Setyaningsih kembali memperlihatkannya kepada pembaca dalam esai bertajuk Negara dan Bacaan anak. Harapan itu bahkan lebih represif dan propagandis, “Lewat bacaan anak, negara ingin menokohkan anak-anak sebagai pahlawan cilik. Anak adalah simbol keteladanan lewat aktivitas sipil ataupun militeristik.” (hal 35). Bisa dikatakan ini bukan pengharapan jika sudah represif dengan membatasi bacaan anak. Ini pengekangan!
Orang-orang tua dan dewasa terkadang terlalu cepat dan sembrono dalam menilai anak. Anak dikatakan baik, pintar atau cerdas, jika sesuai dengan pakem penilaian mereka. Nilai moralitas, sopan santun, dan tentu nilai akademik. Anak tak dibiarkan berimajinasi dengan pikirannya sendiri. Ia akan mendapat nilai buruk jika tidak sesuai dengan pakem orang tua.
Tuntutan-tuntutan yang dihadirkan orang tua beserta negara, bersifat mengerdilkan imajinasi anak. Mereka semestinya bisa mengembangkan imajinasi jika buku-buku tak dijadikan agenda politis negara. Perkembangan imajinasi anak yang baik, ialah perkembangan menurut pemerintah. Setyaningsih juga mengatakan bahwa buku-buku selain dari pemerintah, tidak mendukung para anak dalam berimajinasi. Mereka dibawa ke dalam pemikiran yang seragam dan penyempitan imajinasi.
Kita bisa melihat bagaimana keadaan anak-anak, terkhusus yang hidup dan tinggal di tanah Indonesia begitu tertekan secara pikiran melalui tulisan-tulisan Setyaningsih dalam buku Kitab Cerita (2019). Pendesakan ini berlanjut dari tahun kepemimpinan Orde Baru sampai saat ini. Meski sekarang tidak serepresif dulu, narasi-narasi yang dibawa penulis-penulis buku anak seirama mengenai narasi moralitas dan sopan santun atau terkesan menggurui seperti dulu.
Meski buku Setyaningsih tak ditunjukkan untuk anak-anak, namun ia memberikan beberapa jalur-jalur alternatif bagi orang tua agar mengembangkan daya imajinasi anak menjadi luas dan indah. Setya tidak menganjurkan pengharapan serepresif seperti negara. Ia berkata, “Usulan-usulan sepuluh buku memang tidak memiliki dasar riset yang kuat, cukup berbekal keterpukauan seorang pembelajar yang tengah sok menghayati bacaan anak.” Usulan tanpa paksaan dan berbekal kesoktahuan.
Penulis: Nu’man Nafis Ridho
Penulis karbit dan Pembaca iseng