PHK pada PRT Selama Pandemi

 PHK pada PRT Selama Pandemi

Ilustrasi pekerjaan rumah tangga (Sumber: Khaligo/Pixabay.com)

JAKARTA, JALASTORIA.ID – Semula Nanik sudah membicarakan tentang rencana cuti melahirkan kepada majikannya. Nanik mengandung anak ketiga saat sedang bekerja pada pemberi kerjanya yang seorang ekspatriat (Warga Negara Asing – Red). Majikan juga sudah menanggapi dan berjanji akan membahasnya usai hari raya Idul Fitri 2020 saat itu. Cuti melahirkan yang akan dibahas itu juga sudah disebutkan waktunya, yaitu selama tiga bulan.

Namun, bukan pembahasan tentang cuti melahirkan yang Nanik dapatkan. Ia justru diberhentikan oleh majikan. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) itu disampaikan majikan melalui chat WhatsApp. Nanik akhirnya berhenti bekerja sebagai PRT di saat situasi pandemi Covid-19 berdampak besar pada perekonomian.

PHK pada PRT juga dialami oleh Ratih.  Namun, PHK itu dialaminya dengan alasan yang diskriminatif. Ia dituduh membawa virus Covid-19 sehingga keluarga majikan positif Covid-19. Ratih pun disuruh untuk melakukan tes antigen. Namun, Ratih harus membayar sendiri biaya untuk swab antigen itu. Hasilnya, Ratih dinyatakan negatif.

Majikan Ratih pun kemudian merumahkan Ratih. Ratih tidak lagi dipekerjakan sebagai PRT. Namun, majikan meminta Ratih untuk bekerja lagi jika pandemi sudah selesai. “Padahal, tidak tahu kapan pandemi akan selesai,” ungkap Ratih (4/9/2021).

 

Minim Perlindungan

Nanik dan Ratih adalah dua orang PRT yang mengalami PHK akibat ketiadaan perlindungan atas profesi yang mereka jalani.  PHK yang dialami keduanya merupakan kekerasan ekonomi.

Selain Nanik dan Ratih, terdapat PRT lainnya yang juga mengalami permasalahan serupa. Misalnya, VN dan LS. Saat menjalani isolasi mandiri untuk mencegah penyebaran Covid-19, majikan LS malah memPHK-nya. Majikan juga menyebutnya melakukan pencemaran nama baik. Sementara VN mengalami PHK dengan alasan sedang pandemi sehingga ia memilih untuk pulang ke kampung.

Mengutip data dari Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), selama masa pandemi setidaknya terdapat  276 kasus kekerasan ekonomi terhadap PRT. Kasus yang paling sering adalah PHK, upah tak dibayar, THR tak dibayar, dan pemotongan upah. Situasi ini menunjukkan perlindungan ketenagakerjaan bagi PRT masih belum memadai.

Padahal, sebagaimana diungkapkan oleh Ratih, “Semua PRT pasti  menginginkan perlindungan agar majikan tidak semena-mena, yang terkadang gaji tidak dibayar, THR tidak dapat,” ungkap Ratih.

Perlakuan ketidakadilan yang dialami sesama rekan PRT, menurut Ratih, disebabkan ketiadaan payung hukum untuk PRT. “Kami minta perlindungan dari pemerintah dan DPR agar segera mengesahkan RUU PPRT (Perlindungan Pekerja Rumah Tangga-Red) untuk kami rakyat kecil,” imbuhnya.

Baca Juga: Menanti RUU PPRT Menjadi Inisiatif DPR

Ketiadaan payung hukum itu mengakibatkan pada umumnya PRT bekerja tanpa perjanjian kerja tertulis. Hal ini seringkali terjadi, termasuk pada pemberi kerja ekspatriat. Tak hanya itu, upah yang diterima PRT juga dinilai rendah atau tidak sesuai untuk kecukupan hidup layak.

 

Upaya Melepaskan Jerat Kemiskinan

Minimnya perlindungan termasuk upah yang tidak mencukupi untuk hidup layak nampak kontras dengan profesi PRT yang menjadi tumpuan harapan sebagian masyarakat untuk keluar dari kemiskinan. Beberapa orang PRT mengakui pada umumnya telah bekerja sebagai PRT sejak masih di usia sekolah. Namun, faktor ekonomi khususnya ketidakmampuan orangtua membiayai sekolah membuat harapan untuk melanjutkan sekolah menjadi kandas.

