10 Tahun Konvensi ILO 189 (Bagian I)

 10 Tahun Konvensi ILO 189 (Bagian I)

Ilustrasi (JalaStoria.id)

JAKARTA, JALASTORIA.ID – Tahun 2021 merupakan tahun ke-10 Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional/ILO (International Labour Organisation) Nomor 189 tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga (PRT). Artinya, sudah 10 tahun berlalu sejak Konvensi ILO 189 ini ditetapkan.

Demikian juga, tahun 2021 menandakan sudah 10 tahun berlalu semenjak janji Presiden Soesilo Bambang Yudoyono kala itu. Janji apa tuh? Tak lain dan tak bukan, janji untuk meratifikasi Konvensi ini.

Di tanah air, ratifikasi Konvensi ini dibutuhkan untuk mencapai kemajuan secara signifikan bagi PRT dalam mendapatkan pemenuhan hak-haknya sebagai pekerja. Sebelum hadirnya Konvensi ini pada 2011, JALA PRT sudah sejak 2004 berjuang menghadirkan RUU PPRT dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Perjuangan itu nyatanya tarik ulur dalam beberapa periode Prolegnas.

Nah, peringatan 10 tahun atau 1 dasawarsa Konvensi ILO 189 di tahun 2021 ini, sekaligus menjadi momentum untuk mengingatkan Negara Indonesia untuk segera menghadirkan payung hukum yang melindungi PRT.

Apa saja sih yang menjadi pertimbangan urgensinya? Berikut ini sejumlah pertimbangan sebagaimana dibahas dalam kegiatan Webinar Satu Dasawarsa (10 Tahun) Konvensi ILO 189, Saatnya Indonesia Meratifikasi untuk Pengakuan dan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga” yang diselenggarakan oleh Komnas Perempuan (17/06/2021).

  1. Kekerasan terhadap PRT: Kenyataan yang Harus Diakhiri

Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan (Catahu) 2013-2019 mencatat 29 kasus yang dialami oleh pekerja sektor informal khususnya PRT.  Bentuk kekerasan yang terjadi mulai dari kekerasan ekonomi, fisik, dan seksual hingga kekerasan psikis.

Selain itu, Tiasri Wiandani, Komisioner Komnas Perempuan menyatakan (17/06/2021), berdasarkan kompilasi kasus oleh  JALA PRT pada 2012-2019 tercatat lebih dari 3.219 kasus yang dialami oleh PRT. Bentuk kekerasan yang terjadi antara lain kekerasan psikis seperti isolasi dan kekerasan fisik termasuk juga penyekapan. Selain itu juga terjadi kekerasan ekonomi seperti penahanan dokumen pribadi, gaji tidak dibayar, dan THR tidak dibayar. Tindak pidana perdagangan orang juga tak luput terjadi dalam temuan.

Sebagian besar PRT juga tidak mendapatkan perlindungan atas hak-haknya selama bekerja. Menurut Tiasri, umumnya PRT melakukan kontrak kerja secara lisan. Hal ini kerap berimplikasi pada jam kerja panjang tanpa kompensasi dan upah yang rendah. Pada akhirnya, situasi ini membuat PRT selalu rentan mengalami kekerasan.

Hal ini ditegaskan oleh Nurkhasanah, aktivis JALA PRT (17/06/2021). Menurut Nur, sebenarnya PRT hanya menginginkan jam kerja yang manusiawi. Bukan jam kerja selama 18 jam seakan kerja tiada henti. Selain itu, PRT juga belum tentu memperoleh hari libur, yang dapat dipergunakan untuk menengok keluarga yang ditinggalkan.

Panjangnya jam kerja PRT, menurut Thoriq Yahya, aktivis Gerakan Merangkul (17/06/2021), sama dengan memosisikan PRT bekerja seperti budak. PRT diberi upah rendah dengan jam kerja yang panjang. “Sistem perbudakan sudah runtuh sejak 157 tahun yang lalu tetapi konsep perbudakan kuno itu masih berlangsung hingga kini,” ungkapnya.

Oleh karena itu, Nur berharap, agar ada upaya penyadaran pada pemberi kerja agar pada jam tertentu tidak memperlakukan PRT sesuka hatinya. Selain itu, Nur juga menyatakan, upah yang layak yang diminta oleh PRT adalah upah yang disesuaikan dengan jam kerja.

