Suara dari Sumbar untuk Penghapusan Kekerasan Seksual
PADANG, JALASTORIA.ID – Perjalanan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk menuju pembahasan telah melewati berbilang tahun. Namun, sampai dengan tulisan ini diturunkan, RUU ini masih belum memasuki tahap ketiga pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu tahap pembahasan.
RUU ini masih berada di tahap penyusunan, yang merupakan tahap kedua dari enam tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan menurut UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Walaupun RUU ini masih berada pada tahapan penyusnan, penolakan terhadap RUU ini sering disuarakan oleh kelompok masyarakat yang tidak menghendaki kehadiran RUU ini. Sementara itu, kelompok masyarakat lainnya konsisten menyuarakan dukungan terhadap RUU ini demi melindungi korban yang masih terhambat dalam mengakses keadilan.
Antara lain, melalui kegiatan “Sumatera Barat Bicara: Open Mic Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” pada Kamis (29/07/2021). Kegiatan yang digelar secara virtual ini melibatkan 24 organisasi masyarakat sipil di Sumatera Barat, di antaranya Women Crisis Center (WCC) Nurani Perempuan, Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M), Pelita Padang, Forum Mahasiswa Mentawai, Sanggar Saiyo Basamo, dan Metasinema. Selain itu, turut hadir Komnas Perempuan, Ombudsman Perwakilan Sumatera Barat, dan Anggota Komisi VIII DPR RI Dapil Sumatera Barat.
Dalam orasinya, Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah menyatakan telah banyak korban kekerasan seksual yang trauma bahkan sampai melakukan bunuh diri. Padahal mereka adalah generasi yang seharusnya menjadi penentu bangsa ke depan. Oleh karena itu, Alimatul berpesan agar jangan sampai banyak korban kekerasan seksual yang tidak ditangani.
Agar korban tertangani, keluarga dan masyarakat harus peduli dengan persoalan kekerasan seksual. Negara pun harus hadir untuk memenuhi hak korban.
“Dukungan yang kita beri merupakan amal jariyah, karena Alquran dan hadist sudah mengamanatkan kita untuk tidak merusak diri sendiri dan orang lain dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini melindungi semuanya,” ujarnya.
Baca Juga: Menjawab Pertanyaan atas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Hal yang sama diungkapkan oleh Rahmi Meri Yenti, Direktur Women Crisis Center (WCC) Nurani Perempuan. Selain trauma, menurut Rahmi, korban juga mengalami ketakutan untuk melaporkan terutama apabila pelaku adalah orang yang dikenal dekat.
WCC Nurani Perempuan mencatat angka kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke lembaga ini dalam periode tahun 2017 -2020 mencapai 445 kasus. Total kasus itu terdiri dari 245 kasus kekerasan seksual dan 205 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Bahkan selama pandemi Covid-19, sebagaimana dituturkan oleh DIrektur WCC Nurani Perempuan Rahmi Meri Yenti, terdapat 94 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan.
Namun, dalam penanganan kasus kekerasan seksual masih terdapat tantangan. Antara lain, “Penanganan hukum yang tidak terintegrasi dengan sistem pemulihan korban, serta terbatasnya pengetahuan dan kemampuan Aparat Penegak Hukum (APH) dalam menangani korban menjadi tantangan,” jelas Rahmi.
Tantangan itu, menurut Kepala Ombudsman Perwakilan Sumatera Barat, Yefri Heriani, disebabkan para pelaksana layanan tidak memiliki kompetensi dalam penanganan korban kekerasan seksual sehingga mereka tidak memahami korban. Selain itu, pelaksana layanan juga kadang kala berpihak kepada pelaku. “Dalam melakukan penanganan korban kekerasan seksual, masih sering juga terjadi keberpihakan (kepada pelaku) sehingga melahirkan impunitas,” ujar pendiri Women Crisis Center Nurani Perempuan ini.
Selain tidak memperoleh penanganan yang memadai, korban kekerasan seksual juga seringkali kehilangan hak atas layanan dasar. Yefri yang sebelumnya lama menekuni pendampingan korban ini juga menyebutkan, misalnya dikeluarkan dari sekolah atau diberhentikan dari tempat bekerja. Hal ini, diingatkan Yefri, semestinya tak boleh terjadi.
Oleh karena itu, Yefri menegaskan, dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual terdapat jaminan bagi korban untuk mengakses layanan publik dengan adil sehingga memenuhi kebutuhan hak korban tanpa diskriminasi. Hal ini merupakan jawaban yang disajikan RUU ini atas situasi penanganan korban yang sebagian di antaranya masih perlu dioptimalkan.
Saat ini, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual telah masuk di Badan Legislasi DPR RI dan tercatat dalam Prolegnas Prioritas 2021. Sebagaimana disampaikan oleh Lisda Hendrajoni, Anggota DPR RI Fraksi Nasdem, pembahasan atas RUU ini terus menerus diupayakan. “Kita di Baleg sedang terus berjuang serta mendukung agar RUU PKS segera disahkan,” ungkapnya.
Dalam kegiatan yang dihadiri puluhan peserta dari unsur akademisi, budayawan, tokoh agama dan jurnalis ini, masing-masing perwakilan organisasi menyatakan dukungan terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari beragam perspektif. [Editor: MUK; Kontributor: YF]