Misalnya Nanik. Selepas Sekolah Menengah Pertama (SMP), ia tidak lagi melanjutkan sekolah karena faktor ekonomi orangtua. Atas ajakan tetangga, ia pun langsung bekerja sebagai PRT setelah lulus SMP. Saat itu, Nanik masih tinggal di Nganjuk. Sementara tetangganya bekerja di Surabaya. Ia mengakui, tertarik untuk bekerja menjadi PRT karena melihat tetangga yang berpakaian bagus dan berdandan cantik setiap kali pulang kampung.

Baca Juga: Peringatan Hari Buruh Internasional

Demikian pula dengan Ratih. Ia terpaksa berhenti sekolah sampai kelas 2 SMP karena ketiadaan biaya. Bapaknya seorang penarik becak, yang terkadang menjadi buruh bangunan. Sementara ibu buka usaha di rumah, termasuk jasa potong rambut. Saat hendak naik ke kelas 3 SMP, bapak Ratih terkena stroke. Di usia 15 tahun, ia pun bekerja sebagai PRT di rumah salah satu kerabatnya. Di usia 15 tahun itu pun ia menikah. Setelah menikah dan berpindah tempat tinggal bersama suami, Ratih kembali bekerja sebagai PRT dengan tujuan menambah ekonomi keluarga.

Sementara AR yang bekerja sebagai PRT, juga mempunyai seorang adik yang kini berprofesi sama. Adiknya yang belum lama lulus SMP tidak dapat melanjutkan sekolah ke Sekolah Menengah Atas (SMA) karena orangtua tidak mampu membiayai. Kini, sang adik  bekerja sebagai PRT yang bertugas menjaga bayi tetangga dekat rumah.

Selain faktor kemiskinan yang menghambat perempuan untuk melanjutkan pendidikan, profesi PRT juga menjadi ruang bagi perempuan untuk bertahan hidup ketika kewajiban pemenuhan nafkah tidak dijalankan oleh pasangan. Seperti yang dialami oleh ER. Setelah melangsungkan perkawinan dan memiliki anak, suami malah tidak bertanggung jawab. Untuk memenuhi kebutuhan, ER bekerja menjadi PRT hingga kini kurang lebih selama 32 tahun.

 

Daya Lenting

Namun demikian, situasi pandemi Covid-19 tidak lantas membuat mereka menyerah. Ratih mengaku, selama dirumahkan tanpa kejelasan dari majikan, ia tidak dapat berdiam diri. Ibu dari empat orang anak ini kini mencoba bertahan dengan berjualan makanan dengan berkeliling. Pecel sayuran, mie kuah pecel, dan bakwan kini menjadi andalannya untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.

Sementara Nanik yang punya hobby memasak memilih mengisi waktu dengan membuat onde-onde dan menitipkannya ke warung. Dalam sehari, ia hanya menitipkan ke dua warung. Rata-rata ia membuat 20 buah onde-onde untuk tiap warung dan selalu habis terjual. Ia juga kerap menerima pesanan kue termasuk dari Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) tempatnya berorganisasi.

Baca Juga: 10 Tahun Konvensi ILO 189 (Bagian I)

Keduanya masih harus mengatur pengasuhan anak sambil bekerja dari rumah.  Anak bungsu Nanik masih berusia 1 tahun, sehingga seringkali ia menggendongnya sambil menggoreng kue. Sementara Ratih meminta dua anak yang sudah besar untuk menjaga dua anak lainnya yang masih kecil selama ia berjualan keliling.

Sekalipun masih mencoba bertahan di tengah pandemi, Nanik dan Ratih tidak mendapatkan bantuan sosial untuk warga yang terdampak pandemi. Menurut Ratih, masih terjadi pendistribusian bantuan sosial yang tidak tepat sasaran. Misalnya, bantuan sosial diperoleh oleh orang yang memiliki kediaman tetap. Sementara Ratih yang menyewa rumah tinggal justru tidak memperoleh bantuan sosial itu.

***

PHK yang dialami Nanik dan Ratih, serta VN dan LS hanyalah sekelumit kisah dari sekian banyak kisah PRT yang mengalami dampak atas ketiadaan pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap profesi PRT. Oleh karena itu, agar hal serupa tidak lagi berulang, mereka berharap RUU PPRT segera dibahas dan disahkan. [MUK]

 

Sumber: Ngobrol Sersan melalui Live Instagram Ninik Rahayu @ninikr2309 pada 4 September 2021 bersama Ratih @a….a dan Nanik @n…..0. Testimoni via Llive Chat dari akun @L….3, @V….9, @e…i, dan @a…h.

 

Digiqole ad