Perempuan dan Anak dalam Rumah Tahanan

 Perempuan dan Anak dalam Rumah Tahanan

Ilustrasi (Sumber: Merdeka.com)

 

 

JAKARTA, JALASTORIA.ID – Seorang anak kecil berkaos singlet berdiri di depan ibu hamil. Satu tangannya memegang pesawat kertas, sedangkan tangan lainnya memegang jeruji besi. Potret ini merupakan penggambaran poster sebuah film dokumenter berjudul Invisible Hopes yang disutradarai oleh Lamtiar Simorangkir.

Dirilis di XXI Senayan pada April 2021, Invisible Hopes menyoroti anak-anak yang lahir dan tumbuh dalam tahanan, serta gambaran kondisi perempuan di dalamnya . Saat diskusi live Instagram bersama Ninik Rahayu, Anggota Ombudsman 2016-2021 (25/8/21), Lamtiar menceritakan proses yang ia tempuh selama tujuh bulan memproduksi film dokumenter itu.

Mulanya, ia bermaksud membuat film pendek mengenai anak-anak yang lahir dan tumbuh di dalam tahanan. Sebatas itu saja. Diawali dengan riset literatur, ia kemudian melakukan riset lapangan ke sebuah rumah tahanan (rutan) di Jakarta Timur. Di sana, ia menemukan berbagai hal yang sebelumnya tidak ia duga. Seperti kasus perempuan yang ditangkap saat hamil karena narkoba, penyebab perempuan tidak mengambil anaknya saat lahir, mengenai suami yang tidak tahu ke mana, dan lain-lain.

Setelah riset lapangan ini, ia memutuskan untuk menambahkan durasi film. Hal ini agar realita yang dijumpainya tersebut dapat tervisualisasikan dalam film dokumenternya.

 

Kondisi Tak Layak

Sebelum melakukan riset lapangan, Lamtiar terlebih dahulu melakukan pemilihan lokasi pengambilan gambar. Terdapat sejumlah opsi yang ia identifikasi. Salah satu hal yang menjadi pertimbangannya adalah tingginya data anak dalam tahanan.

Pada akhirnya, ia memilih sebuah rutan yang berada di Jakarta timur itu. Selain karena pertimbangan biaya produksi yang memungkinkan jauh lebih murah, juga mempertimbangkan segi sinematografi agar lebih fokus.

Sebelum Lamtiar melihat kondisi rutan secara langsung, ia membayangkan, rutan untuk perempuan dan anak adalah rutan  khusus yang berbeda dengan rutan over kapasitas seperti dalam berita pada umumnya. Namun realitanya tidak. Ruangan tahanan  yang ia lihat cukup kecil, perempuan dan anak juga berdesakan dalam sel. “Pernah di satu kamar ada 25 lebih. Kondisinya sangat tidak layak, dengan jam buka tutup yang terbatas sesuai peraturan rutan,” tuturnya.

Melihat realita ini membuatnya bertanya-tanya mengenai apa yang bisa dilakukan untuk perempuan dan anak di dalam rutan. Namun, yang pasti ia sadar mesti melakukan sesuatu.

Selanjutnya, dalam proses pengambilan gambar film Invisible Hopes, ia mengaku terkejut saat mengetahui bahwa negara tidak mengalokasikan anggaran untuk ibu hamil dalam rutan . “Ini sangat memprihatinkan, dari kebutuhan basic aja tidak tercukupi di penjara. Apalagi ibu hamil dan anak.”

Menurut Lamtiar, nihilnya anggaran untuk ibu hamil turut memengaruhi tumbuh kembang anak yang berakibat buruk. Hal ini terjadi karena saat perempuan hamil dalam sel, sang ibu hamil jadi sibuk mencari nafkah untuk kebutuhannya.

Kebanyakan keluarga ibu hamil tersebut tidak peduli atau tidak sanggup mencukupi kebutuhan ibu dan calon anak tersebut. Akibatnya, ibu tidak mendapatkan gizi yang cukup, sehingga anak pun mengalami hal yang sama.

Selain itu, ada pula kondisi yang seharusnya tidak dialami atau disaksikan oleh anak yang masih mengalami fase awal pertumbuhan. Banyak orang dewasa yang berkelakuan kasar di dalam rutan.