Menurut Liliek Setyarini, Koordinator Kelembagaan dan Penempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (17/06/2021), kerentanan PRT terhadap eksploitasi dan kekerasan antara lain karena ruang kerja PRT berada dalam ranah domestik. Oleh karena itu, Tiasri mengingatkan, pengakuan dan perlindungan hukum PRT melalui undang-undang merupakan hal yang mendesak untuk dilakukan.

2. Menggenapkan Kehadiran Instrumen HAM yang Melindungi PRT

Menurut Rainy Hutabarat, Komisioner Komnas Perempuan (17/06/2021) terdapat sejumlah instrumen hak asasi manusia internasional yang memberikan landasan dalam pengakuan dan perlindungan PRT. Pertama, UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, atau CEDAW. Berdasarkan Konvensi ini, Negara peserta wajib membuat peraturan yang tepat dalam rangka penghapusan diskriminasi terhadap perempuan di lapangan pekerjaan. Hal ini ditujukan untuk menjamin hak yang sama atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan. Antara lain, hak untuk bekerja, memperoleh kesempatan kerja yang sama, jaminan sosial, perlindungan kesehatan, dan keselamatan kerja.

Kedua, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang merupakan instrument dasar pengakuan hak asasi manusia. DUHAM mengatur mengenai HAM khususnya yang menyangkut diskriminasi, penyiksaaan, pelanggaran HAM, hak hidup, hak untuk tidak diperbudak, bebas dari eksploitasi secara ekonomi.

Ketiga, Rekomendasi Umum Nomor 26 Komite CEDAW tentang perempuan pekerja migran.

Keempat, Konvensi Perlindungan Pekerja Migran dan anggota keluarganya.

Kelima, Konvensi Inti ILO yang juga sudah diratifikasi Indonesia berisi hak dasar pekerja.

Keenam, Konvensi ILO 189 dan Rekomendasi 206 tentang kerja layak bagi PRT. Konvensi ini belum diratifikasi Indonesia.

Selain itu, hak PRT juga dijamin dalam UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2). Perlindungan terhadap PRT juga secara implisit terdapat dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak dan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Dengan demikian, ratifikasi Konvensi ILO 189 akan menegaskan secara spesifik pengakuan dan perlindungan terhadap PRT di Indonesia.

3. Meneguhkan Relasi Kerja Berbasis Hak

Menurut Rainy, data Badan Pusat Statistik mencatat 61% pekerja informal adalah pekerja perempuan, dan PRT didominasi oleh kaum perempuan. Selain itu, di level Internasional, ILO mencatat bahwa pada tahun 2019 jumlah PRT 67,1 juta orang, sekitar 17 % adalah pekerja migran dan 73,4 di antaranya adalah perempuan.

Hal senada disampaikan oleh Thoqiq Yahya. “PRT umumnya single mom dan bekerja di wilayah yang jauh dari tempat tinggalnya, dengan demikian PRT meninggalkan keluarga,” ungkap Thoriq. Ketika hak PRT tidak terpenuhi, tentu akan berdampak besar bagi kesehajteraan keluarga. Antara lain, tumbuh kembang anak terhambat, pendidikan anak terputus, anak cenderung bekerja lebih cepat dan marak perkawinan anak.

Padahal, menurut Rainy, PRT punya peran yang sangat penting dalam kehidupan rumah tangga dan berdampak pada kesejahteraan pribadi/keluarga. “Namun peran penting tersebut dalam kehidupan sosial ekonomi nasional-global tidak terlihat,” tambahnya.

Menurut Rainy, pekerjaan rumah tangga dalam konsep sistem patriarki dianggap sebagai ranah pekerjaan perempuan. Pekerjaan rumah tangga tidak dianggap pekerjaan produktif sehingga kerja-kerja rumah tangga pun dipandang remeh. Konteks sosial budaya tersebut berdampak pada PRT yang dipandang bukan sebagai pekerja melainkan pembantu atau babu.

“Kultur feodal mengukuhkan PRT sebagai pembantu dan pemberi kerja disebut majikan. Akibatnya relasi kerja antara PRT dan pemberi kerja dipandang sebagai sikap kedermawanan/welas asih/kekeluargaan dan dibayar murah,” jelas Rainy. Ia menambahkan, pada akhirnya, relasi kerja PRT dan pemberi kerja tidak berbasis hak. [Editor: MUK/Reporter: LW]

Digiqole ad