Siapa Bilang Perempuan Berpendidikan untuk Mendominasi Kaum Laki-Laki?

 Siapa Bilang Perempuan Berpendidikan untuk Mendominasi Kaum Laki-Laki?

Ilustrasi oleh Vera Fauziah

 

Aku pikir rencanaku untuk melanjutkan kuliah di tingkat magister bukan sesuatu yang hanya ikut-ikutan, apalagi berpikir kelak bisa menguasai atau mendominasi segala lini kehidupan. Mencoba keluar dari zona nyaman bagiku adalah hal yang tak mudah. Apalagi saat itu usiaku sudah matang. Alangkah bodohnya aku pikir, jika tidak berani mengambil langkah bijak untuk bisa mewujudkan keinginanku di hati untuk bisa kuliah lagi. Namun, ternyata perjuangan yang harus dilakukan demi suatu keinginan memang haruslah kuat.

Setelah lulus menjadi seorang sarjana, aku berpikir untuk mencari kerja sesuai dengan bidang keilmuanku, yaitu menjadi seorang guru. Namun belum genap satu tahun, aku mendapatkan tawaran untuk bisa bekerja di perusahaan swasta kecil milik orang Korea. Gaji yang lumayan lebih baik dibandingkan mengajar, membuatku tertarik untuk memutuskan bekerja di situ. Aku berharap akan ada perubahan dan pengalaman yang lebih baik untuk didapatkan. Pada kenyataannya, dunia kerja seperti itu menyulitkanku, apalagi departemeku adalah bawahan orang Korea langsung. Sungguh aku merasa tidak nyaman bekerja di tempat seperti itu karena banyaknya gesekan. Alhasil, aku turun berat badan karena stres menghadapi pekerjaanku itu. Lebih buruknya aku tidak bisa menabung melainkan belanja online habis-habisan di saat gajian. Aku pun memutuskan kembali untuk mengajar demi suatu ketenangan dan kenyamanan hati.

Aku menjalani fase zona nyaman ketika kembali mengajar di sekolah, walaupun hanya dengan gaji yang lebih kecil. Seringkali aku mencintai rutinitasku yang berkaitan dengan mengajar dan mencari uang. Aku sadar menjadi bermanfaat dan bisa mendidik anak-anak murid itu menimbulkan suatu kebahagiaan bagiku. Sampai saat aku akan dikenalkan dengan seseorang untuk bisa menuju pernikahan, aku belum menginginkannya. Aku benar-benar sadar bahwa aku memiliki keinginan lebih lagi daripada saat itu. Dengan support dari seorang sahabat, maka aku memutuskan mengumpulkan uang untuk bisa kuliah lagi. Aku bukannya menghindari laki-laki, melainkan hanya memang belum siap untuk sebuah pernikahan. Aku masih merasa haus akan ilmu dan aku butuh berjuang lagi untuk bisa mewujudkannya. Bagiku, niat dan fokus menjadi kunci suksesnya apa yang akan didapatkan.

Sungguh telah banyak ujian yang aku alami selama aku menempuh studi magisterku. Dari mulai salah scan dokumen untuk Beasiswa Unggulan, aku pun pernah ditipu pemilik les privat anak-anak orang kaya tanpa dibayar dalam satu bulan, mengajar les bimbel sampai tengah malam, dan masih banyak yang lainnya. Tapi aku yakin karena niatku yang lurus maka Tuhan selalu menunjukkan jalan dan memberi pertolongan-Nya. Dipertemukan dengan teman-teman yang sekufu dalam mencari ilmu, dosen-dosen yang baik dan rendah hati yang sangat membantu studiku, maka segala rintangan bertubi-tubi itu aku lewati.

Kalau ditanya, “untuk apa sih emang perempuan kuliah lagi?” Jujur, jawabanku hanya karena keinginan di hati ini yang sulit dibayar dengan uang. Aku merasa akan mati menderita jika harus dipaksa menjalani apa yang aku tidak menginginkannya. Dengan berpendidikan lebih, bagiku akan menjadi modal dalam tahap kehidupan yang selanjutnya, yaitu peran perempuan dalam menjadi seorang ibu. Keterbukaan cara berpikir dan keinginan untuk mewujudkan mimpi-mimpi lainnya akan membuat perempuan semakin berharga. Aku tidak pernah berpikir untuk mengukur diriku dengan yang lainnya, tetapi fokus mencapai nilai-nilai kehidupan melalui menjadi dirku sendiri. Penting sekali bagi perempuan untuk bisa saling support atau dukung, bukan saling merendahkan atau meremehkan. Budaya patriarki yang dirasa bersifat toksik bagi sebagian kalangan dijadikan tantangan yang akan dibuktikan. Menjadi perempuan yang empowered itulah harapanku.

Apa yang pasti tentang masa depan? Hanya kita yang mungkin bisa merenungkan kembali bahwa sesungguhnya waktu dan kesempatan tak bisa dibayar dengan uang. Menjadi seutuhnya manusia, perempuan yang penuh dedikasi terhadap keluarganya, bangsanya, dan jangan lupa untuk dirinya sendiri. Maka sudah seharusnya stigma “perempuan berpendidikan tinggi untuk apa”, semua bisa dipatahkan dengan eksistensimu yang bermakna.

 

Tina, M.Pd.
Guru

Digiqole ad