Ditinjau dari aspek psikologis, Lamtiar menganggap kondisi sel dan pengelolaan rutan masih kurang layak untuk ibu dan anak. Sejak lahir, anak tumbuh terisolasi dalam sel, serta tumbuh dengan melihat ibunya yang mengalami stress. Tak jarang, stressnya sang ibu mengakibatkan kekerasan yang dilampiaskan ke anaknya. “Di film kelihatan mereka menyampaikan itu,” tegasnya.

Menurut Lamtiar, hal-hal yang dialami anak-anak yang tumbuh dalam sel dengan kondisi seperti ini akan berdampak pada psikologis sang anak.

Baca Juga: Perlindungan Perempuan dan Anak Korban KDRT

Minimnya Fasilitas

Selain faktor tidak layaknya rutan perempuan dan anak, kondisi rutan secara keseluruhan juga tak kalah memprihatinkan. Menurut Lamtiar, kondisi rutan sangat terbatas sehingga berpengaruh pada pembatasan barang-barang yang dimiliki, termasuk kebutuhan primer seperti pakaian.

Fasilitas yang menunjang kesehatan perempuan juga minim sekali, seperti belum adanya ruang laktasi. Sementara itu, ibu yang baru melahirkan pun mengalami kesulitan, yaitu permasalahan Air Susu Ibu (ASI) kering. Rata-rata, ibu yang ditemuinya dalam tahanan itu mengaku tidak menyusui anaknya karena ASInya tidak mau keluar, bahkan sampai tiga bulan setelah melahirkan. Menurutnya, hal ini karena gizi sang ibu tidak cukup dan belum adanya anggaran untuk ibu hamil yang menjadi tahanan.

Kondisi makanan yang diberikan juga dinilai kurang layak, sehingga para perempuan tahanan memilih untuk membeli makanan di luar rutan yang menurut mereka lebih layak. Mereka juga harus mengatur jatah makan harian yang hanya sejumlah Rp20.000 itu.

Kondisi ini membuat Lamtiar tergerak untuk mengkampanyekan lebih luas lagi permasalahan anak dan perempuan dalam rutan, khususnya melalui film-film karyanya. Ia pun tengah memproduksi film kedua mengenai nasib anak setelah dua atau tiga tahun meninggalkan rutan. “Ini belum ada support system, ketika lingkaran keluarga tidak berfungsi, negara juga belum ada untuk mengambil alih pengasuhan,” tutupnya.

Ia berharap, karya-karyanya dapat memantik diskusi di berbagai kalangan sosial. Ia berharap filmnya bisa digunakan sebagai alasan pengambilan dasar kebijakan yang memberikan perhatian dan fasilitas layak bagi anak dan perempuan dalam tahanan.

 

Kritik Film

Selain urgensi isu yang diangkat oleh Lamtiar, film ini masih tidak lepas dari kritik. Salah satunya datang dari Hartoyo, pendiri Suara Kita dan Sri Kendes.

Hartoyo mengakui bahwa film ini memiliki kekuatan pada isu yang diangkat, serta kemampuan filmmaker yang bisa masuk ke sebuah rutan untuk merekam fenomena yang terjadi dalam rutan. Namun, film ini membutuhkan perbaikan, khususnya mengenai etika dan kaidah hukumnya.

Menurut Hartoyo, hak anak dan narasumber masih kurang diperhatikan oleh filmmaker. Contohnya, poster yang menampilkan wajah anak, serta sosok bayi dalam film yang ditampilkan wajahnya secara jelas tanpa blur. “Apakah ini tidak melanggar hak anak?” Tanyanya.

Selain itu, mengenai narasumber perempuan yang diwawancarai. Masih ada perempuan yang tidak di-blur wajahnya, sehingga terlihat dengan jelas. Padahal, bisa saja mereka ternyata adalah korban yang dikriminalisasikan.

Tidak di-blurnya wajah narasumber juga terjadi lagi saat adegan ada keluarga yang melakukan kunjungan ke rutan. Walau beberapa wajah sudah di-blur, namun sebagian masih sangat terlihat wajahnya.

Ia berharap, para filmmaker melihat urgensi etika dan kaidah hukum dalam pembuatan film, sehingga film yang diproduksi tidak melanggar hak orang lain, khususnya para narasumber yang diwawancarai langsung seperti yang tergambar dalam film Invisible Hopes ini. [ANHS]

Digiqole ad